Percakapan Imaginer dengan Gubernur NTT

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo, S. Fil



Pesawat transit, Merpati, yang kutumpangi dari bandara Juanda-Surabaya mendarat dengan selamat di bandara Eltari-Kupang. Hatiku lega. Sebab aku tiba dengan selamat. Aku membuang pandangan lewat kaca jendelah pesawat yang bertentuk lingkaran kecil tanpa menghiraukan apa informasi yang disampaikan oleh pramugari cantik. Kulihat cuma dua pesawat kecil yang rupanya sudah tua berjejer rapih. Hal ini tentunya berbeda dengan bandara-bandara di Pulau Jawa yang hampir setiap saat dipenuhi puluhan pesawat yang kualiatasnya jauh lebih baik dari dua pesawat tua itu.

Pesawat pun berhenti sempurna. Satu-satu penumpang keluar menuruni tangga pesawat. Aku masih terdiam di tempat dudukku sambil memandangi para penumpang yang berdesak-desakan melewati lorong antara kursi penumpang yang sempit. Dari penampilan mereka, aku bisa tahu kalau mereka adalah orang-orang berduit.

Aku menjadi orang terakhir yang menuruni tangga pesawat. Di pintu keluar kubalas senyum pramugari cantik berbadan super seksi yang sejak tadi selalu tersenyum dan mengucapakan “terima kasih” kepada setiap penumpang yang akan menuruni tangga.

Ketika sampai di ruang tunggu, aku berjejer bersama penumpang yang lain menunggu koper pakayanku. Tiba-tiba HP LGku berdering. Ku raihnya. Kubuka. Ada tulisan om Beni di Inbox. “B tggu d pntu keluar. B su liat km”. Itulah tulisan pesan singkat dari sopir pribadi bapak kecilku.

Aku menuju pintu keluar dan membuang pandangan keluar. Tiba-tiba seorang petugas bandara berpakaian seragam putih mendekatiku dan melepaskan stiker bagasi yang melekat pada koper yang sedang kutarik.

“Terimah kasih”, kata petugas itu sembari membiarkan aku melewati pintu keluar. Aku hanya tersenyum kepadanya dan berjalan menuju pintu keluar. Ada banyak orang yang rupanya ingin menjemput keluarga mereka berdiri berdesak-desakan di depan pintu keluar. Di antara orang banyak itu, kulihat om Beni. Dia tersenyum kepadaku. Aku pun balas tersenyum. Kulewati orang banyak itu mendapati om Beni. Om Beni menjemputku dan langsung meraih gagang koperku. Aku berusaha menolak. Tetapi om Beni tetap tak mau kalah. Aku pun menyerah.

Kami segera menuju tempat parkir. Di sana ada mobil Avansa milik bapak kecilku. Om Beni meminta untuk duduk di kursi depan. Kami pun meluncur meninggalkan bandara menuju arah Penfui. Di jalan lurus dari arah bandara, kadang-kadang kami bertemu mobil taksi kecil berwarna biru mudah meluncur dengan kecang ke arah bandara.

“Om, ini mobil taksi bandara?”, tanyaku ingin tahu.

“Ia”. Jawab om Beni. “Di sini taksi semuanya berwarna begitu dan dimonopoli oleh AURI. Sonde ada taksi yang lain yang bisa masuk bandara. Makanya, ongkos taksi juga mahal sekali. Biasanya harganya 60. 000. Tapi kalau diminta antar 2 tempat, sopir akan minta tambah 30.000. Padahal tiketnya ditulis 60.000. Hal inilah yang kadang-kadang membuat sopir taksi bertengkar dan berkelahi dengan penumpang soal harga”, tambah om Boni menjelaskan tanpa saya bertanya.

Mendengar penjelasan om Beni, saya teringat ketika 2 bulan lalu saya ke Lombok, negeri seribu mesjid itu. Waktu itu saya ingat uang taksinya cuma 35.000. Padahal jarak antara bandara dan hotel “Lombok Indah” yang saya nginap waktu itu cukup jauh. Aku pun mulai mereka-reka sebab mengapa harga taksi airport di Kupang mahal. Mungkin karena monopoli. Mungkin, BBMnya mahal. Ah...itu tidak penting. Yang terpenting saya sudah tiba di Kupang dengan selamat.

“Bapak sekarang pasti semakin sibuk”, tanya saya coba mengalihkan pembicaraan kami tentang taksi.

“Ya... Memang tidak gampang jadi orang besar. Bapakmu sibuk sekali. Dia ke Jakarta seperti pergi kebun”, jawab om Boni yang sambil terus membuang pandangan ke depan.

Aku cuma tersenyum mendengar jawaban om Boni yang adalah orang Ende, yang umumnya terkenal dengan gaya bicara menghiperbolis. Tak mungkin pergi Jakarta seperti pergi kebun. Aku ingat, ketika kecil di Flores, aku hampir tiap hari ke kebun. Kalau memang Bapak tiap hari pergi Jakarta, saya tidak bisa bayangkan bagaimana letihnya dia.

Setelah melewati jembatan Liliba, mataku udah berat. Rupanya kesejukan AC mobil mujarab merangsang saraf ngantukku. Apalagi tadi pagi aku hurus bangun pagi-pagi. Sebab check in di bandara adalah 1 jam sebelum waktu pesawat lepas landas, Jam 06.00. Aku pun tertidur. Om Boni membangunkanku setelah tiba di rumah. Tanta Yuli langsung mengatar aku ke kamar yang telah dipersiapakan untukku. Ya, kamar yang pernah aku tinggal 6 bulan yang lalu.

Tepat jam 13.00, aku dan tanta Yuli menikmati makan siang. Tidak ada orang lain orang di rumah kecuali aku dan tanta Yuli. Om Beni sudah kembali ke kantornya Bapak kecilku. Bapak kecilku dan Ibu Martha, istrinya, masih di tempat kerja mereka masing-masing. Noni, keponakanku, belum pulang sekolah. Setelah makan siang, aku bercerita-cerita dengan tanta Yuli. Tetapi kemudian rasa mengantuk memaksaku pamit lebih awal sekedar untuk beristirahat di kamar. Tanta Yuli pun kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Sore harinya usai mandi, badanku terasa segar. Tenagaku kembali pulih. Kuraih jam tangan yang kuletakan di atas meja lampu. Pukul 17.30. “Pasti Bapak sudah pulang dari kantor” batinku dalam hati. Aku segera bergegas keluar dari kamar menuju ruang rekreasi keluarga.

Ketika sampai di ruang keluarga kudapati bapak kecilku berpenampinan sangat bersahaja dengan memakai T-shirt putih yang sudah banyak berlubang karena api rokok dan sarung Timor sedang duduk di sofa membaca Pos Kupang edisi terbaru. Ia tampak serius. “Selamat sore bapak”, ucapku yang membuyarkan konsentrasinya. Dia membuang pandangan ke arahku sembari tersenyum dan bangkit memeluk aku. Aku pun memeluknya. Kami pun berpelukan untuk beberapa detik.

“Badan kamu agak turun. Apa kamu sakit? Atau karena kamu terlalu belajar?”, tanya bapak kecilku sembari memandangi aku sambil tertawa kecil. “Tapi kulit kamu lebih putih sekarang”, tambah bapak kecilku sembari menarik tanganku dan mengajak aku duduk.

Aku hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Bapak kecilku. Dalam hatiku aku mengakui kata-kata bapak kecilku. Memang benar badanku turun beberapa kilogram ketika harus menyelesaikan tesis S2ku di Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta. Waktu istirahatku terbatas. Apalagi aku harus berhadapan dengan dosen pembimbingku yang sangat demanding.

“Bagaimana studi kamu”, bapak memulai pembicaraan.

“Baik-baik saja bapak. Bulan depan saya wisuda.”, jawabku singkat.

“Lalu bagaimana dengan tesis kamu. Kamu dapat nilai berapa?”, tanya bapak ingin tahu.

“Kata dosen pembimbingku, aku dapat A.” jawabku sambil tersenyum.

“Profsiat! Bagus. Sudah kuduga kamu mendapat nilai seperti itu”, kata-kata bapak kecilku sambil tertertawa kecil dan mengulurkan tangannya untuk memberi salam keberhasilan untuk saya.

“Terimah kasih bapak” kataku. “Tetapi aku bisa peroleh semuanya itu karena bapak”, tambahku.

Aku teringat 6 bulan yang lalu. Beliaulah yang pontang-panting membantuku untuk mengumpulkan data-data penelitian di Kupang. Walaupun waktu itu beliau sibuk dengan urusan kampanye untuk menjadi orang nomor satu di NTT, tetapi beliau tetap meluangkan waktu untuk membantuku dalam proses pengumpulan data dan informasi. Sekarang beliau sudah menjadi orang nomor satu di NTT. Tetapi, dia masih sama seperti dulu. Penampilannya yang sederhana dan sikap ramahnya tidak berubah sedikit pun. Itulah yang membuat aku kagum padanya.

“Bapak sedang baca apa?”, tanyaku sekedar untuk membuka percakapan.

“Ini anak ...ada berita dugaan korupsi di dinas kesehatan”, jawab bapak kecilku. “Saya sebagai gubernur malu dengan hal-hal seperti ini. Apa lagi dinas kesehatan ini ada di ibu kota propinsi. Ya..memalukan sekali”, lanjut bapak kecil sambil membolak-balik Pos Kupang mencari berita korupsi yang tadi sudah dibacanya.

Mendengar jawaban bapak kecilku, aku pun teringat pembicaraanku dengan Andre, seorang wartawan Bali Post, yang kebetulan sedang berlibur mengunjungi keluarganya di Kota Kasih. Percakapan itu terjadi dalam pesawat Lion Air dalam perjalanan menuju Bali. “Memalukan sekali”, kata Andre waktu itu sambil meyodorkan Pos Kupang ke arahku. Lalu menunjukkan satu judul berita. Kubaca. “Kupang Kota Terkorup dan Yogyakarta Kota Terbersih di Indonesia”. “Ya, sebagai orang NTT, tentu kita malu. Kita boleh berkoar-koar menentang korupsi di daerah orang. Tetapi di daerah sendiri justru korupsi merajalela. Tahun ini Kupang kota terkurup di Indonesia. Tahun lalu Maumere”, lanjut Andre. Itulah kata-kata yang kuingat ketika mendengar apa yang dikatakan bapak kecilku.

“Siapa yang di duga korupsi dan berapa besarnya”, tanyaku ingin tahu.

“Ini anak...Ini bapak pung kawan akrab, pak Viktor, di dinas kesehatan. Dia korupsi dana kesehatan pengadaan obat-obatan dan peralat medis. Ya, kerugian negara sekitar 800 juta”, jawab bapak kecilku.

“Ya, kalau memang terbukti secara hukum dia harus harus dihukum. Meskipun dia teman bapak, dia tetap dihukum kalau memang dia bersalah di hadapan hukum”, kataku kepada bapak kecilku tegas.

“Tapi anak...kasihan juga dia. Anak-anaknya kan masih kecil. Kalau dia harus dipenjara, siapa yang akan mengurus anak-anaknya”, bantah bapak kecilku sambil berdiri ke arah TV. Diambilnya sebungkus rokok Sempoerna yang diletakannya di lemari TV. Diambilnya sebatang, lalu dibakar. Diisapnya dengan nikmat. Kepulan asapnya menutupi wajahnya. Matanya kerlap kerlip menahan asap yang keluar dari lubang hidunya sendiri.

“Bapak, koruptor itu penjahat negara. Karena itu dia harus dihukum. Tidak perlu ada prinsip belas kasihan. Tidak perlu mengintervensi lembaga hukum terlalu jauh. Biarkan lembaga hukum membuktikan kalau pak Viktor benar-benar bersalah”, kataku sambil tersenyum kepada tanta Yuli yang sedang mendulang dua cangkir kopi ke arah kami yang diikuti oleh adik Noni yang memegang dengan sepiring kue. Kami berhenti sejenak. Lalu, tanta Yuli mempersilahkan kami menikmati hidangan kopi sore.

Bapak kecilku terus mengisap rokoknya. Asap putih mengepul. Lalu dia meneguk hidangan kopinya. Kemudian dia melanjutkan percakapan. “Benar anak...Supremasi hukum harus ditegakan”, kata bapak kecilku. “Tapi anak...di NTT koruptornya ada banyak. Pak Viktor hanyalah satu orang dari ratusan pejabat publik dan pejabat birokrasi lainya yang berbuat demikian. Oleh karena itu, tidak adil jika hanya pak Viktor yang menanggung sengsara dari kejahatan para koruptor yang lain”, lanjut babak kecil.

Aku pun meneguk kopiku. Ehm...rasanya kopi ini dari Manggarai. Kualitas kopi Manggarai memang khas dan nikmat. Tetapi, jangan-jangan kopi ini yang berasal dari kawasan hutan lindung Meler Kuwus dan Colol. Jangan-jangan yang tanam kopi ini adalah enam orang petani Colol yang mati ditembus timah panas dari moncong senjata polisi pada tragedi Rabu Berdarah di tahun 2004 itu. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tetapi aku tak tahu pasti. Yang pasti, kopi ini dinikmati juga oleh orang nomor satu di NTT, bapak kecilku.

“Benar bapak...Pak Viktor hanyalah satu di antara ratusan koruptor. Oleh karena itu, agar adil, bapak harus mendorong lembaga hukum untuk bekerja lebih baik. Hukuman berat yang diberikan kepada seorang koruptor akan bisa memberikan efek jera atau shock theraphy untuk calon korupsi yang lainnya yang ada di NTT. Dengan ini, Kupang tidak akan menjadi kota terkorup seperti berita Pos Kupang 6 bulan yang lalu itu. Sebagai kepala gubernur, bapak tentu malu jika salah satu wilayah administrasif bapak dikategorikan sebagai kota paling korup di Indonesia.”, jelasku membenarkan apa yang dikatakan babak kecilku.

Setelah aku menghentikan penjelasan yang cukup panjang. Kurasakan mulut dan tenggorokanku mulai kering. Kuteguk kopiku yang sudah mulai dingin. Rasanya nikmat sekali. Bapak kecilku pun rupanya menghabiskan tegukan terakhir kopinya.

Tiba-tiba ibu Martha datang mendekati kami. Lalu ia duduk dengan sopan di samping suaminya.

“Ehm….Orang Jogya ini su pintar bicara politik ya…”, puji ibu Martha kepadaku.

Aku cuma tersenyum malu sambil meneguk sisa kopi terakhirku. Bapak kecilku cuma tertawa. “Kami tidak bicara politik mama”, terangku. “Kami bicara tentang berita Pos Kupang hari ini”, tambahku.

“Oh ya….Tapi omong-omong, hidangan malam sudah siap. Mari kita makan dulu. Setelah itu, baru kamu lanjutkan cerita tentang Jogya dengan bapakmu”, kata ibu Martha sembari mengajak kami ke meja makan.

Di meja makan kami lebih banyak bicara tentang keluarga dan masa lalu. Kami tertawa dan bersenda gurau. Kami sungguh bahagia malam itu. Aku pun sungguh bersyukur kepada Tuhan atas semua kebahagiaan yang kualami itu. Sebelum tidur aku berdoa kepada Tuhan semoga Ia memberikan berkat kebijaksanaan kepada bapak kecilku agar ia bersikap lebih bijaksana dalam menghadapi pelbagai masalah di NTT, terutama masalah korupsi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT