Etika dan Birokrasi Publik

*Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo


Kehadiran birokrasi dalam pentas sejarah kemanusiaan manusia adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dimungkinkan oleh hakekat dasariah manusia sebagai ens sociale, makhluk sosial. Sebagai ens sociale, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia selalu mengada bersama yang lain. Oleh karena itu, tidak salah jika Gabriel Marcel berujar demikian: esse est co-esse (ada selalu berarti ada bersama). Akan tetapi, ada bersama itu akan menjadi chaos bila tidak ada norma, aturan dan sistem yang mengatur interaksi antarindividu. Salah satu sistem yang mengatur interaksi individu dalam suatu sosialitas adalah birokrasi. Namun, bila sistem birokrasi itu menjadi problem itu sendiri dalam sebuah sosialitas, maka masyarakat yang diatur oleh sistem itu akan menerima katastrofi destruktif yang merusak sosialitas itu sendiri. Sebaliknya, bila birokrasi itu bersih, efektif dan efisien maka masyarakatnya akan merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah sosialitas yang sangat besar. Sebagai sebuah negara, Indonesia tentunya memiliki sistem birokrasi tersendiri. Sitem birokrasi ini berfungsi untuk menjamin agar semangat sosialitas dan kebangsaan tetap terjaga. Dengan semangat sosialitas dan kebangsaan yang baik, kesejahteraan bersama dan kebaikan bersama (bonum commune) pasti dapat direalisasikan secara baik pula. Namun, dalam kenyataan faktis, bonum commune masih jauh dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada multi faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Salah satu penyebabnya adalah adalah budaya koruptif yang terus menggerogoti birokrasi publik.

Korupsi dalam Birokrasi Publik

Korupsi, oleh As Hornby E. V. Gatenby dan H Wakefiel, sebagaimana yang dikutip oleh Baharudin Lopa, didefinisikan sebagai offering and accepting of bribes (penawaran atau pemberian dan penerimaan suap). Selain itu, dikatakan juga bahwa corruption is a decay, yang berarti kebusukan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kebusukan adalah kebusukan akhlak atau moral orang yang melakukan perbuatan korupsi tersebut. Korupsi dapat juga diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok yang merugikan kepentingan orang lain. Kekuasaan yang disalahgunakan akan cenderung berpotensi pada praktek korupsi. Hal ini tentunya membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh seorang Lord Acton: “power tends to corrupt”.

Di Indonesia, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan sudah menjadi hal yang lumrah. Penyalahgunaan itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang menempati jabatan tertentu baik jabatan politis maupun jabatan birokratis. Hal ini tentunya memperburuk sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, pemimpin yang seharusnya menjadi ‘motor’ penggerak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara justru menjadi penghalang terealisasinya idealisme kebangsaan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Berdasarkan survei Global Corruption Barometer 2009, dengan penilaian 5 untuk negara terkorup dan 1 untuk negara terbersih, Indonesia ditempatkan sebagai negara terkurup di Asia dengan nilai 3,7. Penelitian ini difokuskan pada persepsi lembaga terkurup. Lembaga terkorup di Indonesia adalah DPR dengan nilai 4,4 dan terbersih adalah lembaga media dengan nilai 2,3. Lembaga Partai Politik 4,0, Dunia Usaha 3,2, Lembaga Yudikatif 4,1. Sedangkan untuk Lembaga Birokrasi Publik mendapat nilai yang cukup memprihatinkan juga yakni 4,0. Memang wajah birokrasi kita lagi bopeng oleh pelbagai tindakan korupsi.

Tentunya fenomena korupsi yang demikian hebat, khususnya dalam tataran birokrasi, menunjukkan bahwa akuntabilitas publik pejabat birokrasi kita sangat rendah. Kebanyakan dari para birokrat lebih mementingkan diri dan menjadikan birokrasi sebagai alat politik bagi rejim yang berkuasa. Hal inilah yang membuat civil society bersikap acuh bercampur benci terhadap kinerja birokrasi. Seorang Miftah Thoha mensinyalir bahwa bagi masyarakat awam birokrasi adalah penguasa yang sangat menentukan nasib mereka yang “hanya” berstatus sebagai rakyat. Birokrasi adalah penggusuran, pungli, kolusi, korupsi, dan berbagai konotasi menyakitkan lainnya.

Starling, sebagaimana dikutip oleh Wahyudi Kumorotomo, mengatakan bahwa akuntabilitas adalah jawaban. Maksudnya, akuntabilitas itu ada, bila orang, dalam hal ini pejabat birokrasi, bisa memberikan jawaban atas aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat. Dalam actus memberi jawaban ada unsur tanggung jawab. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang memberikan jawaban. Dia adalah orang yang tidak membiarkan orang lain berlalu tanpa memberikan tanggapan. Dan untuk memberikan jawaban yang bertanggung jawab dibutuhkan kesadaran dan keyakinan bahwa jawaban yang diberikan didasarkan pada nilai-nilai etika yang berlaku.

Tindakan korupsi yang marak terjadi di tataran birokrasi publik adalah sebuah bentuk jawaban yang tidak bertanggung jawab. Ia bertentangan dengan etika umumnya dan etika birokrasi khususnya. Sebuah jawaban yang tidak bertanggung jawab itu, menurut penulis, akan menyebabkan kurang lebih dua hal. Pertama, kemiskinan dan kelaparan (famine). Penderitaan dan kelaparan rakyat disebabkan karena kebutuhan riil masyarakat tidak terpenuhi. Pembangunan tidak berjalan. Pemerataan ekonomi tidak terlaksana. Seorang Kwik Kian Gie, dalam nada optimis, mengatakan bahwa nasib bangsa Indonesia ke depan amat bergantung pada tingkat keseriusan dalam memerangi korupsi. Karena menurut beliau korupsi adalah akar dari semua masalah. Corruption is the root of evils. Korupsi sesungguhnya akan melahirkan berbagai masalah lainnya. Korupsi mengakibatkan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan dan kandasnya pembangunan.

Kedua, perampasan hak terus menerus (endemic deprivation). Hal ini memiliki efek destrutif yang jauh lebih menyakitkan dari kelaparan dan kemiskinan. Menurut Amartya Sen, peraih nobel bidang ilmu ekonomi pada tahun 1998, gejala kelaparan bersifat sementara tetapi deprivasi endemik bersifat cukup permanen dan dapat membawa kesengsaraan yang ekstrem dan kematian yang luas. Apabila kelaparan membunuh jutaan orang melalui kekurangan makanan dan penyakit menular, deprivasi endemik dapat membunuh ratusan juta manusia melalui proses pelemahan tenaga, stress dan penyakit yang dapat menyebabkan dan meningkatkan jutaan penyakit dan memendekkan usia manusia.

Signifikansi Nilai-Nilai Etika Sebagai Conditio Sine Qua Non

Sejatinya, manusia adalah homo significans, sang pemberi makna hidup. Kebijaksanan hidup yang benar amat bergantung pada sikap pemberian akan makna hidup. Dan pemberian makna hidup yang benar bisa terselenggara dengan baik hanya dan hanya jika manusia bersandar pada nilai-nilai etika yang benar, kritis, rasional dan bertanggung jawab. Seorang birokrat sebagai manusia dan sekaligus pemimpin bagi manusia lain tentunya mesti berlaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup adalah sebuah tuntutan fundamental yang harus dimiliki oleh seorang birokrat untuk membawa masyarakat, bangsa dan negara ke ambang kebahagiaan dan kesejahteraan. Dengan demikian, nilai-nilai etika memiliki peran yang sangat signifikan untuk mewujudkan cita-cita ini. Namun, di Indonesia, khususnya pada kalangan birokrat, nilai-nilai etika kurang dihargai. Alhasil, korupsi dan pelbagai tindakan destruktif lainnya merajalela di kalangan birokrat.

Pemerintah Indonesia sudah menyadari bahwa nilai-nilai etika dalam pemerintahan dan birokrasi Indonesia kurang dihargai dan bahkan sering dilecehkan. Oleh karena itu, pemerintah, melalui Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, menetapkan salah satu kebijakan reformasi pembangunan yaitu menyiapkan sarana dan prasarana program aksi dan perudang-undangan bagi tumbuh dan tegaknya etika usaha, etika profesi dan etika pemerintahan. Pemerintah menyadari betapa pentingnya etika dalam semua sektor kehidupan baik itu pada sektor swasta maupun pada sektor birokrasi pemerintahan.

Dengan adanya penguatan nilai-nilai etika pada birokrasi pemerintahan, penyelenggaraan negara dan tata birokrasi pemerintahan yang baik (good governace), bersih dan bertanggung jawab dapat terlakasana. Tata birokrasi pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab adalah tata birokrasi yang bebas dari praktek korupsi. Hal ini tentunya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap peran, kewenangan dan wibawa birokrasi pemerintahan dalam menjalankan kehidupan negara dan pemerintahan.

Namun untuk mengintegrasikan nilai-nilai etika ke dalam birokrasi pemerintahan bukan hal yang mudah dan gampang. Ia mesti melalui proses yang pajang. Korupsi adalah salah satu akibat dari buruknya moralitas para birokrat. Para birokrat kurang mengindahkan nilai-nilai etika dalam pelaksanaan pekerjaannya. Lantas, apa yang mesti dibuat untuk mengembalikan nilai-nilai etika dalam birokrasi? Menurut penulis, ada beberarapa tesis untuk menjawab pertanyaan ini.

Pertama, tesis pertama berorientasi pada problem solving jangka pendek. Ini berkaitan dengan transparansi dan supremasi hukum. Penegakan hukum (law enforcement) mesti menjadi prasyarat penting bagi pemberantasan korupsi. Korupsi adalah sebuah tindakan actus humanus yang menuntut pertanggungjawaban secara moral dan hukum. Oleh karena itu, lembaga hukum harus menindak secara tegas para koruptor berdasarkan amanat hukum yang berlaku.

Kedua, tesis ini lebih berkaitan dengan problem solving jangka panjang yakni dengan mereformasi sistem dan kultur pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang selama ini hanya menekankan pada aspek akademik dan mengabaikan aspek moral dan etika akan berakibat buruk pada perkembangan mental dan kepribadian anak didik. Di Indonesia, banyak sekolah yang terkadang hanya menekankan aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral-spiritual. Guru lebih menjalankan fungsinya sebagai pengajar ketimbang pengajar dan pendidik. Tujuan otentik lembaga pendidikan adalah mendidik dan mengajar. Bukannya dua tujuan itu mulia itu diredusir ke dalam satu tujuan saja, yakni mengajar. Dengan adanya keseimbangan antara mengajar dan mendidik dalam proses pendidikan maka pendidikan akan menjadi ‘matahari’ yang memberikan pencerahan bagi semua orang. Heraclitus, seorang filsuf Yunani, pernah mengatakan bahwa education is a second sun to its possessor. Pendidikan adalah matahari kedua bagi orang yang memilikinya.

Akibat dari sistem pendidikan yang hanya menekankan aspek akademik-kognitif akan berakibat buruk bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian anak didik. Anak didik akan bertumbuh secara tidak proporsional. Ia tidak bisa berkembang sebagai pribadi yang matang dan dewasa karena memang selama menempati bangku pendidikan ia lebih ditempa secara akademik. Anak didik yang hanya ditempa dan dipersiapkan secara akademik tanpa adanya persiapan moral, spiritual dan etika yang matang akan menjadi pribadi dengan kesadaran moral dan spiritual yang lemah. Dan pribadi-pribadi seperti ini akan sangat mudah untuk melakukan perbuatan-perbuatan destruktif, seperti perbuatan korupsi, ketika satu saat mereka menempati jabatan tertentu dalam sistem birokrasi kepemerintahan. Oleh karena itu, agar generasi mendatang tidak lagi melakukan kesalahan birokrat generasi sekarang, maka reformasi kultur pendidikan itu harus dilaksanakan secara cepat dan tepat. Lebih cepat lebih baik.

Dengan adanya law enforcement dan reformasi kultur pendidikan maka nilai-nilai etika dapat terintegrasi secara signifikan dalam birokrasi publik di Indonesia. Tentunya, dengan cara demikian, kemajuan ekonomi dan kesejahteraan lahir dan batin seluruh masyarakat dapat terealisir. Sesungguhnya, signifikansi nilai-nilai etika dalam sistem birokrasi menjadi hal yang harus dibuat (conditio sine qua non). Mudah-mudahan pasangan presiden terpilih kali ini dan kabinetnya yang baru dibentuk dapat membuat semuanya ini menjadi kenyataan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT