Keuangan Daerah, Otonomi Daerah dan Korupsi di Birokrasi Publik

KeuanganDaerah, Otonomi
Daerah dan Korupsi di Birokrasi Publik


(Upaya Signifikansi Nilai-Nilai Etika
dalam Birokrasi Publik di Daerah)

*Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo, S. Fil.


I. Pendahuluan

Kehadiran birokrasi dalam pentas sejarah kemanusiaan manusia adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dimungkinkan oleh hakekat dasariah manusia sebagai ens sociale, makhluk sosial. Sebagai ens sociale, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia selalu mengada bersama yang lain. Oleh karena itu, tidak salah jika Gabriel Marcel berujar demikian: esse est co-esse (ada selalu berarti ada bersama). Akan tetapi, ada bersama itu akan menjadi chaos bila tidak ada norma, aturan dan sistem yang mengatur interaksi antarindividu. Salah satu sistem yang mengatur interaksi individu dalam suatu sosialitas adalah birokrasi. Namun, bila sistem birokrasi itu menjadi problem itu sendiri dalam sebuah sosialitas, maka masyarakat yang diatur oleh sistem itu akan menerima katastrofi destruktif yang merusak sosialitas itu sendiri. Sebaliknya, bila birokrasi itu bersih, efektif dan efisien maka masyarakatnya akan merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Otonomi Daerah telah memberikan keluasan kepada daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing termasuk keuangannya sendiri. Hal ini dibuat agar daerah bisa mandiri dalam mengelola keuangannya secara lebih efektif dan efisien. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah otonomi daerah justru managemen keuangan daerah menjadi kacau balau. Korupsi, khususnya di kalangan birokrasi publik, merebak hampir di seluruh institusi daerah. Hal inilah yang membuat daerah sulit untuk maju dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Bila daerah menjadi hancur, maka demikian juga dengan negara. Oleh karena itu tidak salah jika orang mengatakan budaya korupsi yang demikian hebat di daerah setelah Otonomi Daerah telah menghasilkan Indonesia sebagai ‘messy state’.

II. Korupsi dalam Birokrasi: Tantangan Merealisasikan Bonum Commune

2.1. Fenomena Korupsi Di Indonesia

Korupsi, oleh As Hornby E. V. Gatenby dan H Wakefiel, sebagaimana yang dikutip oleh Baharudin Lopa, didefinisikan sebagai offering and accepting of bribes (penawaran atau pemberian dan penerimaan suap). Selain itu, dikatakan juga bahwa corruption is a decay, yang berarti kebusukan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kebusukan adalah kebusukan akhlak atau moral orang yang melakukan perbuatan korupsi tersebut. Sementara itu, Dr. Kartini Kartoko dalam bukunya Patologi Sosial, sebagai mana yang dikutip oleh Fritz Fios, mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna memperoleh keuntungan pribadi yang merugikan kepentingan umum dan negara.

Secara internasional, Indonesia dikenal sebagai negara koruptif yang cukup kronis. Hal ini tentunya dibuktikan secara adekuat oleh penelitian-penelitian beberapa institusi yang menangani hal ini. Data penelitian selama ini menunjukkan bahwa Indonesia sering ditempatkan sebagai negara terkorup di Asia dan di dunia. Pada tahun 1995, Indonesia ditetapkan sebagai negara terkorup di dunia. Dari nilai nol untuk paling bersih sampai pada nilai sepuluh untuk negara terkorup, Indonesia menempati posisi nilai 1,94. Prestasi membaik pada tahun 1996 dan 1997 Indonesia menjadi negara terkorup di dunia dengan skor 2,65 dan 2,27. Pada saat turunnya Soeharto, Mei 1998, Transparancy Internasional menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke 6 di dunia dengan skor 2,7. Pada tahun 1999, Indonesia ditetapkan sebagai negara terkorup ke tiga di dunia dengan skor 1,7. Pada tahun 2002, menurut survey Political Economy Risk Consultancy Indonesia dinobatkan sebgai negara terkorup di Asia dengan skor 0,75.

Korupsi di Indonesia setelah Otonomi Daerah menjadi semakin hebat. Hal ini dibuktikan oleh survei Global Corruption Barometer 2009, dengan penilaian 5 untuk negara terkorup dan 1 untuk negara terbersih, Indonesia ditempatkan sebagai negara terkurup di Asia dengan nilai 3,7. Penelitian ini difokuskan pada persepsi lembaga terkurup. Lembaga terkorup di Indonesia adalah DPR dan terbersih adalah lembaga media dengan nilai 2,3. Sedangkan untuk lembaga birokrasi publik mendapat nilai yang cukup memprihatinkan juga yakni 4,0. Memang wajah birokrasi kita lagi bopeng oleh pelbagai tindakan korupsi. Hal ini mesti segera mungkin diatasi. Jika tidak, nasib bangsa dan masa depan bangsa menjadi tidak tampan.

No Negara Paratai Politik DPR Dunia Usaha Media Birokrasi Yudikatif Angka
Rata-Rata
1 Brunei Derusalam 2,1 2,1 2,7 1,9 2,6 2,0 2,3
2 Kamboja 3,0 2,7 2,6 2,3 3,5 4,0 3,0
3 Indonesia 4,0 4,4 3,2 2,3 4,0 4,1 3,7
4 Malaisia 3,9 3,3 3,4 2,7 3,7 3,1 3,4
5 Filipina 4,0 3,9 3,0 2,0 4,0 3,4 3,4
6 Sungapura 2,1 1,8 2,7 2,5 2,2 1,8 2,2
7 Thailand 4,1 3,1 3,2 2,8 3,6 2,8 3,3
Gambar 1: Tabel Korupsi Beberapa Negara di Asia Berdasarkan Persepsi Lembaga Terkorup


Gambar 2: Tingkat Korupsi di Indonesi Berdasarkan Persepsi Lembaga Terkorup
2.2. Korupsi: Rendahnya Akuntabilitas Birokrasi di Daeah

Tentunya fenomena korupsi terhadap keuangan daerah yang demikian hebat di daerah setelah Otonomi Daerah, khususnya dalam tataran birokrasi, menunjukkan bahwa akuntabilitas publik pejabat birokrasi di daerah masih sangat rendah. Kebanyakan dari para birokrat daerah lebih mementingkan diri dan menjadikan birokrasi sebagai alat politik bagi rejim yang berkuasa. Hal inilah yang membuat civil society bersikap acuh bercampur benci terhadap kinerja birokrasi. Bagi masyarakat awam, birokrasi adalah penguasa yang sangat menentukan nasib mereka yang “hanya” berstatus sebagai rakyat. Birokrasi adalah penggusuran, pungli, kolusi, korupsi, dan berbagai konotasi menyakitkan lainnya. Dengan demikian dalam gelanggang kepemerintahan dan perpolitikan, rakyat (civil siciety) kini sulit menghargai apa yang yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, birokrat, atau unsur-unsur lain yang terdapat dalam birokrasi publik.

Starling, sebagaimana dikutip oleh Wahyudi Kumorotomo, mengatakan bahwa akuntabilitas adalah jawaban. Maksudnya, akuntabilitas itu ada, bila orang, dalam hal ini pejabat birokrasi, bisa memberikan jawaban atas aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat. Dalam actus memberi jawaban ada unsur tanggung jawab. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang memberikan jawaban. Dia adalah orang yang tidak membiarkan orang lain berlalu tanpa memberikan tanggapan. Dan untuk memberikan jawaban yang bertanggung jawab dibutuhkan kesadaran dan keyakinan bahwa jawaban yang diberikan didasarkan pada nilai-nilai etika yang berlaku.

Tindakan korupsi yang marak terjadi di tataran birokrasi publik di daerah adalah sebuah bentuk jawaban yang tidak bertanggung jawab. Ia bertentangan dengan etika umumnya dan etika birokrasi khususnya. Sebuah jawaban yang tidak bertanggung jawab, menurut penulis, akan menyebabkan kurang lebih dua hal. Pertama, kemiskinan dan kelaparan (famine) daerah. Penderitaan dan kelaparan rakyat disebabkan karena kebutuhan riil masyarakat tidak terpenuhi. Pembangunan tidak berjalan. Contohnya di NTT, setelah otonomi daerah, ada begitu banyak fakta kekurangan gizi. NTT dikenal sebagai propinsi terkorup. Pada tahun 2008 Kupang dimendapat predikat sebagai kata terkurup di Indonesia dan Yogyakarta terbersih.

Kedua, perampasan hak terus menerus (endemic deprivation). Hal ini memiliki efek destrutif yang jauh lebih menyakitkan dari kelaparan dan kemiskinan. Gejala kelaparan bersifat sementara, tetapi deprivasi endemik bersifat cukup permanen dan dapat membawa kesengsaraan yang ekstrem dan kematian yang luas. Apabila kelaparan membunuh jutaan orang melalui kekurangan makanan dan penyakit menular, deprivasi endemik dapat menimpa ratusan juta manusia melalui proses pelemahan tenaga dan penyakit, meningkatkan jutaan penyakit dan memendekkan usia manusia.

III. Reformasi Birokrasi Daerah: Penguatan Kembali Nilai-Nilai Etika dalam
Birokrasi Indonesia Menjadi Sebuah Conditio Sine Qua Non

3.1. Apa itu etika?

Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta ethica) yang berarti kebiasaan, adat istiadat, cara yang lazim dalam bertindak dan watak. Tapi sesungguhnya, ethos memiliki kesamaan arti dengan kata bahasa Latin mos (jamak: mores). Dari kata dasar Latin ini diturunkannya adjektif moralis. Jadi, secara etimologis, antara etika dan moral tak ada perbedaan arti. Karena itu, dalam pemakaian harian, kedua kata itu dapat saling dipertukarkan tanpa pergeseran arti.

Namun dalam praksis hidup harian sering didengar bahwa orang menggunakan secara tumpang tidih kata etika dan etiket. Apakah etika dan etiket memiliki arti yang sama? Kalau dirunut dari asal-usul katanya, etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti label, yaitu secarik kertas yang ditempelkan pada satuan atau kemasan barang tertentu yang siap dijual. Dalam penggunaan harian, kata etiket berarti sopan santun atau tata krama yang diperlihatkan dalam pergaulan dan melalui tingkah laku. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang sesuai dengan aturan-aturan sopan santun. Tingkah laku yang dituntuk etiket berhubungan dengan keberhargaan seseorang secara sosial.

Intisarinya adalah bahwa etika sesungguhnya berurusan dengan orthopraxis, yaitu tindakan yang benar (right action). Etika berusaha menjauhkan manusia dari tindakan yang salah dan mendekati tindakan yang benar. Tindakan manusia adalah objek etika. Dalam bahasa Latin dibedakan dua tindakan manusia. Pertama, actus hominis adalah perbuatan yang kebetulan berasal dari manusia, berlangsung tanpa disengaja dan dilaksanakan tanpa dikehendaki secara bebas. Perbuatan seperti ini berlangsung di luar kontrol dan kuasa si pelaku. Perbuatan seperti ini berada di luar penilaian etika. Ia tidak memiliki relevansi etis dan oleh karena itu manusia tidak bertanggung jawab atasnya.

Kedua, actus humanus adalah tidakan manusia dalam arti etis. Inilah tindakan yang dipertimbangkan secara rasional dan dikehendaki secara bebas. Tindakan ini berkaitan dengan kebebasan dan kemampuan untuk menentukan sikap (determinasi diri). Sumber dari tindakan ini adalah manusia sebagai makhluk rohani yang berakal budi dan berkehendak bebas. Kerena si pelaku adalah penyebab bebas dalam artian bahwa tindakan tertentu berada di bawa kontrol dan kuasanya, maka ia bertanggung jawab atas tindakan itu.


3.2. Signifikansi Nilai-Nilai Etika Sebagai Conditio Sine Qua Non dalam Birokrasi Publik
di Daerah

Sejatinya, manusia adalah homo significans, sang pemberi makna hidup. Kebijaksanan hidup yang benar amat bergantung pada sikap pemberian akan makna hidup. Dan pemberian makna hidup yang benar bisa terselenggara dengan baik hanya dan hanya jika manusia bersandar pada nilai-nilai etika yang benar, kritis, rasional dan bertanggung jawab. Seorang birokrat sebagai manusia dan sekaligus pemimpin bagi manusia lain tentunya mesti berlaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup adalah sebuah tuntutan fundamental yang harus dimiliki oleh seorang birokrat untuk membawa masyarakat, bangsa dan negara ke ambang kebahagiaan dan kesejahteraan. Dengan demikian, nilai-nilai etika memiliki peran yang sangat signifikan untuk mewujudkan cita-cita ini. Namun, di Indonesia, khususnya pada kalangan birokrat, nilai-nilai etika kurang dihargai. Alhasil, korupsi dan pelbagai tindakan destruktif lainnya merajalela di kalangan birokrat.

Dengan adanya penguatan nilai-nilai etika pada birokrasi pemerintahan, penyelenggaraan negara dan tata birokrasi pemerintahan daerah yang baik (good governace), bersih dan bertanggung jawab dapat terlakasana. Tata birokrasi pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab adalah tata birokrasi yang bebas dari praktek korupsi. Hal ini tentunya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap peran, kewenangan dan wibawa birokrasi pemerintahan dalam menjalankan kehidupan negara dan pemerintahan.

Namun untuk mengintegrasikan nilai-nilai etika ke dalam birokrasi pemerintahan bukan hal yang mudah dan gampang. Ia mesti melalui proses yang pajang. Korupsi adalah salah satu akibat dari buruknya moralitas para birokrat. Para birokrat kurang mengindahkan nilai-nilai etika dalam pelaksanaan pekerjaannya. Lantas, apa yang mesti dibuat untuk mengembalikan nilai-nilai etika dalam birokrasi? Menurut penulis, ada beberarapa tesis untuk menjawab pertanyaan ini.

Pertama, tesis pertama berorientasi pada problem solving jangka pendek. Ini berkaitan dengan transparansi dan supremasi hukum. Penegakan hukum (law enforcement) di daerah khususnya dan di Indonesia umumnya mesti menjadi prasyarat penting bagi pemberantasan korupsi. Korupsi adalah sebuah tindakan actus humanus yang menuntut pertanggungjawaban secara moral dan hukum. Oleh karena itu, lembaga hukum harus menindak secara tegas para koruptor berdasarkan amanat hukum yang berlaku. Jangan mengulur-ulur waktu untuk menindak para birokrat koruptif. Biarkan mereka tidak punya waktu untuk berkolusi. Sejauh ini, ada fakta bahwa kelemahan dan ketidakefektifan pengawasan hukum terhadap koruptor menyebabkan banyak koruptor menikmati impunity, tiadanya sanksi hukum. Aparat penegak hukum harus bisa membuat demonstration effect, artinya, selain menghukum orang yang memang bersalah, juga bisa memperlihatkan orang yang tidak bersalah tidak dihukum. Sebab, selama ini, terkadang proses hukum membenarkan koruptor dan menghukum orang lain dengan tuduhan “pemfitnaan” nama baik.

Kedua, tesis ini lebih berkaitan dengan problem solving jangka panjang yakni dengan mereformasi sistem dan kultur pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang selama ini hanya menekankan pada aspek akademik dan mengabaikan aspek moral dan etika akan berakibat buruk pada perkembangan mental dan kepribadian anak didik. Di Indonesia, banyak sekolah yang terkadang hanya menekankan aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral-spiritual. Guru lebih menjalankan fungsinya sebagai pengajar ketimbang pengajar dan pendidik. Tujuan otentik lembaga pendidikan adalah mendidik dan mengajar. Bukannya dua tujuan itu mulia itu diredusir ke dalam satu tujuan saja, yakni mengajar. Dengan adanya keseimbangan antara mengajar dan mendidik dalam proses pendidikan maka pendidikan akan menjadi ‘matahari’ yang memberikan pencerahan bagi semua orang. Heraclitus, seorang filsuf Yunani, pernah mengatakan bahwa education is a second sun to its possessor. Pendidikan adalah matahari kedua bagi orang yang memilikinya. Ujian Akhir Nasional adalah salah satu contoh nyata dari sistem pendidikan nasional yang hanya menekan aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral dan etika telah menyebabkan “matahari pendidikan” Indonesia tidak bisa memberikan cahaya yang terang benderang untuk perjalanan kebangsaan menelusuri lorong-lorong gelap dan penuh misteri menuju masa depan yang lebih baik dan beradab.

Selain itu, sistem pendidikan yang menempatkan guru sebagai pusat dalam proses pendidikan mesti diganti. Dalam pedagogi modern, ada pergantian peran. Guru bukan lagi sebagai pusat melainkan sebagai motivator. Murid harus menjadi pusat dalam proses pendidikan. Pedagogi modern telah membalikkan hubungaan tradisional antara guru dan murid. Dalam proses pendidikan peran utama murid ditegaskan di hadapan guru. Pedagogi telah mengambil alih ungkapan “revolusi Kopernikan” untuk menunjukkan perubahan radikal ini. Apa arti “revolusi Kopernikan dalam pendidikan”? Seperti Kopernikus dalam bidang astronomi telah mengubah secara radikal pandangan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta, dengan menegaskan bahwa matahari merupakan pusat alam semesta, demikian juga dalam bidang pendidikan guru tidak lagi menjadi pusat kegiataan edukatif, tetapi murid. Guru harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan murid. Guru harus menemukan kebutuhan itu dan menciptakan situasi yang tepat agar si anak dapat mengembangkan diri.

Dalam perspektif ini, pelaku utama, subjek dalam proses pendidikan adalah peserta didik. Kosep pendidikan seperti ini dikenal sebagai puerosentrisme (puer: anak; centrum: pusat). Peserta didik adalah makhluk yang aktif, pribadi yang orisinal. Yang dididik tidak hanya si anak, si remaja, kaum muda, tetapi manusia. Karena pendidikan tidak mengenal titik akhir, tanpa batas umur, tetapi berlanjut seumur hidup. Subjek pendidikan dengan itu juga adalah manusia. Dia adalah pribadi yang harus mengembangkan diri. Dia harus merealisasikan kepribadiannya. Kepribadian manusia merupakaan hasil pepaduan antara unsur-unsur yang dibawa sejak lahir, unsur-unsur yang diwariskan dari lingkungaan dan unsur-unsur yaang diperoleh lewat pengalaman dan proses belajar. Bagaimanapun struktur-struktur itu selalu bersifat dinamis dan karena itu kepribadian manusia merupakan kenyataan yang bersifat “plastis” dan dinamis yang ditentukan menurut sikap yang berbeda-beda berdasarkan situasi-situasi yang dihadapi dan dihayati individu secara konkret. Manusia tidak bisa dideterminasi oleh strukturnya yang asali, oleh esensinya, tetapi dapat menjadi lebih baik, lebih buruk; dia selalu dapat berubah. Dan kalau selalu ada kemungkinan untuk berubah, maka benar juga apa yang sudah dikatakan: “pendidikaan berlangsung seumur hidup”.



V. Penutup

Dengan adanya law enforcement dan reformasi dan kultur pendidikan di daerah khususnya dan di daerah umumnya maka nilai-nilai etika dapat terintegrasi dalam birokrasi publik di daerah. Dengan ini sistem managemen keuangan daerah akan bisa berjalan dengan baik. Tentunya dengan demikian kemajuan ekonomi dan kesejahteraan seluruh masyarakat di daerah dapat terealisir. Sesungguhnya, signifikansi nilai-nilai etika dalam sistem birokrasi pemerintahan daerah menjadi condition sine qua non. Jika tidak, maka Indonesia akan tinggal menerima katastrofinya berupa penderitaan rakyat banyak atau bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BIBLIOGRAFI

Benveniste, Gui Sahat, Simamora (penerj.). Birokrasi. Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Ceunfin, Fransiskus. Etika (ms) (Maumere: Ledalero, 2004.

---------, Pengaantar Filsafat Barat (ms). Maumere: Ledalero, 2002.

Hanneman dan Nordholt, Henk Schulte (edit.). Indonesia in Transition, Rethinking ‘Civil Society, ‘Region’, and ‘Crisis’ . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Jebarus, Chrispino Hermanto. “Etika Ekologi”, dalam AKADEMIKA, Vol. I, No. 1, Desember 2002.

Kleden, Paulus Budi. “Editorial”, dalam Jurnal Ledalero vol. 4, No. 2, Desember 2005.

Kumorotomo,Whayudi. Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa Pada Masa Transisi. Jogyakarta: MAP dan Pustaka Pelajar, 2008.

Krowin,Yosef Kilat. “Politik Dengan Nurani Bening” dalam Akademika (Ledalero: Maumere, 2001.

Lopa, Baharudin. Kejahatan Korupsi Dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas, 2001.

Lubis, Tudung Mulya [Opini], “Optimisme di Tengah Korupsi Berjemaah”, dalam Koran Tempo, Edisi Selasa, 3 Juni 2009.

Nugroho, Alois A., (Penerj.), Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan .Jakarta: Gramedia, 1984.

Pope, Jeremy. Pengembangan Sistem Integritas Nasional. Jakarta: Grafiti, 1999.

Sen, Amartha, Rahmani Astuti (penerj.). Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?: Sebuah Perbincangan Tentang Etika dan Ilmu Ekonomi di Fajar Milenium Baru. Bandung: Penerbit Mizan, 2001.

Thoha, Miftah. Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: PT Bayang Gadis, 1995.
Tolo, Emilianus Yakob Sese. “Memberantas Budaya Korupsi Menciptakan Habitus Baru: Pemberdayaan Peran Masyarakat Melawan Birokrasi Koruptif Di Indonesia” dalam AKADEMIKA, Vol 2. No. 1. 2007

Tjung, Primus. “Korupsi: Racun Kuasa”, dalam VOX, Seri 44/1, 2/2000.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT