Dia Kemburu Pergi

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo

Hari pertama kuliah aku melihat dia. Waktu itu, dia begitu manis dan cantik. Ya...dia memang gadis yang cantik. Walaupun cantik dia tidak seperti gadis lain yang over acting karena merasa diri cantik. Dia berbeda. Dia begitu santun dan rendah hati. Selain itu, dia juga begitu dingin dan pendiam. Justru sifat dingin, diam dan santunya itu yang membuat dia tampak dewasa dan begitu menarik bagi kebanyakan mahasiswa seperti aku.

Pada kegiatan Temu Akrab yang terjadi di pantai Lasiana, aku berniat untuk “menembaknya”. Kebetulan sekali, di sela-sela acara Temu Akrab, aku dapati dia bertenduh sendirian di bawah pohon kelapa. Dia tersenyum menyambut kedatanganku. Dalam hati aku berguman: “hari ini aku harus berhasil menjadikan dia cinta pertamaku”. Aku mengambil posisi duduk telak di samping dia. Aku mulai membuka percakapan dengan pura-pura menanyakan asalnya. Padahal aku sudah tahu asalnya dari kawan dekatnya, Yusta. Dia menjawab seadanya. Setelahnya, perbincangan kami pun begitu hangat.

Dari gaya dan cara dia merespons pertanyaan-pertanyaanku saat itu, naluri kelaki-lakianku menyimpulkan bahwa dia suka sama aku. Tetapi aku masih takut untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Aku masih ragu. Jangan-jangan dia akan menolakku. Aku tidak mau pengalaman pertama “menembak” perempuan gagal. Aku takut itu akan menjadi sebuah pengalaman traumatis untukku. Aku tak mau, sebab aku laki-laki. Seorang laki-laki juga punya harga diri dan rasa malu bila cintanya ditolak. Laki-laki juga manusia kok.

Namun dengan sisa-sisa keberanianku, aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Inilah saat yang terbaik yang tak boleh aku sia-siakan. Aku pun memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku. Tapi sayang.....Tiba-tiba, ada suara memangil namanya. Dia menoleh. Ternyata ibu Ningsi, pembina kegiatan Temu Akrab memanggil kami untuk mengikuti kegiatan selanjutnya. Sungguh menjengkelkan sebab semua rencanaku dan kata-kata “penembakan” yang telah kusiapkan tadi malam menjadi sia-sia belaka.

Meskipun gagal, tetapi aku tak begitu menyesal. Ya, sudah ada satu langkah maju dariku. Sekurang-kurangnya ada titik terang. Sebab, dia, si gadis pendiam itu, bisa bercerita dengan aku. Ini merupakan awal yang baik. Aku tidak mau menyerah dan tidak mau gagal untuk mendapatkan dia. Pokoknya aku tak mau gagal! Jika gagal aku bisa gantung diri nih. Aduh....tidak bisa dibayangkan jika dia menolak cinta pertamaku. Pasti itu sangat menyakitkan serentak memalukan.

Siang itu, pada saat sedang menunggu bemo di depan gerbang kampusku, Yusta datang kepadaku dan bercerita-carita dengan aku. Dari Yusta, aku tahu kalau dia suka sama aku. Yusta bilang sejak pulang dari kegiatan Temu Akrab, dia selalu bercerita tentang aku. Dia juga selalu bertanya tentang aku jika aku tidak masuk kuliah. “Dia punya perasaan sama kamu, Emil”, kata Yusta. Kata-kata inilah yang mendorong aku untuk terus mengejar dan memburu dia.

Dengan bermodalkan nomor HP yang diberikan Yusta, aku mulai mencoba untuk mendekati dia via SMS. Ketika SMS pertamaku dibalas dengan baik, aku amat bahagia. Kami pun berbalas-balasan mengirim SMS. Tapi sore itu, aku belum berani mengungkapkan secara terus terang kalau aku punya perasaan sama dia. Aku berencana nanti malam baru aku sampaikan perasaanku sebab bila disampaikan sore atau siang hari, rasanya kurang romantis. Agar terkesan romantis, aku menunda tekadku nanti malam.

Malam itu, kira-kira pukul 9, aku melayangkan perasaan cintaku untuk dia via SMS. Aku katakan bahwa aku menaruh hati dan aku jatuh cinta padanya. “Deliver succesfully”. Itulah pesan laporan yang masuk ke Hpku. Itu berarti pesanku sudah diterima oleh si pemilik nomor yang dituju. Aku menunggu jawabannya, tapi sayang, sampai jam 11.00, pesan balasan yang kutunggu tidak kunjung datang. Batinku pun menjadi tidak tenang. Pikiranku pun menjadi kalut. Bingung. Gerogi. Panik. Gelisah. Semuanya bercampur aduk dalam diriku.

Tiba-tiba HPku berdering tanda ada pesan baru. Aku buka. Ternyata nomor baru. Aku yakin ini SMS yang aku tunggu. Mungkin dia lagi kehabisan pulsa dan memijam HP teman atau memakai kartunya yang lain. Aku membacanya. Di sana tertulis:

“Jgn marh. Beta son bsa trima smuanya ini. Knpa itu smua hrs trjdi pd beta. Katong kan su sprti teman akrab. Kenpa hrs terjdi bgini.....”.

Aku tidak bisa melanjutkan semuah tulisan SMS yang tersisa. Aku tahu bahwa dia pasti menolakku. Ya...dia menolak cinta pertamaku. Waktu itu asaku terhempas dalam kelesuan. Hatiku terasa begitu sakit. Aku pun mempersalahkan diri sendiri. Mengapa aku harus mengirim SMS itu malam itu yang akhirnya membuat aku sendiri terluka seperti ini. Aku juga menyesal mengapa aku begitu cepat percaya pada Yusta.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Pikiranku selalu bayangkan bagaimana seandainya besok aku bertemu dia di ruang kuliah. Betapa malunya aku bertemu dengan seorang yang telah menolak cinta pertamaku. Sial benar nasibku. Aku berusaha untu menutup mata dan ingin rasanya terlelap. Tetapi aku tak bisa. Semuanya sia-sia.

Kuputuskan untuk membaca kembali SMS itu.

“Jgn marh. Beta son bsa trima smuanya ini. Knpa itu smua hrs trjdi pd beta. Katong kan su sprti teman akrab. Kenpa hrs terjdi bgini..... Tdi siang itu beta yang salh. Maafkan beta. Rony”.

Hatiku akhirnya lega. Ternyata itu SMS dari Rony. Tadi siang memang aku bertengkar dengan Rony, teman kuliahku, gara-gara bermain sepak bola di kampus. Aku tak sengaja membuat dia jatuh dan terluka. Lalu dia bangun dan memaki-maki aku. Aku terima jika hanya aku yang dimaki karena aku yang telah membuatnya terluka, tetapi yang aku tidak terima orang tuaku juga menjadi sasaran makian si Rony. Kami pun adu jotos. Tapi aku beruntung karena memiliki postur yang lebih baik dari Rony. Jadi, Ronylah yang menjadi makanan empuk kemarahan saya. Setelah adu jotos itu, aku meminta maaf pada Rony. Tetapi Rony menolak. Namun, malam ini Rony yang justru meminta maaf kepadaku. Aku pun merasa sangat bersalah pada Rony malam itu.

Pagi itu, dengan harapan yang tersisa, aku berangkat ke kampus. Ternyata, dia, gadis yang kunaksir, sudah ada di sana. Melihat aku masuk, dia langsung keluar meninggalkan ruang kuliah. Rasa maluku semakin menjadi-jadi. Inilah tanda-tanda bahwa harapanku untuk mendapatkan dia telah sirna. Tak lama kemudian, tiba-tiba, HPku berdering tanda satu pesan masuk. Aku membukanya. Ternyata pesan dari dia. Dia memintaku untuk keluar dan bertemunya di luar, di depan ruang perpustakaan. Dengan hati ragu dan bercampur malu aku keluar dan mendapatinya.

“Jangan marah, Emil”, katanya. Hatiku berdebar. Ingin rasanya aku berlari sekencang mungkin meninggalkan dia setelah mendengar kata “jangan marah” itu. “Tadi malam beta sonde balas SMS kamu”, lanjut dia.

“Sonde apa-apa kok”, jawabku kikuk bercampur malu. Mukaku menjadi merah.
“Yang benar nih... Memang kamu sonde marah benaran nih”, balas dia menggoda dan membuat aku semakin kikuk. Mukaku menjadi merah padam. “Begini, beta mau ketemu kamu nanti malam. Beta akan menjelaskan semuanya ke kamu tentang SMS kamu tadi malam. Kamu datang ke kos beta saja. Kamu sudah tahu kan kos beta. Aku tunggu kamu nanti malam”, lanjut dia. Aku cuma mengangguk mendengar penjelasan dia.

Malam itu aku menepati janjinya untuk bertemu dia. Kami duduk berdua di kosnya. Dalam keberduan itu, dia ungkapkan bahwa “dia mencintaiku dan menerima cinta pertamaku”. Aku sangat.....sangat......senang malam itu. Aku bagai melayang di atas langit ke tujuh. Dia telah menerima cinta pertamaku.

Ketika bulan agak tinggi, aku dan dia beranjak ke belakang kos. Di sana ada pohon cemara. Di bawah pohon cemara inilah kami berteduh. Dia menyandarkan kepalanya dengan pasrah di dadaku. Jantungku berdegup kecang sebab itulah saat pertama aku duduk mengadu kasih dengan seorang yang aku cintai. Kubelai rambutnya dengan tulus. Tetapi, dia hanya bersandar pasrah di dadaku. Sesekali kukecup keningnya, dan setiap kali aku melakukan itu, dia selalu tersenyum. Malam itu, dialah orang pertama yang kukecup keningnya. Dialah juga orang pertama yang memberikan aku cinta. Cinta yang akan kusimpan ruang jiwaku untuk selamanya. Itulah cinta pertama. Kata orang first love never ends. Cinta pertama itu tak akan lekang untuk selamanya. Selama bumi masih berputar pada porosnya, selama jantung masih berdetak, cinta pertama tidak akan pernah sirna.

Sesekali kupandangi bulan purnama malam itu. Dia seolah tersenyum melihat buaian asmarah kami berdua. Suara binatang malam juga seolah bersorak menyambut kemesrahan dan kenikmatan cinta kami malam itu. Di bawah cahaya bulan purnama yang diselimuti oleh riangnya suara binatang malam, kami mengadu kasih untuk pertama kalinya. Getar-getar cinta yang selama ini terpendam membuncah menjadi kenyataan. Gadis cantik pujaanku dari Manggarai yang aku naksir selama ini telah jatuh terhempas pasrah tak berdaya dalam pelukan cintaku. Malam itu adalah malam bersejarah dalam hidupku. Malam yang tak akan pernah aku lupakan dalam hidupku.

Malam itu, kira-kira pukul 12.00, aku pamit. Sebenarnya dia menahanku untuk bermalam bersamanya. Tetapi aku tolak. Aku tidak mau mengambil resiko yang lebih besar, sebab dalam keberduaan, seorang laki-laki dan seorang perempuan, setan bekerja lebih kuat. Daging akan menjadi lebih lemah dari roh. Ya, aku menyadari itu semua. Suara hatiku memintaku untuk pulang malam itu juga. Dalam perjalanan pulang hatiku amat gembira. Sesampai di kosku, aku langsung tidur. Sebelum tidur aku mohon aku pada Tuhan untuk membangunkanku esok pagi agar esok pagi aku bisa bertemu gadis belahan jiwaku di kampus dalam keadaan sehat walafiat.

Keesokan paginya aku terbangun pagi-pagi. Aku bahagia sekali. Aku ingin segera melihat wajah cantik kekasihku. Bukan cuma itu. Aku juga ingin mengalami pengalaman pertama punya pacar di kampus. Aku ingin seperti kawan-kawan lain yang punya pacar selama ini. Mereka selalu ke kantin bersama. Ke perpustakaan bersama. Menunggu bemo pulang bersama. Ya...mereka selalu bersama dan ada bersama. Aku ingin seperti mereka. “Aduh...betapa bermaknanya hidup ini jika selalu ada bersama dia yang kusayangi”, batinku dalam hati.

Namun, setibanya di depan gerbang kampusku, dari dalam bemo yang aku tumpang, aku melihat kerumunan orang yang luar biasa.

“Ada apa? Ada apa ini?”, tanyaku ingin tahu.
“Kelihatan ada kecelakaan”, jawab abang Piter, sopir langgananku, singkat.

Aku buru-buru turun. Hatiku berdebar-debar. Dan benar saja. Aku menjerit sekecang-kencangnya sambil membanting-banting tubuhku di jalan melihat tubuh siapa yang tergolek tak berdaya di sana. Lola! Lola! Dia, Lola, gadis pujaanku, cinta pertamaku, yang tersayang.....

Entah siapa yang bercerita, sayup-sayup kudengar, Lola tertabrak mobil ketika ingin meyebrangi jalan menuju pintu gerbang kampus. “Dia sonde lihat ada mikrolet dari arah utara yang berlari kencang memburu penumpang pagi. Ketika dia menyebrangi jalan, tiba-tiba mikrolet itu langsung menyambar tubuhnya. Tubuhnya terlempar, terjatuh dan lalu terseret di aspal”.

“Ya, kasihan sekali dia! Kepalanya pecah....Tangan dan kakinya patah....”, kudengar lagi suara itu sayup-sayup.

Masih sempat kulihat baju putih yang dikenakannya tersobek-sobek dan bersimbah darah. Darah segar terus mengalir dari kepala, telinga dan hidung Lola. Buku-bukunya terlempar berserakan di jalan. Aku tak tega melihat belahan jiwaku dan cinta pertamaku mati dalam keadaan yang sadis seperti ini. Aku menangis menjadi-jadi. “Tuhan...mengapa Engkau begitu cepat mengambil cinta pertamaku. Mengapa? Mengapa? Apa salahku? Mengapa Engkau tidak mendengarkan doaku tadi malam? Lola....sayangku.... belum genap sehari kita mengadu kasih....Mengapa engkau begitu cepat meninggalkan aku.”, triakku sambil terus menangis menjadi-jadi.

Tiba-tiba, pandanganku terasa nanar dan detik itu juga aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku jatuh pingsan, tak sadarkan diri! Antara sadar dan tidak sadar, antara ada dan tiada, aku melihat senyum Lola yang manis. Ya...semanis senyumnya tadi malam ketika berkali-laki aku mengecup kecingnya.

“Sayang..., aku memang mencintaimu. Tetapi, aku harus pergi. Saatku sudah tiba. Tadi malam kan engaku bilang bahwa cinta kita akan terus hidup melampaui hempasan nafas yang terakhir. Aku percaya itu semua. Saat ini, kata-katamu sudah menjadi kenyataan. Tetapi sayang..., maut tidak bisa memisahkan cinta kita berdua. Aku mencintaimu sayang.... Jaga dirimu baik-baik....ya sayang...”, kata Lola sambil melambaikan tangan pergi meninggalkan aku untuk selamanya.

Aku memejamkan mataku. Air mataku mengalir deras di pipiku....

Yogyakarta, 16 Agustus 2009.
Untuk Sahabatku “Rinpet” di Labuan Bajo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT