Misteri di Balik Air Mata Yanti

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo


Yanti. Itulah nama dara manis nan anggun yang sedang duduk pada bangku paling belakang di Gereja tua siang itu. Parasnya cantik. Matanya bundar rendah bernaung di bawah alis matanya yang lebat mengambang pada wajah kuning langsat. Rambutnya hitam memanjang. Hidungnya mancung. Itu semua membuat wajahnya perfect seperti seorang bintang film yang membuat para lelaki keblinger melihatnya.

Yanti, nama yang cantik, secantik pemiliknya. Nama yang penuh arti. Nama yang sering dibicarakan oleh orang-orang sekampungnya. Nama yang sering terdengar ketika orang tua menasihati anak gadisnya. Yah, pokoknya, Yanti adalah nama yang indah, namun menyimpan sejuta misteri.

Yanti adalah anak yatim di kampungnya. Ayahnya telah lama pergi menghadap Sang Khalik. Ayahnya pergi ketika ia masih berumur 14 tahun. Umur di mana seorang anak yang masih sangat membutuhkan belaian kasih sayang seorang ayah. Umur yang masih secara penuh bergantung pada ayah. Umur di mana seorang anak manusia belum mampu berdikari. Yah, umur yang masih terlalu belia untuk hidup tanpa seorang ayah.

Yanti ditinggalkan sang ayah bersama bundanya dan 2 adiknya, Patrik dan Lola. Ia adalah buah hati pertama dari percintaan ayah dan bundanya. Sebagai buah hati pertama bukanlah hal muda bagi Yanti. Apalagi ketika umurnya si bunda kian uzur. Ia sekurang-kurangnya menggantikan posisi ayahnya untuk mencari nafkah. Ia harus membantu bundanya. Apa lagi setelah kepergian ayahnya, ibunya sering sakit-sakitan. Dalam kondisi demikian, Yanti harus membanting tulang dengan cara apa pun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sekolah adik-adiknya. Yah, ia adalah tulang punggung keluarga semenjak ayahnya pamit dari dunia ini.

Kini Yanti boleh menarik nafas lega. Kedua adiknya telah berhasil. Patrik adiknya telah menjadi seorang manager pada sebuah perusahan swasta terkenal di Jakarta. Sementara Lola menjadi perawat di sebuah Rumah Sakit ternama di Surabaya. Keberhasilan ini ada karena Yanti. Tanpa Yanti semuanya imposible, kata orang Inggris. Tak pelak, kalau dikatakan bahwa keberhasilan ini adalah keberhasilan Yanti karena ia telah menjadi tokoh kunci dari keberhasilan keluarganya, keberhasilan Patrik dan Lola.

***

Yanti sedang duduk manis, pada bangku paling belakang, di Gereja pada hari Minggu siang itu. Ia sendirian. Semua orang yang lain telah pulang setelah misa yang dimpin oleh Romo Ronny berakhir.

Di mata Yanti, Romo Ronny bukan sosok imam yang baik dan saleh. Sebab, ia suka sekali berbicara tentang masalah sosial dalam kotbahnya. Tetapi persoalanya adalah bahwa kadang-kadang ia merasa diri sebagai pemilik kebenaran. Ia tidak berpikir bahwa kebenarannya adalah relatif di antara kebenaran orang lain. Sesungguhnya semua manusia mencari kebenaran, bukan pemilik mutlak kebenaran itu sendiri. Hal ini bisa terjadi mungkin karena Romo Roni lupa atau pura-pura lupa dengan pergumulan dan refleksi filosofis tentang kebenaran yang pernah digelutinya di Seminari Tinggi.

Yanti sama sekali tidak tertarik dengan kotbahnya Romo Ronny. Akan tetapi itu bukan berarti ia menolak Romo Ronny secara total. Sebagai seorang Katolik, Yanti sungguh yakin dan percaya bahwa Romo Ronny adalah tanda kehadiran Kristus dalam ekaristi kudus. Ketidaksukaan Yanti terhadap Romo Ronny adalah karena ia sering berkoar-koar mengumandangkan nilai-nilai kebenaran demi membela orang kecil. Namun ia cenderung terseret dalam kesombongan diri. Yah, ia menganggap diri sebagai pemilik kebenaran. Setiap orang di luar dirinya dilihat sebagai pribadi yang tidak memiliki kebenaran sehingga harus tunduk di bawah kebenarannya.

Romo Ronny sering berbicara membela orang kecil. Namun pembicaraan hanya sebatas retorika tanpa tindak nyata. Mungkin Romo Ronny sedang menderita penyakit verbalisme. Penyakit verbalisme adalah penyakit yang melekat pada seseorang yang merasa puas hanya karena ia sudah omong. Entah ada realisasi nyata atau tidak, itu bukan urusannya. Pokoknya yang penting ia sudah omong.

Yanti duduk terpekur mematung diri pada bangku tua Gereja yang akan segera lapuk. Pandangan matanya yang layut diarahkan pada salib yang tergantung pada dinding di belakang altar. Perlahan ia membuat tanda salib sambil menutup matanya rapat-rapat. Mulutnya bergerak mengucapakan kata-kata doa. Ia sedang berdoa. Ia sedang berbicara dengan Tuhan yang diyakininya dengan penuh iman.

Tak sedikitpun ia beringsut dari duduknya. Ia tampak tenang. Hanya raut wajahnya yang cantik tampak layu. Kepalanya ditundukannya dalam-dalam. Ia tidak berani lagi memandang salib Kristus. Ia seperti seorang pendosa yang ingin bertobat. Ia bukan seperti orang Farisi yang congkak hati di hadapan sang Khalik. Ia tahu bahwa Tuhan maha tahu. Ia tahu bahwa Tuhan maha cinta. Ia tahu bahwa Tuhan maha pengampun. Yah, ia tahu bahwa Tuhan maha segalanya. Karena itulah ia pasrah pada kemurahan dan belas kasihan Tuhan pada saat itu.

Namun, tiba-tiba matanya berkaca-kaca sebab ada buncahan perasaan yang menggetarkan jiwanya, yang membuatnya harus menangis. Ia segera membekap mulutnya dengan kedua tangannya. Air matanya pun segera tertumpah satu-satu membahasi pipinya. Disekanya air matanya berkali-kali dengan tangannya. Namun, air matanya terus mengalir menjalari pipinya. Pandanganya layu-lusuh bak seorang yang sedang memikul beban berat.

“Yesus, ampunilah saya sebab saya sungguh orang berdosa”, Yanti mengucapkan kata-kata ini dengan mulut bergetar.

Air mata Yanti terus berderai. Air mata Yanti adalah air mata penyesalan. Air mata yang membuka suatu babak kehidupan baru. Air mata pertobatan dan perdamaian dengan masa lalunya. Air matanya bukanlah sesuatu yang nir-makna. Ia sesungguhnya menyimpan seribu makna. Makna yang dapat menjadi “motor” untuk menggerakan hidup Yanti selanjutnya. Sebab, dengan dan melalui air matanya, ia ingin memulai hidup yang baru dengan kelender yang baru. Yaitu kelender yang mengatur hidupnya sedemikian sehingga ia dapat memaknai waktu dan kesempatan dalam hidup sebaik mungkin.

Kesunyian siang itu masih mencekam gereja tua itu. Hanya kadang-kadang terdengar suara burung gereja yang sedang bermain nakal di atas bangku-bangku tua gereja. Sesekali mereka terbang telak di atas kepala Yanti seolah mengejek kesedihan, kepedihan dan kesendirian Yanti. Yanti diam saja. Ia sama sekali tak menghiraukan itu semua.

Pikiran dan hati Yanti terus diarahkan pada Yesus yang sangat mencintainya. Ia sadar bahwa Yesus selalu dan senantiasa mencintai dia, meskipun dia berbuat kesalahan. Sebab Yesus tidak pernah menolak orang berdosa. Ia selalu mencari orang-orang yang berdosa yang mau bertobat. Namun teramat sering manusia berdosa selalu menaruh curiga pada Yesus. Mereka berpikir bahwa Yesus akan mencari dan menghukum orang berdosa. Yanti sadar bahwa Yesus memanggilnya untuk bertobat dan mencintai Dia dan sesama, bukan untuk menghukumnya. Cinta Yesus adalah cintah yang tulus dan tanpa syarat. CintaNya adalah cinta agape.

“Apakah saya sungguh berdosa karena perbuatan saya yang dulu? Bukankah saya berbuat demikian karena saya ingin menjadikan adik-adik dan keluarga saya hidup lebih baik? Bukankah dengan perbuatan itu saya telah dapat mempertahankan hidup keluarga saya? Bukankah mempertahankan hidup keluarga dan masa depan adik-adik saya adalah hal yang benar? Ah, tidak. Aku sungguh salah. Aku sungguh berdosa. Aku telah menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, walaupun tujuan itu untuk kebaikan ibu, Patrik dan Lola”, ujar Yanti dalam kalbu sembari mempersalahkan dirinya.

“Tidak....”, tiba-tiba Yanti berteriak keras memecah kesunyian gereja tua siang itu dengan nada penuh emosi dan diiringi oleh deraian air mata yang tadinya sudah mulai kering.

Kemudian ia berhenti sejenak.

Tak lama berselang, Yanti melanjutkan kata-katanya. “Tuhan..., apakah aku lebih berdosa dari pada pemerintah di daerahku, di negaraku, yang hanya tahu berkoar-koar tentang masalah sosial, tentang pelacuran tetapi tidak pernah bertanya, mengapa masalah sosial itu terjadi? Mengapa pelacuran itu terjadi? Bukankah masalah sosial dan pelacuran terjadi karena kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh mereka sendiri? Bukankah korupsi membuat rakyat miskin, dan pada akhirnya meyebabkan banyak anak gadis rakyat miskin yang putus sekolah dan melacur diri guna mempertahankan hidup dan masa depan keluarga mereka? Apakah aku lebih berdosa dari para imam yang selalu berbicara tentang moral, etika tetapi mereka sediri memiliki segudang gundik di parokinya? Apakah aku lebih berdosa dari Romo Ronny yang lantang berbicara tentang pelacuran tetapi ia sendiri sering mampir di tempatku, di tempat kawan-kawanku yang dengan setia menunggu lembaran-lembaran rupiah dari si hidung belang? Tuhan..., apakah aku lebih berdosa dari mereka-mereka ini? Oh....Tuhan. Berikanlah para pemimpinku dan para imamMU ini urat nadi kesadaran. Biarkanlah mereka sadar bahwa yang melacur diri di sepanjang trotoar jalan dan di setiap lokalisasi pelacuran adalah mereka sendiri. Bukan saya! Bukan kawan-kawan saya! Bukan pula anak-anak gadis yang lugu dan polos itu! Tuhan, bukan kami yang pelacur. Mereka yang pelacur. Mereka yang berdosa! Tuhan, Mereka-mereka ini yang suka mengatur moral orang lain sementara moralnya sendiri belepotan. Mereka sudah tidak punya urat nadi kesadaran dan perasaan malu”, demikian kata-kata Yanti memecah kesunyian gereja siang itu.

Sekarang Yanti tertunduk. Ia menagis lagi. Ia menangisi dirinya. Ia menangisi kawan-kawannya. Ia menangisi dunianya. Karena dunianya adalah dunia penjungkirbalikan orang-orang kecil oleh orang-orang besar yang sombong dan tak bermoral.

“Tuhan, ampunilah aku. Ampunilah para pemimpinku. Ampunilah para imamMu. Sebab kami semua berdosa. Kami semua pelacur”, guman Yanti dalam kalbunya.

Suasan gereja kembali sunyi mencekam di siang itu. Kini Yanti tampak tenang. Air matanya sudah kering dan Air mukanya cerah. Ia yakin bahwa Yesus sungguh telah mengampuni dosa-dosanya. Yesus selalu mencintainya.

“Hai Yanti, dosamu telah diampuni. Tak seorangpun yang akan menghukummu. Aku pun tak menghukummu. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”, demikian kata-kata biblis terbersit dalam kalbunya dan serentak menggetarkan hatinya, yang diimaninya sebagai kata-kata Yesus untuknya siang itu.

Yanti yakin bahwa suara itu adalah suara Tuhan. Suara itu adalah suara Yesus. Ia yakin bahwa Yesus telah membangkitkan dari kematian dan dosa. Yesus telah menjadikannya manusia baru, yakni manusia yang selalu mencintai kebenaran. Manusia yang selalu mencintai Tuhan dan sesama.

“Tuhan lindungilah ibuku. Lindungilah Patrik dan Lola. Merekalah orang yang sangat percaya padaku. Tetapi, kepercayaan mereka itu salah, sebab mereka percaya pada Yanti yang dulu. Yanti yang dulu adalah Yanti yang membiayai sekolah dan hidup mereka dengan lembaran-lembaran rupiah dari para hidung belang. Yanti yang selalu memanjakan mereka dengan coklat, susu, roti dan hal-hal lain setelah semalam suntuk bekerja melayani para lelaki hidung belang. Tuhan sekarang mereka sudah berhasil. Mereka sudah menjadi manusia yang baik. Jagalah dan tuntunlah mereka supaya mereka tidak seperti Yanti yang dulu. Biarkanlah mereka menjadi orang yang baik. Biarkanlah mereka menjadi orang yang tidak hanya tahu menyalahkan orang lain tanpa mencari tahu mengapa mereka berbuat salah. Biarkanlah mereka menjadi pembela orang-orang kecil yang menderita. Tuhan, lindungilah ibuku. Lindungilah adikku berdua, Patrik dan Lola”, demikian doa Yanti sebelum meninggalkan gereja tua itu.

Matahari semakin tinggi. Udara semakin panas. Sekarang jam 12. Yanti mengayunkan kaki keluar gereja diiringi oleh bunyi lonceng gereja. Bunyi lonceng gereja seolah menyoraki kemenangan Yanti. Yah...kemenangan Yanti terhadap dosa. Langka Yanti semakin pasti. Dalam hatinya ia berharap agar keturunanya tidak lagi menjadi seperti dirinya yang dulu. Ia berharap agar para tetangganya menerimanya kembali sebagai Yanti yang baru. Ia berharap menjadi Yanti yang sungguh baru. Dalam perjalanan itu, ia berdoa dalam hati danmemuji Tuhan.

***


Yanti. Itulah nama seorang mantan pelacur. Ia melacur bukan karena nafsu dan libido dirinya yang tidak bisa tertahan. Ia melacur karena keadaan ekonomi mencekik keluarganya setelah ayahnya meninggal dunia. Ia melacur guna mempertahankan hidup keluarganya. Ia melacur guna membiayai hidup adik-adiknya, Patrik dan Lola. Ia melacur karena pembangunan bangsanya ringsek, krisis ekonomi yang menggila di bawah kebejatan pemimpimpin yang korup dan tidak tahu diri. Ia melacur karena pemimpin religius yang sudah tidak tahu diri. Yah...ia melacur karena dunianya memaksanya untuk melacur.

Kini Yanti sudah berubah. Yanti yang sekarang adalah Yanti yang baru. Ia bukan Yanti yang dulu. Yanti yang sekarang adalah Yanti yang telah berubah. Yanti yang bukan pelacur.

Yogyakarta, 3 Agustus 2009
Untuk Seorang Sahabat Yang Sedang Bersedih di Kota Karang

Komentar

Anonim mengatakan…
maju terus limz..... Yanti Makaopo.. i will never forget it..

Postingan populer dari blog ini

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Jejak IDT