Kebijakan Publik Yang Keliru

Evaluasi Eksplorasi Tambang di
Hutan Lindung Galak Rego-Manggarai


*Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo, S.Fil

Pendahuluan

Kebijakan politik demokrasi sebagai bentuk konkret dari pelaksanaan pemerintahan sudah seharusnya merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat menjadi kriteria utama yang menentukan bobot demokratis sebuah kebijakan publik. Namun, dalam kenyataan faktual sering ditemukan bahwa kebijakan publik dalam sebuah negara demokrasi justru tidak menjawabi kebutuhan masyarakat. Kebijakan itu lebih merupakan jawaban untuk kepentingan dan kebutuhan baik individual maupun kelompok para public makers dan kroni-kroninya.

Di Indonesia kenyataan bahwa pemerintah membuat kebijakan yang tidak responsif terhadap kebutuhan fundamental mayarakat sudah sering terjadi. Ini adalah sebuah ironi besar sebab Indonesia adalah negara demokrasi yang besar yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi justru bertindak bertentangan dengan nilai dan semangat demokrasi itu sendiri. Sering terjadi bahwa kebijakan publik yang diambil justru membawa katastrofi bagi masyarakat. Penderitaan masyarakat yang sendang marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia merupakan salah satu akibat nyata dari kebijakan publik yang tidak rasional dan tidak pro-rakyat. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengevaluasi kebijakan eksplorasi penambangan tembaga di hutan lindung Galak Rego Manggarai.

Manggarai, Bencana dan Hutannya

Secara umum, bencana alam di Manggarai adalah bencana tanah longsor. Pada musim hujan, bencana tanah longsor sering terjadi. Salah satu sebab bencana tanah longsor itu adalah deforestasi. Hutan di Manggarai sering dibabat baik secara legal maupun ilegal oleh masyarakat Manggarai. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, batas hutan yang masih belum jelas. Batas hutan yang tidak jelas ini juga sering mengakibatkan konflik vertikal antara perintah dan Masyarakat. Masyarakat yang lebih mengakui batas hutan yang ditetapkan oleh Belanda merasa tidak bersalah menebang hutan dan berladang di dalam kawasan hutan negara yang direvisi dan ditetapkan oleh PEMDA.

Kedua, adanya kebijakan pemerintah daerah yang inkosisten. Inkonsistensi itu menyata dalam kebijakan publik pemerintah yang melarang masyarakat untuk tidak menebang hutan di kawasan hutan lindung di satu pihak, tetapi di pihak lain membiarkan para pengusaha untuk membuka usaha, vila dan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung.

Eksplorasi Tambang di Hutan Galak Rego

Eksplorasi tambang tembaga di hutan negara Galak Rego adalah contoh nyata dari kebijakan yang keliru. Ada sekurang-kurangnya dua tesis yang mendukung pernyataan ini. Pertama, sebuah kebijakan yang baik dan benar mesti mempertimbangkan dan menghindari dampak negatif yang mungkin timbul bagi masyarakat. Sebab setiap kebijakan publik adalah jawaban atas kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, jika suatu kebijakan publik tidak menjawabi kebutuhan masyarakat dan justru membawa petaka bagi masyarakat, maka kebijakan itu mesti ditolak atau dihapus.

Kedua, eksplorasi itu terjadi tepat dalam kawasan hutan lindung. Berdasarkan undang-undang kehutanan ditegaskan bahwa hutan lindung adalah kawasan atau areal hutan yang harus dilindungi dan dijaga demi kesejahteraan masyarakat. Proses ekspolarasi tambang yang merusak hutan lindung adalah tidak benar dan mesti ditolak sebab ia bertentantangan dengan amanat undang-undang yang berlaku.

Proses Eksplorasi Tambang Sebaiknya Diberhentikan

Menurut Ahmad Erani Yustika, sebuah kebijakan dimaknai secara publik (kebijakan publik) apabila mengindahkan kepentingan orang banyak dan berkaitan dengan keputusan dan tindakan pemerintah yang didesain untuk untuk menyelamatkan rakyat, public concern. Yang dikedepankan bukanlah kepentingan sektarian dari para public makers melainkan aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat. Kebutuhan riil masyarakat menjadi agenda politik yang harus diutamakan. Dengan demikian, bobot rasionalitas sebuah kebijakan publik sangat ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan riil masyarakat.

Dalam kasus eksplorasi tambang tembaga di dalam kawasan hutan lindung Galak Rego, kebijakan publik yang memberikan ijin operasi pengeksplorasian dinilai sangat tidak rasional. Dikatakan tidak rasional karena ia tidak menjawabi kebutuhan masyarakat yang tinggal di sekitar areal pertambangan. Masyarakat justru menderita akibat proses eksplorasi berupa hilangnya sumber mata air dan meningkatnya suhu udara panas. Selain itu, mereka juga tidak mendapat sepeser pun dari hasil eksplorasi itu. Padahal, eksplorasi itu terjadi di atas tanah milik ulayat rakyat (lingko) yang beberapa tahun sebelumnya diserahkan cuma-cuma kepada PEMDA untuk dikonversikan menjadi hutan lindung.
Untuk mencapai rasionalitas kebijakan publik, maka PEMDA Manggarai harus memberhentikan proses eksplorasi itu. Ada beberapa hal yang mendasari klaim ini. Pertama, lokasi pertambangan itu ada dalam kawasan hutan lindung. Sebagai hutan lindung, ia mesti dijaga dan dipelihara demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, deforestasi terhadap hutan lindung dalam bentuk dan tujuan apa pun tidak dibenarkan secara konstitusional.
Kedua, ada beberapa konsekuensi destruktif yang muncul akibat proses eksplorasi itu. Proses eksplorsi telah menimbulkan hilangnya ruang bagi partisipasi dan akses masyarakat terhadap hutan sebagai sumber kehidupan. Selain itu, proses eksplorasi telah menyebabkan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya hutan yang menimbulkan berkurangnya debit air dan perubahan iklim baik secara lokal maupun global.
Sebuah kebijakan atas nama pembangunan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi harus ditolak dan direvisi. Apalagi dalam pelaksanaan kebijakan itu masyarakat secara jelas dikorbankan. Seorang Bodley (1982) pembangunan yang didominasi negara dan semata-mata diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban pembangunan (victims of development) dan model pembangunan yang seperti ini mesti ditolak. Dalam proses pembangunan seharusnya tidak boleh ada victims of development. Sebab pembanguanan itu mempunyai tujuan instrisik yakni untuk kesejahteraan rakyat banyak, bukan sebaliknya.
Jadi berdasarkan uraian di atas maka inferensi tunggal yang dapat diambil adalah bahwa rasioanlitas kebijakan hanya mungkin tercapai bila eksplorasi itu diberhentikan. Masyarakat di sekitar areal menginginkan agar proses pemberhentian proses eksplorasi itu dipercepat. Karena kebijakan publik yang rasional adalah kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat. Maka pemberhentian terhadap proses eksplorasi adalah sebuah kebijakan yang rasional karena masyarakat memang menginginkan hal itu. Jika tidak terjadi demikian maka kebijakan itu tetaplah sebuah kebijakan yang keliru dan tidak pro-rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT