Kritik dan Good governance

Urgensitas “Kritik” Sebagai Upaya
Merealisasikan Reformasi Kultur Kepemimpinan
Birokrasi Demi Mewujudkan Good Governance di Indonesia


*Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo, S.Fil.



I. Pendahuluan

Kepemimpinan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam praksis kehidupan sosial, kehadiran seorang pemimpin adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dimungkinan oleh sebuah ideal sosial untuk menciptakan suatu tatanan dan struktur masyarakat yang lebih humanistis dan demokratis. Secara sosial, pemimpin dianggap sebagai salah satu unsur penting yang mampu menciptakan situasi kehidupan yang didambakan oleh semua masyarakat, yaitu situasi kehidupan yang aman, damai dan sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah. Namun, dalam praksis sosial, ideal pemimpin sebagai penjamin kehidupan yang aman, damai dan sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah sulit ditemukan. Keberadaan seorang pemimpin justeru sering bertentangan dengan esensinya sebagai seorang pemimpin.

Dewasa ini, di Indonesia, ideal kepemimpinan birokrasi yang bertanggung jawab amat sulit ditemukan. Semboyan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat hanyalah sebatas retorika pemanis bibir yang tak pernah menjelmakan diri secara utuh dalam realitas praksis. Partisipasi rakyat dalam struktur pemerintahan demokratis mandeg di bawah bayang-bayang pemimpin yang otoriter dan tak bertanggung jawab. Kritik konstruktif dari masyarakat secara mudah dimentahkan oleh para pemimpin birokrasi. Selain itu, korupsi di kalangan para pemimpin birokrasi bangsa menjamur di hampir semua level hirarki. Dampaknya adalah bahwa kesejahteraan masyarakat tidak bisa terwujud secara baik. Masyarakat senantiasa hidup dalam situasi kemiskinan dan kemelaratan di tengah kekayaan alam yang melimpah.

Kenyataan destruktif yang menampar wajah kepemimpian birokrasi itu harus segera direformasi ke arah yang lebih baik. Jika tidak maka cita-cita untuk menciptakan good governance akan sulit terealisir. Sesungguhnya ada banyak cara untuk mengatasi persoalan ini. Namun, dalam tulisan ini, penulis hanya menawarkan kritik , baik itu otokritik maupun kritik publik, sebagai salah satu syarat untuk melakukan reformasi kultur kepemimpinan birokrasi. Otokritik dan kritik publik akan menjadi semacam ‘motor’ penggerak perubahan kultur kepemimpinan birokrasi yang selama ini telah melenceng jauh dari makna esensial kepemimpinan itu sendiri. Jika otokritik dan kritik publik ini mendapat signifikansi yang maksimal dalam proses kepemimpinan birokrasi maka kultur kepemimpinan birokrasi yang selama ini buruk dan tidak demokratis dapat direformasi ke arah yang lebih humanitis-demokratis. Dengan demikian, factum good governance dapat terealisir di Indonesia.

II. Menelisik Jejak Hitam Kepemimpinan Birokrasi di Indonesia
2.1. Korupsi dalam Birokrasi: Fenomena Yang Memprihatinkan

Terminologi korupsi untuk bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang asing. Hampir semua lapisan masyarakat Indonesia, mulai dari masyarakat yang tak berpendidikan sampai pada masyarakat yang terpelajar, melek terhadap terminologi ini. Hal ini tentu bukan sebuah prestasi yang patut untuk dibanggakan melainkan harus direfleksikan secara serius. Bukankah karena korupsi sering dilakukan oleh para petinggi negara ini, makanya terminologi ini begitu populer. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa hampir setiap hari baik surat kabar lokal maupun nasional tidak pernah sepi dari berita-berita yang berkaitan dengan korupsi yang dilakukan oleh para petinggi negara.

Karena korupsi sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia umumnya dan para para petinggi negara khususnya maka tidak salah jika Indonesia dikategorikan sebagai negara kleptokrasi. Terminologi kleptokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Stanislav Andreski (1966) berdasarkan observasinya di Amerika Latin. Negara kleptokrasi dalam praktiknya ditandai dengan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan keserakahan, ketamakan dan korupsi. Sepertinya halnya penyakit kleptomania, elit negara kleptorasi tidak merasa perlu bertanggung jawab terhadap akibat-akibat yang dihasilkan dari prilakunya. Para klepto tidak merasa bersalah dan menganggap bahwa barang yang direbut atau dicuri sebagai miliknya.

Atribut kleptokarasi cukup beralasan jika disandingkan dengan Indonesia sebagai sebuah negara sebab berdasarkan data-data penelitian beberapa lembaga pemantau korupsi, Indonesia hampir selalu ditempatkan sebagai yang negara terkurup baik di Asia maupun di dunia. Pada tahun 1995, Indonesia ditetapkan sebagai negara terkorup di dunia. Dari nilai nol untuk paling bersih sampai pada nilai sepuluh untuk negara terkorup, Indonesia menempati posisi nilai 1,94. Prestasi membaik pada tahun 1996 dan 1997 Indonesia menjadi negara terkorup di dunia dengan skor 2,65 dan 2,27. Pada saat turunnya Soeharto, Mei 1998, Transparancy Internasional menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke 6 di dunia dengan skor 2,7. Pada tahun 1999, Indonesia ditetapkan sebagai negara terkorup ke tiga di dunia dengan skor 1,7. Pada tahun 2002, menurut survey Political Economy Risk Consultancy Indonesia dinobatkan sebgai negara terkorup di Asia dengan skor 0,75.

Sementara itu, berdasarkan survei Global Corruption Barometer 2009, dengan penilaian 5 untuk negara terkorup dan 1 untuk negara terbersih, Indonesia ditempatkan sebagai negara terkorup di Asia dengan nilai 3,7. Penelitian ini difokuskan pada persepsi lembaga terkurup. Lembaga terkorup di Indonesia adalah DPR dengan nilai 4,4 dan terbersih adalah lembaga media dengan nilai 2,3. Sedangkan untuk lembaga birokrasi publik mendapat nilai yang cukup memprihatinkan juga yakni 4,0. Memang wajah birokrasi kita lagi bopeng oleh pelbagai tindakan korupsi. Hal ini mesti segera mungkin diatasi. Jika tidak, nasib bangsa dan masa depan bangsa menjadi tidak tampan.



No Negara Paratai Politik DPR Dunia Usaha Media Birokrasi Yudikatif Angka
Rata-Rata
1 Brunei Derusalam 2,1 2,1 2,7 1,9 2,6 2,0 2,3
2 Kamboja 3,0 2,7 2,6 2,3 3,5 4,0 3,0
3 Indonesia 4,0 4,4 3,2 2,3 4,0 4,1 3,7
4 Malaisia 3,9 3,3 3,4 2,7 3,7 3,1 3,4
5 Filipina 4,0 3,9 3,0 2,0 4,0 3,4 3,4
6 Sungapura 2,1 1,8 2,7 2,5 2,2 1,8 2,2
7 Thailand 4,1 3,1 3,2 2,8 3,6 2,8 3,3
Gambar 1: Tabel Korupsi Beberapa Negara di Asia Berdasarkan Persepsi
Lembaga Terkorup


Gambar 2: Tingkat Korupsi di Indonesi Berdasarkan Persepsi Lembaga Terkorup

Fenemena korupsi dalam tubuh birokrasi yang cukup memperihatinkan sebagaimana ditunjukkan oleh nilai 4,0 adalah sebuah masalah serius. Sebab, birokrasi adalah unjung tombak pelaksanaan program dan kebijakan publik yang dihasilkan oleh pemerintah. Bila lembaga ini sarat dengan delik korupsi maka pelaksanaan kebijakan publik tidak bisa berjalan sebagai seharusnya. Hal ini akan menjadi lebih parah jika yang melakukan korupsi adalah para pemimpin birokrasi. Sebab, bila pemimpin yang merupakan ‘motor’ dalam institusi birokrasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka pelayanan publik yang efektif, efisien dan elegan kepada masyarakat tidak bisa terealisir. Oleh karena itu, fenomena korupsi dalam semua institusi pemerintahan umumnya dan institusi birokrasi harus segera diminimalisir dan dieliminir dengan cara-cara yang rasional, legal dan demokratis.

2.2. Sentralisasi Kekuasaan dan Otoritarianisme dalam Birokrasi

Sentralisasi kekuasaan adalah salah satu potret buram kepemimpinan birokrasi di Indonesia. Sentralisasi kekuasaan dalam kepemimpinan birokrasi ditunjukkan oleh terpusatnya kekuasaan dan kewenangan pada puncak hirarki organisasi birokrasi. Pempimpin yang menempati hirarki puncak memiliki otoritas dan kekuasaan yang lebih besar dan cenderung terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan hirarki di bawahnya. Akibatnya adalah bahwa pemimpin yang menempati hirarki puncak bisa berbuat sesuka hati sesuai dengan keinginannya dan mendeterminir orang-orang yang menempati hirarki yang lebih rendah. Dengan demikian, relasi yang dibangun antara hirarki atas dan hirarki bawah adalah relasi yang bernuansa determinitis. Relasi ini tentunya merugikan organisasi birokrasi itu sendiri dan masyarakat publik yang menjadi sasaran pelayanan publik dari organisasi birokrasi.

Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi pada umumnya dan birokrasi di indonesia khususnya tidak lepas dari kosep ideal birokrasi Weberian yang tersusun secara hirarkis untuk mencapai rasionalitas birokrasi. Ada pun beberapa akibat destruktif dari struktur birokrasi yang hirarkis yang menyebabkan sentralisasi kekuasaan. Pertama, sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi hirarkis akan mematikan inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi. Segala tindakan dalam birokrasi selalu didasarkan pada amanat pemimpin. Akibatnya adalah bahwa pelayanan birokrasi menjadi lamban dan berbelit-belit.

Kedua, sentralisasi kekuasaan menyebabkan hilangnya ruang ekspresi kritis dari setiap elemen organisasi birokrasi. Hal ini tentunya akan menutup ruang perubahan bagi organisasi birokrasi dalam melakukan pelayanan publik. Kritik dalam setiap organisasi, baik itu otokritik maupun kritik publik, sangat penting bagi perkembangan dan kemajuan sebuah organisasi. Oleh karena itu, organisasi birokrasi harus senantiasa membuka diri terhadap kritik. Sebab kritik selalu mengandung dalam dirinya tuntutan akan ketidakberesan. Tujuan otentik dari kritik adalah agar ketidakberesan itu bisa diperbaiki. Dalam konteks institusi birokrasi, perbaikan terhadap ketidakberesan itu akan membuat sebuah institusi birokrasi menjadi lebih baik dalam meberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Dalam institusi yang terdapat sentralisasi kekuasaan, para bawahan tidak berani mengeritik dan mengoreksi atasannya walaupun mereka melihat ada ketimpangan dan ketidakberesan dalam diri atasannya. Oleh karena itu, apa yang salah yang dilakukan oleh seorang pemimpin dilihat sebagai kebenaran. Karena dilihat sebagai kebenaran maka tidak perlu dikoreksi dan diperbaiki. Yang benar adalah yang sempurna dan yang sempurna adalah yang tidak bisa dikoreksi dan dikritik. Hal seperti inilah yang akan melahirkan budaya kebisuan (the culture of scielence) dalam institusi birokrasi. Lebih lanjut, budaya seperti ini dalam kepemimpinan disebut sebagai “kultur bapakisme”. Seorang anak (bawahan) tidak bisa, tidak berani dan tidak pantas menegur dan mengoreksi kesalahan bapaknya (pemimpinnya). Yang harus perbuat oleh si anak (bawahan) adalah mengikuti kemauan bapaknya (pemimpinnya) walaupun kemauan itu bertentangan secara fundamental dengan pertimbangan rasional dan hati nuraninya.

Ketiga, sentralisasi kekuasaan menghasilkan “relasi subyek-obyek” antara hirarki atas dan hirarki bawah. Padahal secara etis, relasi yang benar adalah “relasi subyek-subyek”. Polarisasi manusia sebagai obyek adalah awal dari kekerasan -sekurang-kurangnya kekerasan secara psikis. Ketika subyek yang satu mengobyekkan subyek yang lain, maka di sana kekerasan muncul. Dalam kaitannya dengan sentralisasi kekuasaan, kekerasan umumnya lahir dari actus mengobyekkan yang lain, yang dilakukan oleh hirarki atas kepada hirarki bawah. Subyek yang menempati hirarki atas sering meredusir subyek lain yang menempati hirarki bawah sebagai obyek yang sama dengan benda, alat, tujuan dan sasaran. Kekerasan yang timbul itu akhirnya mengerangkeng otonomitas subyek yang lain untuk merealisasikan diri sebagaimana adanya (self-realization). Karena otonomitas subyek, hirarki bawah, ditekan dan tidak dibiarkan berkembang maka subyek-subyek yang menempati hirarki bawah akan menjadi pribadi yang tidak kreatif dan inovatif. Pada hal pribadi yang kreatif dan inovatif sangat diperlukan dalam setiap instansi pemerintahan agar bisa bersaing dan berkompetisi memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

Keempat, sistem kekuasaan yang sentralistis akan menghasilkan pemimpin yang otoriter. Pemimpin otoriter adalah pemimpin yang bertindak sewenang-wenang dan sesuka hati. Kekuasaan yang tersentralisir pada seorang pemimpin akan membuka ruang kemungkinan yang sangat besar bahwa ia akan menjadi seorang yang otoriter. Misalkan, pada masa orde baru, kekuasaan sangat tersentralisir pada diri Soeharto. Dan hal itulah yang pada akhirnya menjadikannya sebagai seorang yang otoriter. Apa yang dikatakan oleh Soeharto adalah kebenaran dan setiap orang mesti menyetujuinya. Jika ada orang yang berani membantah maka ia akan menerima konsekwesinya. Konsekwensi yang diterima oleh Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer adalah contoh nyata dari sikap otoriter Soeharto. Keduanya dipenjara dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional-demokratis, yakni hanya karena mereka melancarkan kritik melalui karya sastra, buah kreativitas mereka, kepada sistem kepemerintahan yang pincang dan buruk.

2.3. Profesionalisme dan Pelayanan Publik Birokrasi Yang Minimalis

Profesionalisme bagi seorang birokrat adalah sebuah keharusan. Sebab, hal ini berkorelasi dengan efektivitas dan efisiensi dari sebuah pelayanan. Tanpa profesionalisme yang memadai, seorang birokrat tidak bisa memberikan pelayanan publik secara baik. Sebaliknya, jika seorang birokrat memiliki profesionalisme maka pelayanan yang diberikan akan lebih efektif dan efisien. Tentunya, efektivitas dan efisiensi ini akan membawa kepuasan bagi masyarakat yang menjadi sasaran pelayanan.

Pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan profesionalitas. Sementara itu, profesionalitas itu sendiri sangat menentukan keterapilan seseorang. Semakin profesional seorang individu dalam bidang tertentu maka semakin terampil pula ia dalam bidang itu. Demikian pula dengan seorang birokrat, semakin profesional seorang birokrat dalam bidangnya maka semakin terampil pula ia melakukan pelayanan publik.

Namun, dalam kenyataan faktual, para birokrat di Indonesia kebanyakan hanya memiliki ijasah SMA. Hanya segelintir dari mereka yang memiliki ijazah strata satu, master dan doktorat. Hal ini tentunya membuat rakyat Indonesia seluruhnya tidak bisa berharap banyak akan pelayanan publik yang berbasiskan profesionalitas dan keterampilan yang memadai dari para birokrat. Namun, perlu diingat bahwa sesungguhnya profesionalitas itu tidak saja berhubungan dengan dan ditentukan oleh kemampuan kognitif akademik saja, tetapi juga meyangkut disposisi batin, kepribadian (central to personality), perilaku dan nilai-nilai individual (attitudes and values), semangat atau dorongan (motives), sifat (traits), serta konsep diri (self-concept). Oleh karena itu, bila hal-hal ini tidak diperhatikan secara komprehensif maka profesionalitas birokrasi itu tidak akan mungkin tercapai. Minimnya profesionalitas dan terbatasnya keterampilan ini menyebabkan pelayanan publik yang diberikan terkesan lamban, tidak efektif dan tidak efisien dan tidak elegan.

Kenyataan menandaskan bahwa profesionalisme para birokrat Indonesia masih sangat minimalis. Karena rendahnya profesionalitas, berdasarkan penelitian Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong pada tahun 1999, untuk nol terbaik dan 10 terburuk, birokrasi Indonesia masih tergolong sebagai birokrasi yang buruk dengan nilai 8,0 walaupun lebih baik dari China, Vietnam dan India. Pada tahun 2000, birokrasi Indonesia tetap mendapat nilai 8,0. Bahkan hingga saat ini institusi birokrasi masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, banyak pihak menuntut reformasi birokrasi. Salah satu tuntutan reformasi itu adalah reformasi perbaikan profesionalisme birokrasi agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarkat. Namun, reformasi itu hanya mungkin terjadi bila semua elemen birokrasi menyadari bahwa ada kekurangan yang sangat fundamental, yakni kekurangan profesionalisme, dalam institusi birokrasi itu sendiri. Kesadaran ini hanya mungkin terjadi bila setiap individu dalam instutusi birokrasi mendengarkan kritik publik dan melakukan otokritik. Para birokrat harus mendengarkan kritikan publik akan pelayanan mereka yang tidak profesional sembari melakukan otokritik untuk melakukan perbaikan diri.



III. Urgensitas Kritik Sebagai Upaya Merealisasikan Reformasi Kultur
Kepemimpinan Birokrasi Demi Menciptakan Good Governance di
Indonesia

3.1. Kritik, Negara Demokrasi dan Paradoks Negara Demokrasi

Dalam masyarakat demokratis, kritik adalah sebuah keniscayaan. Tanpa kritik demokrasi mustahil bisa ditegakkan. Rasionalitas demokrasi dalam sebuah bangsa bisa terealisir hanya dan hanya jika unsur kritik dilekatkan secara inhern dalam proses demokrasi itu sendiri. Sinonim yang paling dekat dengan kritik adalah apa yang disebut rasional. Yang kritis adalah yang rasional, dan yang rasional adalah yang kritis. Yang rasional dan yang kritis bukanlah dua hal yang saling bertentangan dalam sejarah pemikiran manusia. Dengan demikian, factum rasionalitas demokrasi hanya mungkin terealisir bila kritik dijadikan sebagai ‘roh’ yang menggerakan aktivitas demokrasi itu sendiri.

Pada galibnya, kritik, dalam masyarakat demokratis, bukanlah sesuatu yang salah dan dianggap sebagai bagian dari tindakan subversif, tindakan pencemaran nama baik dan tindakan melawan sistem pemerintahan demokrasi yang ada. Kritik tidak membuat sebuah rezim yang memimpin roda kepemerintahan demokrasi semakin lemah. Justeru sebaliknya kritik akan menjadikan pemerintahan demokrasi semakin kokoh, kuat dan semakin melek terhadap nilai-nilai demokratis. Dengan demikian, tindakan mereka dalam berdemokrasi akan semakin dijiwai oleh spirit demokrasi. Kritik akan menjadikan pemerintah semakin kuat dan demokratis dari waktu ke waktu. Sebaliknya, pemerintah yang antikritik akan menghasilkan pemerintah yang fasis dan antidemokrasi.

Antikritik adalah ciri penguasa yang fasistik. Antikritik bukanlah cermin penguasa yang di mana-mana mengumbar senyum demokrasi, reformasi, dan keterbukaan. Kritik malah akan memperkuat posisi seorang penguasa yang bijak. Penolakan terhadap kritik justeru akan memperlemah posisinya. Dalam ranah kritik yang transformatif, yang disorot bukan hanya tinggkah laku penguasa tetapi juga sejauh mana dia menggunakan kekuasaannya. Kritik merupakan salah satu bentuk evaluasi kritis atas eksperimentasi yang sampai saat ini belum sampai pada titik kulminatif.

Di dunia ini, tak ada satu negara demokrasi yang secara “sempurna” merealisasikan nilai-nilai demokrasi. Amerika Serikat sekalipun yang mengklaim diri sebagai negara yang demokratis sering melakukan tindakan-tindakan yang justeru bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai demokratis. Salah satu buktinya adalah agresi militer ke Irak yang ditentang oleh cukup banyak masyarakat Amerika Serikat tetapi justeru dilaksanakan oleh pemerintah tanpa menghiraukan penentangan itu. Sementara itu, Indonesia yang adalah negara demokrasi yang cukup besar di dunia tidak sedikit mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan melaksanakan hal-hal yang justeru bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri.

Misalkan, di Indonesia, pada tanggal 11 Mei 2009, Komisi DPR III, membahas tentang lima buku yang dianggap menggangu “ipoleksosbudhankam”. Buku-buku itu menuturkan realitas sosial secara apa adanya dan merupakan kritikan sosial yang tajam kepada pemerintah. Tetapi kritik sosial yang menjadi jiwa dari buku-buku itu dianggap mengganggu kertertiban masyarakat. Selain itu, pada tahun 2007, pemerintah melarang beredarnya buku sekolah yang mencantumkan kata “PKI” pada gerakan 30 September 1965. Dalam hal ini, pemerintah masih melihat kritikan sebagai tindakan subversif dan oposisif yang bertentangan dengan nilai-nlai demokratif. Namun pertanyaannya adalah apakah pengungkapan fakta yang selama ini ditutup pemerintah, misalnya fakta PKI oleh pememrintah ORDE BARU, dapat dikatakan sebagai mengganggu ketertiban umum?

Berdasarkan fakta yang terurai di atas, inferensinya adalah bahwa negara demokrasi mana pun di dunia ini senantiasa berada dalam proses penyempurnaan ke arah yang lebih demokratis yang purna waktu. Dengan demikian, dalam proses penyempurnaan yang purna waktu itu, kritik sangat diperlukan. Kritik dapat mendekatkan negara-negara demokrasi kepada nilai-nilai demokrasi. Namun, untuk mencapai tujuan itu, negara khususnya dan masyarakat umumnya harus senantiasa membuka diri terhadap kritikan. Keterbukaan yang tanpa batas dan syarat terhadap kritikan akan menjadikan suatu negara sebagai negara demokratis dalam arti yang sesungguhnya.

Kritik dalam setiap masyarakat umumnya dan dalam masyarakat demokratis khususnya memainkan peran sebagai mekanisme kontrol masyarakat terhadap pemerintah (pemimpin) agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan mesti ditempatkan sesuai dengan substansi dan esensinya. Pernyalahgunaan kekuasaan adalah pengkhianatan terhadap hakekat demokrasi dan kekuasaan itu sendiri. Selain itu, kritik dapat dijadikan sebagai upaya pemurnian terhadap setiap kebijakan pemerintah. Setiap kebijakan, dalam hal ini, bersifat tentafif. Tidak pernah sebuah kebijakan bersifat final dan tidak dapat dikoreksi. Setiap kebijakan yang lahir dari kebijaksanaan pemimpin dalam sebuah negara demokrasi selalu ada kemungkinan untuk dikritik dan difalsifikasi karena memang setiap kebijakan publik itu bersifat hipotetis-tentatif dan karena itu harus selalu terbuka terhadap koreksi dalam terang realitas faktual. Justeru bobot rasionalitas sebuah kebijakan sebuah kebijakan sangat bergantung pada seberapa mampu ia menjawabi dan bertahan dalam setiap kritikan yang ada. Seorang Frank Kermode katakan demikian:

A policy is a hypothesis which has to be tested against reality and corrected in the light of experience. Detecting mistakes and inherent dangers by critical examination and discussion before hand is an altogether more rational procedure, and one as rule less wasteful of resources, people and time, than waiting till they reveal themselves in practice.

Setiap kebijakan dalam negara demokratis harus dikritik atau difalsifikasi secara publik guna mendapat kebijakan yang mendekati kebenaran dan berpihak pada rakyat. Seorang F. Budi Hardiman menandaskan bahwa suatu kebijakan akan benar-benar memihak kepada rakyat bila ia telah melewati dua filter utama yakni filter ruang publik dan filter sistem politik. Filter ruang publik terjadi bila suatu kebijakan akan diterima oleh masyarakat bila kebijakan itu telah lolos dari seleksi dan pengujian secara publik. Sedangkan filter sistem politik terjadi bila suatu opini atau kebijakan itu mesti sesuai dengan prosedur hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, bila salah satu dari filter ini tidak berjalan semestinya maka akan melahirkan problem sosial yang krusial.

Pada hakekatnya, ritme hidup masyarakat demokratis dalam sebuah negara demokrasi mesti dilihat sebagai upaya pemecahan masalah secara terus menerus. Oleh karena itu, setiap kebijakan pemerintah atau pemimpin selalu bertujuan untuk memecahkan persoalan. Tapi walaupun dia memiliki tujuan yang demikian, dia tetap bersifat tentatif dan terbuka terhadap kritikan. Dan bisa jadi hasil dari kritikan terhadap kebijakan tentatif itu akan menghasilkan kebijakan lain yang juga masih bersifat tentatif dan terbuka terhadap kritik dan koreksi. Rantai proses falsifikasi terhadap kebijakan itu tidak pernah mengenal kata final dan berlangsung terus menerus.

Jadi, dalam sebuah negara demokrasi ada asumsi bahwa semua pemimpin bukanlah seorang yang sempurna yang tahu segala-galanya. Karena itulah maka setiap kebijakan pemimpin adalah selalu bersifat tentatif. Karena karakter tentatif inilah maka setiap pemimpin mesti membuka diri terhadap kritik. Pemimpin sempurna atau pemimpin sopokrasi tidak ada. Jika memang masyarakat menyadari dan mengakui adanya pemimpin sopokrasi maka di sana sudah ada kediktatoran. Pemimpin sopokrasi tidak manusiawi karena ia menutup diri terhadap kritik. Masyarakat yang menyadari bahwa pemimpinnya adalah seorang yang sempurna tidak akan berinisiatif memberikan kritik dan masukan karena pemimpinnya dianggap sudah sempurna secara moral dan intelektual. Karena pemimpinnya sudah sempurna maka ia tidak perlu dikritik. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa dalam politik sopokrasi, kritik menjadi mandul dan mati.

3.2. Signifikansi “Otokritik dan Kritik Publik” Bagi Pemimpin Birokrasi

Otokritik dan kritik publik adalah dua elemen penting untuk mengubah kultur kepemimpinan birokrasi lama yang tidak efektif, efisien dan jauh dari harapan masyarakat. Otokritik adalah kritik yang dilakukan oleh pemimpin itu sendiri, yakni setiap pemimpin yang menempati posisi hirarki dalam birokrasi. Selain itu juga otokritik bisa dilaksanakan oleh seluruh komponen dalam institusi birokrasi. Sementara itu, kritik publik adalah kritik yang dilakukan oleh masyarakat sebagai pelanggan (costumers) yang menjadi sasaran pelayan dari institusi birokrasi.

Namun, otokritik dan kritik publik selalu mengandaikan sikap terbuka baik subyek yang mengeritik maupun yang dikeritik. Keterbukaan subyek yang mengeritik sangat menentukan bobot rasionalitas kritikan yang disampaikan. Subyek yang terbuka adalah subyek yang memberikan kritik secara apa adanya. Tidak ada hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi karena alasan-alasan yang irasional. Dengan demikian maka kritikan yang diberikan memiliki bobot dan instensi konstruktif. Kritikan itu tidak sekedar mencari kelemahan dan segaja dibuat-buat. Jurgen Habermas menandaskan bahwa setiap kritikan harus bersifat rasional-argumentatif dan selalu mengarah kepada klaim kesahihan. Klaim-kalim itu adalah klaim kebenaran (truth), klaim ketepatan (rightness), klaim autentisitas dan kejujuran (sincerety) dan klaim komprehensibilitas (comprehensibility). Sementara itu, keterbukaan subyek yang dikritik sangat penting agar kritikan yang didengar dapat diinternalisir secara sungguh-sungguh ke dalam totalitas dirinya. Dengan sikap demikian kritikan yang diberikan memiliki daya konstruktif sehingga sasaran dan tujuan otentik dari kritikan itu dapat terealisir.

Kritik publik dalam sebuah sistem pemerintah sangat penting. Sebuah adagium Latin mengungkapkan demikan: vox populi vox Dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Pesan implisit dari adagium ini adalah bahwa pemerintah harus mendengarkan rakyat dalam menjalankan proses pemerintahan. Kritik publik sebagai suara rakyat mesti dihargai. Sebab, dengan kritik, penyelenggaraan pemerintah ke arah yang lebih baik dapat terlaksana. Seorang Karl Raimund Popper mengafirmasi kenyataan ini dengan menandaskan bahwa setiap kritikan dan aspirasi dari masyarakat harus diterima karena kadang-kadang masyarakat sederhana itu lebih baik dan bijaksana dari pemerintah. Namun penerimaan itu harus secara kritis-rasional. Sebab, apa yang dikritik dan dituntut masyarakat tidak selalu benar dan tidak selamanya salah. Tapi meskipun demikian suara masyarakat itu sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintah ke arah yang lebih baik. Dalam bukunya, Conjectures and Refutation: The Growth of Scientific Knowledge, Poper katakan demikian:

I believe nevertheless there is a kernel of truth hidden in the vox populi myth. One might put it in this way: In spite of the limited information at their disposal, many simple men are often wiser than their government; and if not wiser, then inspired by better or more generous intensions. …We should beware of a number of myths concerning public opinion which are often accepted uncritically. There is, first, the classical myth, vox populi vox dei, which attributes to the voice of the people a kind of final authority and unlimited wisdom. ...And if, on occasion, they do speak more and less in unison, what they say is not necessarily wise. They may be right, or they may be wrong. The voice may be very firm on very doubtful issues.

Sementara itu, dalam kaitannya kebijakan publik, seorang pemimpin, dalam hal ini pemimpin birokrat, dan masyarakat publik harus menyadari bahwa setiap kebijakan selalu bersifat hipotetis-tentatif agar otokritik dan kritik publik dapat memainkan fungsi esensialnya. Ada kurang lebih beberapa tesis yang mendukung pernyataan ini. Pertama, bila seorang pemimpin menyadari setiap kebijakannya bersifat tentatif-hipotetis maka ia tidak akan bersifat defensif terhadap setiap kritik dan masukan konstruktif untuk kebijakan yang dibuatnya. Ia bukan pemilik kebenaran, tetapi pencari kebenaran yang tak pernah mengenal kata final. Karena ia bukan pemilik kebenaran maka setiap kebijakan yang dibuatnya tidak mengandung di dalam dirinya kebenaran secara absolut. Setiap kebijakan yang dihasilkan hanya memiliki kebenaran secara parsial. Sifat keparsialan kebenaran kebijakan ini menjustifikasi secara radikal bahwa kehadiran kritik adalah sebuah keniscayaan (a must). Kritik akan mendekatkan setiap kebijakan yang dihasilkan pada kebenaran absolut, tapi bukan untuk menjadi menjadi kebenaran absolut itu sendiri.

Kesadaran yang total dari pemimpin bahwa ia bukan pemilik kebenaran melainkan sebagai pencari kebenaran akan mendorongnya untuk selalu membuka diri terhadap masukan yang bisa memperkaya kebijakan yang akan dan telah dihasilkannya. Namun, membuka diri dalam hal ini adalah membuka diri secara kritis-rasional. Yang dimaksudkan dengan membuka diri secara kritis-rasional adalah bahwa seseorang pemimpin harus membuka diri terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak, dan setelah itu, setiap kritik dan masukan itu diseleksi dan dikombinasikan dalam proses pertimbangan yang rasional, kritis dan etis. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan selalu terbuka kemungkinan untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Kedua, bila masyarakat menyadari bahwa pemimpinnya adalah pencari kebenaran (the devoted seeker for wisdom) dan bukan pemilik kebenaran kebenaran (the proud possesor of wisdom), maka mereka akan memiliki kesadaran yang fundamental dalam diri bahwa kritik adalah penting agar suatu kebijakan itu akan menjadi lebih baik bagi kepentingan pemerintah dan publik. Signifikasi kesadaran kritis ini penting sebab kesadaran kritis merupakan filter terhadap setiap kebijakan yang diputuskan. Dalam filterisasi kritis itu kebijakan yang irelevan dapat diganti dengan kebijakan yang dinilai layak untuk kebaikan bersama (bonum commune).

3.3. Kritik Sebagai ‘Motor’ Reformasi Kultur Kepemimpinan Birokrasi Untuk
Merealisasikan Good Governance

Kritik sangat penting bagi upaya mereformasi kultur kepemimpinan birokrasi yang buruk di Indonesia. Buruknya kultur kepemimpinan birokrasi tentunya akan berpengaruh pada pelayanan publik sebagai agenda kerja utama birokrasi. Selama ini, publik masih melihat birokrasi sebagai penguasa yang sangat menentukan nasib mereka yang “hanya” berstatus sebagai rakyat. Birokrasi adalah penggusuran, pungli, kolusi, korupsi, dan berbagai konotasi menyakitkan lainnya.

Kultur kepemimpinan birokrasi yang buruk ini disebabkan selain oleh minimnya profesionalitas pemimpin, tetapi juga oleh tumpulnya daya rasional, moral dan spiritual. Hal ini merupakan akibat dari lemahnya kontrol publik melalui kritik publik dan lumpuhnya semangat otokritik yang jelas dan tegas dari pemimpin itu sendiri. Otokritik dan kritik publik adalah dua elemen penting yang mesti dialami oleh setiap pemimpin birokrasi. Melalui kedua elemen ini, setiap pemimpin mempunyai kesempatan untuk memurnikan visi, misi dan dirinya sendiri. Actus pemurnian itu akan sangat membantu para pemimpin untuk mengambil kebijakan dan keputusan yang mampu menjawabi kebutuhan masyarakat. Yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah kesejahteraan dan kedamaian secara lahir-batin.

Namun, kritik publik dan otokritik hanya mungkin bila ada trasnformasi pradigma pemerintahan dari government ke governance. Dalam paradigma government, tanggung jawab pemerintahan adalah urusan pemerintah saja. Rakyat hanya menjadi penonton dalam proses pemerintahan itu. Pemerintah menjadi subyek pemerintahan, sedangkan rakyat hanya menjadi objek pemerintahan yang pasif. Tentunya pasifitas rakyat dalam proses pemerintahan akan menyebabkan mereka cenderung apatis dalam proses kepemerintahan. Namun, sikap apatis mereka bukan tanpa alasan. Biasanya, mereka bersikap demikian karena memang mereka tidak diberi peluang dan kebebasan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pemerintahan. Pintu akses terhadap ruang publik ditutup rapat-rapat oleh pemerintah. Oleh karena itu, rakyat tidak bisa memberikan kontribusi positif dan melakukan kritik publik-konstruktif.

Sementara itu, dalam paradigma governance, tanggung jawab pemerintahan bukan hanya urusan pemerintah semata melainkan urusan bersama rakyat. Pemerintah dan rakyat adalah sama-sama sebagai subyek pemerintahan. Oleh karena itu, rakyat juga bisa memberikan konstribusi konstruktif bagi proses kepemerintahan itu sendiri. Tugas kepemerintahan bukanlah tugas “mereka” tetapi tugas “kita”. Penyelenggaraan pemerintahan yang bernuansa “kekitaan” yang mensenyawakan rakyat dan pemerintah dalam proses kepemerintahan membiarkan rakyat bisa dengan bebas berpartisipasi dalam proses pemerintahan dengan memberikan kritik dan masukan kontruktif bagi proses penyelenggaraan pemerinthan itu sendiri.

Tentang distingsi antara paradigma government dan governance, Robert Leach dan Jenie Percy-Smith, dalam buku mereka Local Governance in Britain, menulis demikian:

This process (governance) is perceived as inclusive rather than confined to office holders. While government is widely seen as ‘them’, governance includes ‘us’. Government implies politicians and public officials governing, doing things, delivering services, with the rest of ‘us’ as passive recipients. Governance blurs the distinction between governors and governed. We are all part of the process of governance. With in this broad process the role of government itself is changing. Modern government increasingly involves ‘steering’ rather than ‘rowing’… Or…’enabling’ rather than ‘providing’. Government should not attempt to do everything itself, to meet every need through direct government provision. Government should facilitate and co-ordinate rather than direct and control.

Dengan paradigma governance ini, masyarakat dapat memberikan kritik kepada pemimpin birokrat. Sebaliknya, pemimpin birokrat akan memberikan kesempatan dan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan kritik kepada institusi birokrasi itu sendiri. Kritik masyarakat bisa ditujukan kepada kebijakan yang dihasilkan atau pun kepada sepak terjang instutusi birokrasi itu sendiri. Ada pun beberapa sarana, menurut penulis, yang dapat dijadikan sebagai sarana kritik publik. Pertama, forum publik. Melalui forum publik ini, masyarakat bisa mengekspresikan diri, memberikan kritik dan masukan yang konstruktif kepada para pemimpin birokrasi. Hal ini mengandaikan adanya kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh negara. Selain itu, hal ini juga menuntut adanya kreativitas masyarakat. Kreativitas masyarakat amat penting agar mereka dapat mengartikulasikan aspirasi dan suara mereka secara tegas dan jelas kepada para pemimpin birokrat.

Kedua, karya sastara. Sebuah karya sastra bisa dijadikan sebagai kritik publik. Sebagai kritik publik, sastra senantiasa lahir dari perkawinan antara imaginasi dengan realitas yang dibingkai dalam bahasa yang menawan dan kaya akan makna pengungkapannya. Bahasa yang menawan dan syarat makna pengungkapan itu dilahirkan secara baru melalui medium refleksi yang kreatif. Namun, perlu diingat adalah bahwa sastra sebagai kritik publik mesti menjalankan fungsinya secara baik dan bijaksana. Kritik sosial yang dibangun harus memiliki landasan rasional-kritis dan memiliki validitas data aktual dan akurat. Hal ini merupakan dasar pertanggungjawaban sebuah kritik publik. Pertanggungjawaban itu sangat menentukan bobot keilmiahan sebuah kritik publik.

Kritik publik yang diemban oleh karya sastra tidak saja memiliki peran penyadaran terhadap masyarakat akan realitas faktual-destruktif yang sedang dihadapi, tetapi juga memiliki peran penyadaran terhadap penguasa, para pemimpin dan pemerintah akan kelemahan dan kekeliruan dirinya, dan dengan itu diharapkan agar mereka dapat melakukan falsifikasi dan otokritik terhadap diri mereka sendiri. Menurut Astrid S. Susanto, bila kritik publik dalam sastra itu diarahkan kepada para penyelenggara pemerintahan (pemimpin birokrasi), maka yang selalu dipermasalahkan adalah pelaksanaan fungsi dan tugas yang tidak sesuai dengan ethos dan moralitas yang tinggi.

Ketiga, signifikansi peran pers. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pers diartikan sebagai surat kabar dan majalah yang berisi tentang berita. Berita yang diekspos adalah berita tentang realitas masyarakat yang terjadi setiap hari. Namun, dewasa ini fungsi pers tidak sebatas menginformasikan berita-berita aktual. Pers juga memiliki fungsi lain, seperti fungsi kontrol politis dan perannya sebagai media yang mensosialisasikan pelbagai aturan normatif, pengetahuan, agama, politik, budaya dan ekonomi.

Selain itu, pers dapat berfungsi sebagai pengontrol terhadap tindakan para pemimpin birokrasi. Ia dapat memberikan kritik yang konstruktif. Namun, untuk menjalankan fungsi ini, pers perlu menjaga independesi dan obyektivitasnya agar ia tidak menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan pemimpin birokrasi. Ia harus senantiasa independen dari pengaruh kekuasaan birokrasi. Selain itu, Ia perlu juga menghindari konflik kepentingan (conflict of interests) dengan tetap menjaga prinsip etika jurnalisme yang berlaku. Otonomitas pers ini sangat diperlukan agar daya kritis dan peran kontrol dapat berfungsi secara optimal.

Akhirnya, bila baik masyarakat maupun pemimpin birokrasi telah memaknai kritik (kritik publik dan otokritik) sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka kultur lama birokrasi yang buruk bisa diubah ke arah yang lebih baik. Kultur lama kepemimpinan birokrasi yang mengkasentuasikan monologika bisa diubah menjadi dialogika. Kritik merupakan dialog antara pemimpin, dalam hal ini pemimpin birokrasi, dengan masyarakat. Namun, dialog yang dimaksudkan di sini tidak berarti menerima begitu saja apa yang didialogkan tetapi berikhtiar untuk mengerti dan memahami serta menilai secara kritis-objektif. Dengan demikian maka kepemimpinan birokrasi yang demokratis dapat terwujud. Kepemimpinan birokrasi yang demokratis akan memungkinkan terbentukan good governance.

IV. Penutup

Kiprah kepemimpinan birokrasi sejauh ini masih jauh dari harapan publik. Hal ini disebabkan oleh berbagai tindakan destruktif yang terjadi dalam ranah birokrasi publik. Korupsi yang tak terbendung, setralisasi kekuasaan yang ekstrem dan minimnya profesionalitas adalah sebab dari buruknya perfomance birokrsi publik. Hal ini tentunya harus segera diatasi. Salah satu jalan yang ditawarkan adalah dengan mengaktualisir peran kritik dalam ranah birokrasi publik.

Kritik yang dimaksudkan adalah otokritik dan kritik publik. Pemimpin birokrasi harus melakukan otokritik, melihat segala kelemahan dan kekurangan yang telah dilakukankannya dan berniat untuk merubahnya. Perubahan sikap dan tindak tanduk yang buruk kepada yang baik akan berpengaruh terhadap efektititas dan kepuasan masyarakat publik. Sebaliknya, masyarakat harus memberikan kritik publik agar para pemimpin birokrasi disadarkan akan hal-hal negatif yang telah mereka perbuat selama ini. Culture of scielence yang selama ini lebih menguasai masyarakat harus segerah ditinggalkan demi perbaikan birokrasi yang lebih baik. Jika birokrasi telah menjadi lebih baik, maka masyarakat akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebab, pelayanan publik birokrasi itu sangat berhubungan langsung dengan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya birokrasi yang bersih dan profesional masyarakat akan menjadi lebih sejahtera. Kesejahteraan masyarakat akan membuat ke-Indonesia-an menjadi lebih baik, lebih elegan dan lebih berdaulat..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT