Mengais Jejak IDT

(Sebuah Tinjauan Evaluatif-Kritis Terhadap Implementasi IDT di Indonesia)

* Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo, S. Fil

I. Pra-wacana

Kemiskinan adalah sekaligus fakta dan wacana global saat ini. Hampir semua negara di dunia mengalaminya. Namun tingkat kekompleksan kemiskinan bervariasi dari satu negara ke negara lain. Ada negara yang kondisi kemiskinan yang sangat memprihatinkan dan ada yang biasa-biasa saja. Hal inilah yang membedakan definisi dan batasan tentang kemiskinan. Menurut World Bank, seseorang didefinisikan sebagai orang miskin jika pendapatannya di bawah dua dolar per hari. Selain itu, ada definisi kemiskinan yang dilihat dari perspektif depriviasif. Masih ada banyak definisi dan batasan kemiskinan yang dipakai untuk menjelaskan tentang kemiskinan.

Pluralitas definisi dan batasan tentang kemiskinan ini telah melahirkan aneka program pengentasan kemiskinan yang bervariatif. Indonesia, sebagai negara berkembang dan miskin, tentunya memiliki landasan dan perspektif teoritis tersendiri dalam menangani fenomena kemiskinan. Secara umum, kemiskinan di Indonesia didefinisikan sebagai fakta depriviasif. Dengan demikian untuk mengatasi fakta depriviasif ini, pemerintah memberikan bantuan materiil agar ruang depriviasif itu bisa terisi. Program IDT adalah salah satu program pemerintah dengan cara memberi bantuan agar ruang depriasif sosial dapat teratasi. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau secara evaluatif-kritis progaram IDT yang berlangsung tidak lama di Indonesia.

II. IDT Selayang Pandang

2.1. Apa itu IDT?

Salah satu program pengentasan kemiskinan di era kepemimpinan Soeharto adalah program IDT. Program ini dirancang Mubyarto bersama seorang teman LSM-nya. IDT adalah kependekan dari “Inpres Desa Tertinggal”. Mengapa bukan “desa miskin” melainkan “desa tertinggal”. Apakah keduanya ada perbedaan? Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat pandai dalam hal-hal yang berkaitan dengan eufemistis. Presiden Soeharto kala itu tidak simpatik dengan kata “miskin”. Oleh karena itu, kata “miskin” diperhalus dengan kata “tertinggal”. Apalagi pada awal kelahiran program ini, banyak para Gubernur dan Bupati yang tidak setuju dengan pengklaiman bahwa daerahnya adalah salah satu daerah miskin. Atas dasar ini makanya desa miskin diperhalus dengan desa tertinggal.
Program IDT ini dihalirkan melalui instruksi presiden no. 5 tahun 1993 pada tanggal 27 Desember. Mekanisme implementasi program ini adalah dengan cara memberikan batuan kepada masyarakat miskin berupa sejumlah uang dan materi. Uang dan materi ini digunakan untuk membantu masyarakat miskin membangun usahanya secara mandiri. Uang dan materi yang diberi oleh pemerintah ini memiliki fungsi pemberdayaan. Maksudnya adalah bahwa uang dan materi yang diperoleh ini dilihat sebagai modal awal untuk menghasilkan laba dan keuntungan di masa-masa yang akan datang.
Dana bergulir itu disalurkan melalui Pokmas (Kelompok Masyarakat) yang dibentuk oleh masyarakat sendiri di desa-desa tertinggal. Untuk memperlancar implemetasi program IDT ini, “sekitar 4000 Pendamping direkrut di antara lulusan S1 (Sarjana Pendamping) dilatih selama sebulan baik fisik maupun pengetahuan tentang Pokmas dan keterampilan pendampingan. Selain penyusunan konsep, Bina Swadaya juga terlibat dalam pelatihan untuk mempersiapkan tenaga Pendamping. Program IDT ini telah membentuk 120.000 Pokmas dengan anggota 3,6 juta keluarga”.
Tapi sesungguhnya, program IDT merupakan perluasan dan peningkatan dari berbagai program dan upaya serupa yang telah dilaksanakan selama ini, seperti Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), kegiatan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera Keluarga Berencana (UPPKS-KB), dan program serupa yang dilaksanakan oleh PKK. Program PKT dan program lain yang menangani langsung masalah kemiskinan pada tingkat perdesaan di desa tertinggal selanjutnya diintegrasikan ke dalam program IDT.

Program ini memiliki spirit partisipasi publik. Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaan program ini agar mereka bisa mengembangkan usaha kecil, menengah dan koperasinya secara mandiri. Dengan ini maka program ini disambut dengan antusias oleh semua elemen masyarakat.

“Masyarakat memperoleh dukungan pemberdayaan untuk membangun usaha kecil, menengah dan koperasi. Disyaratkan agar setiap keluarga dan penduduk ikut serta dalam proses pemberdayaan, utamanya penduduk yang dianggap miskin atau dirasa harus meningkatkan kemampuan keluarganya. Usaha kecil yang menjadi garapan itu mendapat dukungan kredit dengan bunga di subsidi agar sebanyak mungkin keluarga dapat dengan mudah memulai usaha kecil dan menengahnya dalam kelompok yang makin mandiri. Pelaksanaan program IDT dilakukan langsung oleh masyarakat desa tertinggal itu sendiri, dibantu oleh aparat pemerintah daerah pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat. Karena itu, peranan aparat pemerintah desa/kelurahan akan sangat penting, yang harus ditunjang oleh lembaga masyarakat yang ada di desa/kelurahan, seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).”
Pengimplementasian program ini dimulai pada tanggal 1 April 1994. Pada awal implementasi program ini, ada sekitar 20.000 desa yang menjadi sasaran program. Ketika tahun 1996 cakupannya menjangkau sekitar 28.223 desa tertinggal. Selama program ini berlangsung, setiap desa mendapat dana sebesar 20 juta per tahun sebagai modal usaha bagi kelompok keluarga miskin di desa-desa tersebut. Kepada daerah-daerah yang menerapkan IDT diberikan dukungan tiga komponen pembangunan, yaitu pembangunan prasarana perdesaan, pinjaman bergulir, dan pendampingan oleh tenaga sarjana yang bekerja paruh waktu. Namun, program ini cuma berjalan 3 tahun karena hasilnya tidak maksimal. Dana-dana IDT akhirnya diambil dan diserahkan pengolahannya kepada depertemen luar negri.
2.2. Hakikat dan Komponen Program IDT
Apa sesungguhnya hakikat dari dari IDT? Pertanyaan tentang hakikat senantiasa menuntut jawaban yang selalu menukik pada pengertian dan sasaran substantif dari apa yang dipertanyakan. Sesungguhnya program mengandung tiga pengertian dasar. “Pertama, program IDT mengandung makna sebagai usaha penanggulangan kemiskinan melalui kepedulian di atara yang telah maju dan kuat terhadap yang miskin dan tertinggal. Tujuan utama dari arus kepedulian ini adalah untuk memacu gerakan nasional dalam memerangi fakta kemiskinan di masyarakat Indonesia. Kedua, program IDT merupakan salah satu strategi pemerataan dan penajaman program pembangunan yang ditujukan kepada penduduk miskin di desa tertinggal. Penajaman program ini tertuang dalam pengalihan program yang semula dipusatkan, secara bertahap dan terprogram dialihkan dan ditujukan langsung kepada masyarakat yang paling memerlukan. Ketiga, sebagai upaya meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat dalam perubahan struktur yang tumbuh dari kemampuan masyarakat sendiri.”
Untuk menggolkan hakekat IDT di atas maka pelakasaan IDT senantiasa didasarkan pada prinsip demokrasi. Pembangunan dan pengentasan kemiskinan selalu berarti pembangunan dan pengentasan dari, oleh dan untuk rakyat sendiri. Program IDT sesungguhnya didasarkan pada moralitas pembangunan itu sendiri. Bahwa pembangunan adalah tanggung jawab dan kemauan bersama seluruh masyarakat dengan logika: ”yang kuat dan maju memiliki imperatif dan tanggung jawab moral untuk membatu yang lemah dan tertinggal”.
Lebih lanjut, ”untuk melaksanakan program IDT terdapat tiga komponen, yaitu 1) penyediaan dana bergulir sebagai modal usaha ekonomi produktif, 2) penyediaan tenaga pendamping, dan 3) pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal. Ketiga komponen tersebut sedapat mungkin dapat menjangkau dan langsung dilaksanakan oleh penduduk miskin di desa yang memerlukan. Disamping ketiga kegiatan di atas, dalam rangka memperkuat perencanaan kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan selanjutnya juga dilaksanakan komponen kegiatan penguatan kelembagaan, yang akan dilaksanakan bagi Aparat Daerah dan Pusat, kegiatan Bantuan Pengembangan Kecamatan dan kegiatan Sistem Pengelolaan Informasi program IDT, sebagai kegiatan pendukung dan penunjang program penanggulangan kemiskinan berupa kegiatan evaluasi, pemantauan dan publikasi program IDT”.
III. Meneropong Jejak Implementasi program IDT di Indonisia
3.1. Kelebihan Program IDT
Implementasi program IDT di Indonesia telah membawa beberapa perubahan positif bagi pembangunan nasional. Misi utama pelaksanaan program IDT adalah untuk menanggulangi kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan di desa-desa tertinggal. Selama implementasi program IDT dijalankan ada perubahan signifikan dalam kaitan dengan pereduksian angka kemiskinan. Dalam perjalanan implementasi program selama dua tahun, keberhasilan sasaran yang dituju mulai pelan-pelan menunjukkan hal positif. Oleh karena itu, pemerintah mulai mensenyawakan beberapa program-program lainnya seperti “TAKESRA” dan “KUKESRA” ke dalam program IDT. Kedua program tambahan ini ditujukan untuk desa-desa di luar kategori desa tertinggal tapi masih tergolong miskin. Namun, akhirnya hasil implementasi program IDT memang tidak terlalu signifikan karena praksisnya pelaksanaan IDT cuma 3 tahun.
Kurang lebih, menurut penulis, kelebihan program IDT adalah sebagai berikut. Pertama, pelaksanaan program IDT menjadikan masyarakat miskin sebagai aktor utama dalam pengentasan fakta kemiskinan yang sedang mereka alami sendiri. Pemerintaha hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penggerak agar program itu bisa berjalan dengan baik. Masyarakat dan pemerintah sama-sama pro-aktif dalam memerangi fakta kemiskinan. Dalam hal ini, sebagaimana yang ditandaskan dalam perspektif good governance, pemerintah (yang baik) lebih menjalankan fungsi “enabling, streering dan empowering” dari pada sebagai “providing dan rowing”. Bila fungsi providing dan rowing yang diutamakan maka masyarakat akan menjadi penonton yang pasif untuk program yang dicanangkan oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam kaitannya dengan masalah pengentasan kemiskinan adalah suatu keniscayaan sebab masyarakat masyarakat lebih tau apa dan bagaimana yang mereka alami. Selain itu ada sebuah pepatah Inggris yang pernah penulis dengar mengatakan demikian: “If someone asks fish on you, do not give him/ her fish, but teach him/her how to fish so that if you are not with him/her anymore, he/she will not die of being hanger”.
Kedua, program IDT adalah program untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka kesempatan berusaha. Dalam rangka itu, program IDT diarahkan pada pengembangan kegiatan sosial ekonomi untuk mewujudkan “kemandirian” penduduk miskin di desa/kelurahan tertinggal dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan partisipasi. Kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan adalah kegiatan produksi dan pemasaran, terutama yang sumber dayanya tersedia di lingkungan masyarakat setempat. Guna mempercepat upaya itu disediakan dana sebagai modal kerja bagi penduduk miskin untuk membangun dan mengembangkan kemampuan dirinya. Dengan ketersediaan modal, penduduk miskin diharapkan akan lebih mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya secara mandiri.
Ketiga, program IDT mengkoordinasikan dan memadukan berbagai program pembangunan yang sudah ada dalam kerangka penanggulangan kemiskinan secara komprehensif. Pada tingkat kelompok sasaran, program IDT bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, mendorong perubahan struktur masyarakat, dan membangun kemampuan masyarakat melalui pengembangan, peningkatan dan pemantapan kondisi sosial ekonomi. Dana batuan yang bersifat tunai itu dihibahkan ke masyarakat dan dikelolah oleh kelompok dengan pencatatan secara tertib dan transparan.
3.2. Tantangan Implementasi Program IDT
Implementasi program tidak luput dari tantangan dan halangan. Semua kelemahan itu membuat program IDT tidak bisa berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan idealisme awal, yakni untuk mengatasi kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Adapun beberapa tantangan fundamental yang dialami dalam proses pengimplementasian program IDT. Pertama, masalah paling besar yang dihadapi dalam pelaksanaan program IDT adalah kesulitan dalam menjangkau wilayah-wilayah desa tertinggal yang amat tersebar dan terisolasi seperti di Irian Jaya, Maluku Tenggara, Wilayah perbatasan Kalimantan, dan wilayah-wilayah kepulauan Riau, Nias, Sangir Talaud dan Banggai. Banyak di antara desa-desa terisolasi ini tidak dapat dijangkau dengan jalan darat atau laut, tetapi hanya dapat dijangkau dengan pesawat kecil dan atau bahkan dengan berjalan kaki beberapa hari. Juga banyak Kecamatan belum memiliki kantor-kantor bank atau kantor pos yang dapat menyalurkan dana IDT. Untuk mengatasi kendala ini pemerintah telah mengupayakan untuk memberikan secara langsung kepada pokmas melalui jasa pos atau bank.
Kedua, program IDT menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam menjalankan program. Sementara pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator. Namun, strategi seperti ini tidak selamanya efektif sebab tidak sedikit masyarakat yang belum siap untuk “berdikari” dalam memanage program. Hal ini disebabkan oleh rendahnya sumber daya manusia. Apalagi sumber daya manusia orang-orang desa tidak cukup memadai. Hal ini terkadang diperburuk oleh sosialisasi dari pemerintah tentang pelaksanaan program yang terkesan instan dan tidak serius.
Ketiga, hal ini berkaitan dengan monitoring pelaksanaan program. Monitori pelaksanaan program masih menemukan banyak kendala. Misalkan, dalam pelaksanaannya, program IDT khususnya komponen Bantuan Langsung secara nyata menghadapi kendala berupa masih belum optimalnya penyusunan data base yang berasal dari jalur monitoring rutin yang dilaksanakan oleh Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri, serta masih belum adanya evaluasi yang cukup representatif terhadap pelaksanaan komponen Bantuan Langsung. Pelaksanaan Program IDT khususnya komponen Bantuan Langsung Rp. 20 juta selama 3 (tiga) tahun anggaran dalam kenyataannya sulit untuk dipantau perkembangannya dari mulai tahap sosialisasi, implementasi, sampai dengan tahap evaluasi. Hal ini menyebabkan sampai dengan saat ini belum dapat tersusun data dasar yang akurat tentang perkembangan komponen Bantuan Langsung. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya peluang korupsi dan pemanipulasian.
V. Post-wacana
Program IDT sebagaimana dicanangkan oleh pemerintah di era kepemimpinan Soeharto memiliki intensi yang baik nan luhur, yakni untuk mengentaskan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Hal ini diawal dari kesadaran bahwa kemiskinan adalah hambatan bagi pembangunan. Atau kemiskinan adalah bukti dari kegagalan dari pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah berniat untuk mengatasi persoalan ini dengan mengeluarkan program IDT. Diyakini bahwa program IDT adalah sebuah solusi alternatif yang paling tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan dalam konteks Indonesia.
Program IDT dalam proses implementasinya tidak selamanya baik. Ada juga halangan dan rintangan yang menghadang. Ada kelemahan-kelemahan fundamental yang menyebabkan program ini tidak berjalan dan berfungsi secara efektif sesuai dengan idealisme awal. Umur program IDT juga tidak panjang. Ia hanya bertahan tiga tahun dan akhirnya rotok bersama lengsernya Soeharto sebagai pencetusnya dari tampuk kekuasaan. Namun sebagai fakta sejarah ia tetap penting dan bernilai. Sebab sebua pepatah bijak menandaskan demikian: ”Orang yang besar adalah bukanlah orang yang selalu belajar sejarah, melainkan orang yang selalu belajar dari sejarah”. Orang yang belajar dari sejarah selalu mendapatkan inspirasi baru untuk menyabut masa depan yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik