Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

“Criticism is the main motive force of any intellectual
development. Without criticism there would be no rational motive
for changing our theories, there would be no intellectual progress”.

By: Emilianus Yakob Sese Tolo


KATA PENGANTAR


Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang tidak bisa terlepas dari praksis kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hampir di setiap kelompok sosial mulai dari level yang paling sederhana sampai pada level yang paling kompleks membutuhkan kehadiran seorang pemimpin untuk mengatur dan menata kehidupan sosial agar dapat berjalan sesuai dengan aturan normatif yang ada sehingga cita-cita bersama dapat tercapai.
Namun, dalam kenyataan faktual sering ditemukan ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sikap dan tindakan para pemimpin itu sendiri. Pemimpin menjadi biang onar yang mengganggu keseimbangan sosial. Akibatnya, rakyat hidup dalam situasi kemelaratan dan penderitaan. Ketidakadilan sosial terjadi di mana-mana. Ruang publik menjadi tidak berfungsi secara maksimal.
Kenyataan buram citra kepemimpinan sebagaimana dilukiskan di atas juga sering terjadi di Indonesia. Pemimpin yang diharapkan untuk membangun semangat kebangsaan justru tidak bisa berbuat apa-apa. Moralitas dan intelektualitas para pemimpin tidak bisa diandalkan. Virus kekerasan seenaknya disebarkan di mana-mana oleh para pemimpin. Kritik dan pelbagai koreksi yang ditujukan kepada pemimpin mudah dimentahkan dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dampak paling fatal dari litani kebobrokan para pemimpin ini adalah penderitaan rakyat banyak khususnya masyarakat sederhana. Penderitaan yang mereka terima itu disebabkan oleh hilangnya hak-hak dasariah yang mesti mereka nikmati. Hak-hak itu dirampas secara tak bertanggung jawab oleh para pemimpin. Aktus perampasan ini adalah suatu tragedi kekerasan di mana rakyat dijadikan sebagai obyek kekuasaan yang dieksploitasi sesuka hati.
Melihat kenyataan destruktif ini, maka solusi alternatifnya yang merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia mesti lekas dicari secepatnya. Jika terlambat, maka kenyatan lebih buruk akan datang menimpa bangsa ini. Berkaitaan dengan solusi alternatif itu, penulis melihat bahwa filsafat falsifikasi Karl Popper amat aktual dan relevan untuk dijadikan sebagai solusi alternatifnya. Sebab intisari dari filsafaf Popper adalah “kritik”, yang dalam bahasa Popper disebut falsifikasi. Bagi Popper, kritik amat penting bagi perkembangan dan kemajuan manusia dalam pelbagai dimensi kehidupan. Tanpa kritik kehidupan manusia menjadi hampa dan tanpa arah.
Dalam kaitannya dengan realitas kepemimpinan, kritik, baik otokritik maupun kritik publik, mempunyai peran yang amat urgen dan fundamental. Kebobrokan kiprah kepemimpinan di Indonesia disinyalir penulis sebagai akibat dari lemahnya manajemen sistem kepemimpinan yang tidak profesional yang disebabkan oleh tumpulnya kritik publik dan otokritik yang jelas dan tegas dari pemimpin itu sendiri. Hilangnya kritik publik dan otokritik menyebabkan ideal pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat kurang nampak dalam kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat senantiasa hidup dalam situasi kemiskinan dan kemelaratan di tengah kekayaan alam yang melimpah. Aspirasi rakyat bawah (grassroots level) sering tidak dijawabi secara rasional dan bertanggung jawab oleh pemerintah.
Melihat kenyataan dunia yang demikian, bagi Popper, falsifikasi politis, dalam hal ini pemimpin politis, mesti dilakukan agar dapat terwujudnya kepemimpinan ideal yang didambakan oleh seluruh masyarakat. Sebab, otokritik dan kritik publik adalah dua elemen yang mendekatkan pemimpin pada esensi dan kodratnya sebagai manusia yang berakal budi (ens rationale). Lebih jauh, falsifikasi politis ini dapat diartikan sebagai kritik politis yang dapat dilakukan baik oleh pemimpin itu sendiri (otokritik), maupun oleh masyarakat politis (kritik publik). Kritik masyarakat politis ini dapat disuarakan melalui forum publik, pers dan ekspresi sastra. Dan diharapkan, kritik masyarakat politis seperti ini dapat melahirkan otokritik pemimpin itu sendiri yang amat berguna bagi kehidupan sosial, bangsa dan negara.
Pada titik ini, menjadi jelas bahwa kritik publik dan otokritik dalam kaitaannya dengan proses kepemimpinan menjadi amat penting. Sebab, keberadaan seorang pemimpin bukanlah suatu keberadaan yang luput dari kesalahan dan kelemahan. Dia bukan pemilik kebenaran. Dia adalah pencari kebenaran yang tak pernah mengenal kata final.
Melalui filsafat falsifikasi yang senantiasa mengandalkan kritik seperti ini, penulis yakin bahwa ideal kepemimpinan dari, oleh dan untuk rakyat yang dicita-citakan oleh seluruh masyarkat Indonesia dapat terealisir. Namun, hal itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Ia senantiasa menagih tanggung jawab, usaha dan kerja keras dari seluruh masyarakat Indonesia.
Pada kesempatan yang mapan ini, penulis ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses penyelesaian karya tulis ini. Pertama, ucapan terima kasih dipersembahkan secara khusus dan istimewa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan waktu dan anugerah kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Kedua, ucapan terimah kasih diberikan kepada Joseph Pieniazek, Drs. yang telah membimbing penulis dalam menulis karya ini. Beliau senantiasa memberikan saran, kritik dan masukan konstruktif bagi kesempurnaan karya tulis ini. Ketiga, ucapan terima kasih diberikan kepada Richardus Muga, Drs. Lic. selaku penguji. Keempat, ucapan terima kasih diberikan kepada Dr. Paulus Budi Kleden selaku penanggung jawab karya tulis ini. Kelima, ucapan terima kasih diberikan kepada keluarga besar Biara St. Carolus Borromeus (Scalabrinian) yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan studi di STFK Ledalero. Jasamu sangat besar untuk kehidupanku. Aku tak akan pernah melupakan semua kebaikanmu. Keenam, ucapan terima kasih dibingkiskan dengan penuh rasa bangga kepada kedua orang tua penulis yang telah mengalirkan darah kehidupan dan menyalakan api semangat dalam tungku jiwa penulis, mengajarkan ketekunan dan kerja keras, dan memberi dukungan baik spiritual maupun material kepada penulis. Ketujuh, ucapan terima kasih diberikan kepada Rinto Rongge dan Adhesto En Juma yang telah membiarkan penulis untuk menggunakan komputernya dalam proses penyelesaian karya tulis ini. Kedelapan, ucapan terima kasih diberikan kepada saudara dan saudariku tersayang: kakak Rony, Moris, Nona Marta Yunita, kakak Iwin dan Kakak Tety yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini tepat waktu. Kesembilan, ucapan terima kasih diberikan kepada penghuni kos wisma Thomas Morus (2007/2008): Boby, Gregorio, Elvis, Pepy dan Inang Bunga Sengsara yang telah memberikan dukungan dan kehangatannya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.
Akhirnya, karya tulis ini secara khusus dan istimewa penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis yang telah bekerja keras untuk keberhasilan anak-anaknya yang tercinta. Penulis sadar bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, semua saran, masukan dan kritik yang konstruktif dari para pembaca sangat bermanfaat bagi proses penyempurnaannya.

Ledalero, Juni 2008
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Penulisan

Kepemimpinan adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia sebagai makhluk sosial (ens sociale). Dalam kehidupan sosial, pemimpin amat dibutuhkan. Kebutuhan akan hadirnya seorang pemimpin disebabkan oleh keinginan untuk menciptakan suatu tatanan dan struktur sosial yang ideal. Dalam hal ini, pemimpin dianggap sebagai salah satu unsur penting yang mampu menciptakan situasi sosial yang didambakan oleh semua elemen sosial, yaitu situasi sosial yang aman, damai dan sejahtera secara lahiriah dan batiniah.

Namun, dalam praksis sosial, ideal pemimpin sebagai penjamin kehidupan yang aman, damai dan sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah amat janggal ditemukan. Keberadaan seorang pemimpin sering bertentangan dengan esensinya sebagai seorang pemimpin. Oleh karena itu, dalam situasi yang demikian, setiap elemen masyarakat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk mengembalikan arti dan makna kepemimpinan pada esensi kodratinya. Mengenai kewajiban dan tanggung jawab masyarakat itu, terlebih khusus dalam masyarakat demokratis, sangat diapresiasi. Hal itu bisa mungkin terjadi karena dalam masyarakat demokrasi tampuk pemerintahan dan kepemimpinan ada sepenuhnya dalam tangan rakyat. Oleh karena itu, dalam masyarakat demokrasi, pemerintahan selalu berarti pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Dewasa ini, dalam masyarakat demokrasi, ideal kepemimpinan yang bertanggung jawab amat sulit ditemukan. Semboyan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat hanyalah sebatas retorika pemanis bibir yang tak pernah menjelmakan diri secara utuh dalam realitas praksis. Partisipasi rakyat dalam struktur pemerintahan demokratis mandeg di bawah bayang-bayang pemimpin yang otoriter dan tak bertanggung jawab. Kritik konstruktif masyarakat secara mudah dimentahkan oleh para penguasa. Oleh karena itu, dampak destruktifnya adalah hilangnya kesejahteraan rakyat baik secara jamaniah maupun secara rohaniah.

Indonesia sebagai negara demokratis juga tak luput dari kenyataan seperti yang dilukiskan di atas. Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat kurang nampak dalam kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat senantiasa hidup dalam situasi kemiskinan dan kemelaratan di tengah kekayaan alam yang melimpah. Aspirasi rakyat bawah (grassroots level) sering tidak dijawabi secara rasional dan bertanggung jawab oleh pemerintah. Hal ini disebabkan oleh manajemen sistem kepemimpinan yang tidak profesional. Selain minimnya profesional pemimpin, kenyataan destruktif itu disebabkan oleh tumpulnya daya rasional, moral dan spiritual sebagai akibat lemahnya kontrol publik melalui kritikan konstruktif, dan lumpuhnya semangat otokritik yang jelas dan tegas dari pemimpin itu sendiri.

Otokritik dan kritik publik adalah dua elemen penting yang mesti dialami oleh setiap pemimpin, terutama seorang pemimpin dalam negara demokratis. Melalui kedua elemen ini setiap pemimpin mempunyai kesempatan untuk memurnikan visi, misi dan dirinya sendiri. Aktus pemurnian itu akan sangat membantu para pemimpin untuk mengambil kebijakan dan keputusan yang mampu menjawabi kebutuhan masyarakat. Yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah kesejahteraan dan kedamaian secara lahir-batin. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa otokritik dan kritik publik adalah dua elemen yang mendekatkan pemimpin pada esensi dan kodratnya sebagai manusia yang berakal budi (ens rationale).

Berbicara tentang otokritik dan kritik publik bagi seorang pemimpin menginspirasikan penulis untuk mengangkat ide seorang Filsuf kontemporer Karl Raimund Popper, yang juga mempunyai minat politis, tentang filsafat falsifikasi. Filsafat falsifikasi mempunyai karakter “menyalahkan”, dan penyalahan di sini dapat diterjemahkan sebagai kritik. Bagi Popper sinonim yang paling dekat dengan kritik adalah apa yang disebut rasional. Yang rasional dan yang kritis bukanlah dua hal yang saling bertentangan dalam sejarah pemikiran manusia.Yang rasional adalah yang kritis. Namun, menurut Popper, sinomitas itu lebih nampak dalam hubungan dengan sikap.

Dalam kaitannya dengan filsafat falsifikasi dalam ilmu pengetahuan, Popper menegaskan bahwa ilmu pengetahuan baru disebut sebagai ilmu pengetahuan bila ia mempunyai karakter patut disalahkan. Pengetahauan yang sejati adalah pengetahuan yang selalu terbuka untuk disalahkan, dikoreksi dan diperbaiki. Setiap pengetahuan tidak selalu menampakkan diri dalam kenyataan yang benar secara absolut. Dan justru dengan proses falsifikasi ini pengetahuan semakin diperkaya dari waktu ke waktu. Pengetahuan tidak lahir dari sebuah pengulangan yang kaku akan teori yang telah ada, tetapi merupakan inovasi akan sesuatu yang baru yang dapat memperkaya pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu, tanpa proses falsifikasi, pengetahuan tidak akan diperkaya dari waktu ke waktu.

Sama halnya dengan falsifikasi pengetahuan, falsifikasi politis, dalam hal ini pemimpin politis, mesti dilakukan agar dapat terwujudnya pemimpin ideal yang didambakan oleh seluruh masyarakat. Falsifikasi politis ini dapat diartikan sebagai kritik politis yang dapat dilakukan oleh memimpin itu sendiri (otokritik), maupun oleh masyarakat politis (kritik publik). Keberadaan seorang pemimpin bukanlah suatu keberadaan yang luput dari kesalahan dan kelemahan. Dia bukan pemilik kebenaran. Dia adalah pencari kebenaran yang tak pernah mengenal kata final. Oleh karen itu, otokritik dan kritik publik sebagai proses falsifikasi diri mendekati kesempurnaan amatlah penting, karena hanya melaluinya pemimpin politis dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan kodratnya sendiri sebagai pemimpin.

Indonesia, sebagai negara demokrasi, belum mampu untuk melahirkan pemimpin-pemimpin ideal yang sungguh mampu bertindak sesuai dengan esensi demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, menurut penulis, filsafat falsifikasi Karl Raimund Popper masih amat aktual dan relevan untuk mempercepat proses kelahiran pemimpin ideal yang demokratis. Dan dengan lahirnya pemimpin ideal maka cita-cita negara Indonesia yang aman, damai dan sejahterah dapat terealisir.


BAB II
KARL RAIMUND POPPER SELAYANG PANDANG


2.1. Riwayat Hidup Karl Raimund Popper dan Karya Intelektualnya

Karl Raimund Popper adalah seorang filsuf kontemporer yang mempunyai karakter yang agak lain dari para filsuf kontemporer lainnya karena filsafatnya mempunyai corak filsafat aksi (philosophy of action). Ia lahir di Wina-Austria, 28 Juli 1902 dari keluarga kelas menengah. Kedua orang tuanya berketurunan Yahudi dan beragama Kristen. Ia dididik dalam nuansa didikan Lutheran dan disekolahkan di University of Vienna, dan mendapat gelar PhD dalam bidang filsafat pada tahun 1928, dan mulai mengajar matematika dan fisika pada sekolah menegah dari tahun 1930-1936.

Ayahnya, Dr. Simon Sigmund Carl Popper, seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat dan masalah-masalah sosial. Beliau juga seorang bibliofil yang memiliki 12.000-14.000 koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Rupanya situasi keluarga dan minat ayahnya yang demikian amat mempengaruhi petualangan intelektualnya. Ia menjadi anak yang tenang dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca. Karena kegemarannya membaca maka tidak heran jika ia menjadi anak yang pintar dan kemudian menjadi filsuf yang mempunyai kemampuan dan originalitas yang tinggi.

Popper adalah filsuf kontemporer yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam dunia ilmu pengetahuan. Melalui teori Filsafat falsifikasi ilmu pengetahuannya, ia memberikan pencerahan pada dunia ilmu pengetahuan yang pada masanya terkesan kaku dan tidak membangun. Untuk menjelaskan teorinya ini, ia menulis beberapa buku dan banyak artikel. Buku-bukunya yang berkaitan dengan pengetahuan adalah sebagai berikut: Logik der Forschung (The logic of Discovery) (1934), Conjectures and Refutation: The Growth of Scientific Knowledge (1963), Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (1972). Namun, walaupun ia memiliki pengaruh yang besar pada bidang ilmu pengetahuan, ia juga mempunyai minat yang cukup tinggi pada bidang sosial dan politik. Bukunya yang paling menyinggung soal sosial dan politik ini adalah The Poverty of Historicism (1957) dan The Open Society and Its Enemies.

Minat politik Popper sudah mulai nampak sejak remaja. Awalnya Popper adalah seorang Marxis, dan oleh karena itu ia amat antusias dengan Social Democrat. Ia masuk dalam kelompok sayap kiri (left-wing). Namun ketika gejolak politik di Wina mulai memanas pada tahun 1930 dan oposisi kiri terhadap fasisisme hancur, Popper mulai menjadi lebih kritis terhadap Marxisme. Dalam bukunya, The Open Society and Its Enemies (Vol.II, pp. 164-165) Popper mengeritik Marxisme demikian:

Since the revolution was bound to come, fascism could only be one of the means of bringing it about; and it was more particularly so since the revolution was clearly long overdoe. Russia had already had it in spite of its backward economic conditions. Only the vain hopes created by democracy were holding it back in the more advanced countries. Thus the destruction of democracy through the fascists could only promote the revolution by achieving the ultimate disillusionment of the workers in regard to democracy methods. With this, the radical wing of Marxism felt that it had discovered the “essence” and “the true historical role” of fascism. Fascism was, essentially, the last stand of bourgeoisie. Acordingly, the Communists did not fight when the fascists seized power. (Nobody expected the social democrats to fight). For the Communists were sure that the proletarian revolution was overdue and that the fascist interlude, necesary for its speeding up, could not last longer then a few months. Thus no action was required from the Communists. They were harmless. There was never a “communist danger” to the fascist conquest of power.

Kritik terhadap Marxisme akhirnya dikembangkan secara sistematis dalam bukunya The Open Society and Its Enemies. Memang bukan hanya Marxisme yang ditentang oleh Popper. Ada beberapa filsafat ortodoks yang dikritik oleh Popper seperti Positivisme Logis, Determinisme dan Filsafat Bahasa. Popper berargumen bahwa tidak ada subject matters, tetapi yang ada hanya problem dan keinginan kita untuk memecahkan problem itu. Popper katakan bahwa teori-teori ilmu pengetahuan tidak bisa diverivikasi secara total, mereka hanya bisa disangkal secara tentatif. Oleh karena itu, menurut Popper, filsafat yang paling baik ada filsafat yang senantiasa berada dalam problem dan usaha untuk memecahkan problem itu.

Oleh karena itu, berkaitan dengan kritik Popper terhadap Marxisme, Isaiah Berlin katakan bahwa Filsafat Popper adalah filsafat yang paling melahirkan penyangkalan yang mengancurkan terhadap Marxisme (the most devasting refutation of Marxism). Kemapanan Marxisme diganggu oleh Popper karena ia terlalu menekankan aspek ekonomi dan mengabaikan aspek lainnya yang juga mempunyai pengaruh fundamental bagi hidup manusia

Dalam perjalanan hidupnya, Popper pernah mengalami kekejaman dan keganasan Nazi. Oleh karena itu, pada tahun 1937, karena ancaman Nazi, Popper terpaksa beremigrasi ke New Zeeland. Di sana ia menjadi pengajar pada Canterbury University College New Zeeland. Di New Zeeland, ia tidak bertahan lama. Pada tahun 1946, ia pindah ke Inggris untuk berkarir sebagai pengamat dalam bidang logika dan metode ilmu pengetahuan pada London School of Economics, dan pada tahun 1949 ia ditunjuk menjadi profesor pada sekolah tersebut.

Popper adalah anggota dari Academy of Humanism, dan mengakui dirinya sebagai seorang agnostik yang senantiasa mengahargai ajaran-ajaran moral Yudaisme dan Kristianitas. Popper juga pernah menjadi presiden dari Aristotelian Society dari tahun 1958 sampai tahun 1959. Pada tahun 1965, dia diberi gelar bangsawan oleh ratu Elisabeth II. Dia juga dipilih menjadi seorang Fellow of the Royal Society pada tahun 1976. Sejak tahun 1969, dia pensiun dari dunia akademik, akan tetapi ia tetap menjadi seorang intelektual hingga akhir hayatnya.

Sebagai seorang Filsuf yang berbakat Popper memenangi banyak penghargaan dalam bidangnya. Pada tahun 1982, Popper dianugerahi pengahargaan Insignia of a Companion of Honour oleh Ratu Elisabeth II. Selain itu, ia juga memenangi beberapa penghargaan seperti: Lippincott Award of the American Politican Science Association, Sonning Prize, Felloship in the Royal Society, British Academy, London School of Economics, King’s College London, dan Darwin College Cambridge. Austria menganugerahi Popper Grand Decoration of Honour in Gold.

Pada tanggal 17 September 1994, Popper meninggal dunia. Setelah upacara kremasi, abu hasil kremasi jasad Popper (Popper Ashes) diambil dan dibawa ke Wina dan dikuburkan di pekuburan Lainz berdekatan dengan ORF Center, dimana istrinya yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya di Austria dikuburkan.

2.2. Karl Popper dan Sejarah Intlektualnya

2.2.1. Terkesan Pada Einstein

Pada tahun 1919, Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh Einstein. Dan apa yang dikerjakan Einstein ini, menurut pengakuan Popper, amat mempengaruhi petualangan intelektualnya ke depan. Tepatnya pada bulan Mei 1919, ramalan Einstein tentang eklipse dengan gemilang diuji oleh dua ekspedisi Inggris. Dengan pengujian ini tiba-tiba muncul suatu teori baru tentang gaya berat dan kosmologi baru. Dan ini adalah hasil dari proses falsifikasi yang membuka ruang untuk perbaikan bagi Newton.

Pada suatu kesempatan yang hampir bersamaan, Popper mendengar ceramah ilmiah yang dibawakan oleh Einstein di Wina. Pada kesempatan itu Popper tertegun dan sekaligus terpukau atas sikap Einstein atas teorinya. Einstein berkata bahwa teorinya tak dapat dipertahankan bila gagal dalam pengujian atas keabsahan dan kebenarannya. Dalam hal ini, Einstein membuka ruang kritik dan pengujian yang konstruktif atas teori-teorinya. Ia tidak sepenuhnya menganggap bahwa teorinya adalah benar secara absolut. Tentu sikap Einstein yang moderat ini amat berbeda dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan kaku, yang selalu mencari verifikasi atas teori-teori yang telah dibangunnya.

Bertolak dari pengalaman akan Einstein itu, Popper akhirnya pada akhir tahun 1919 menarik sebuah kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis dan berani membuka diri terhadap kritik, yang tidak mencari pembenaran atau verivikasi akan teori tertentu, melainkan menyangkal atau memfalsifikasi teori itu secara konstruktif agar teori tersebut dapat lebih mendekati titik kebenaran. Menurut Popper, falsifikasi atas teori itu amat penting bagi validitas dan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan berangkat dari asumsi seperti ini maka dalam bukunya yang pertama Logik der Forschung, Popper amat menekankan padangannya tentang falsifikasi sebagai sikap ilmiah yang mesti dimiliki oleh setiap manusia, khususnya kaum intelektual.

2.2.2. Belajar dari Karl Buhler

Popper bertemu dengan Buhler ketika sedang belajar di Universitas Wina pada tahun 1925. Pada saat itu, Popper diterima sebagai mahasiswa institut pedagogis. Sambil belajar, Popper membantu anak-anak terlantar di sana. Di universitas ini, Popper bertemu dengan istrinya yang juga adalah pengeritik keras atas karya-karyanya.

Di universitas Wina ini, Popper banyak belajar dari Buhler, profesor psikologi. Menurut Popper yang paling penting dari teori Buhler adalah teorinya tentang tingkat fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi simulatif, dan fungsi deskriptif. Menurut Buhler dua fungsi pertama selalu hadir dalam praksis bahasa hewan dan manusia, sedangkan fungsi yang ketiga adalah milik khas manusia sebagai makhluk yang berakal budi.

Berhadapan dengan pandangan Buhler yang demikian, Popper merasa bahwa apa yang dibicarakan oleh Buhler tentang fungsi bahasa belum terlalu lengkap. Oleh karena itu, Popper menambahkan fungsi keempat dari bahasa yaitu fungsi argumentatif, yang merupakan basis pemikiran kritis manusia.

2.2.3. Memprioritaskan Logika

Pada tahun kedua di Institusi Pedagogis di Universitas Wina, Popper berjumpa dengan Prof. Henrich Gomperz, seorang Filsuf profesional dan seorang dosen filsafat. Dalam pertemuan itu, keduanya sering membahas tentang problem psikologi pengetahuan atau psikologi penemuan. Dan sebagai seorang yang sangat menekankan logika dalam ilmu pengetahuan maka Popper dengan keras bereaksi dan menolak pendekatan psikologis atas pengetahuan, termasuk pendekatan psikologis Gomperz.

Setelah melakukan eksperimen di laboratorium psikologi, Popper menarik sebuah kesimpulan bahwa data indrawi, data kesan atau kesan tidaklah ada. Menurut Popper, itu semua adalah khayalan yang berdasarkan usaha keliru untuk mengalihkan atomisme dari fisika ke psikologi. Dan dalam usaha itu, Popper yakin bahwa pandangannya mirip dengan pandangan Oswald Kulpe dan alirannya (Wurzburger Schule), terutama Buhler dan Oto Selz. Mereka menemukan bahwa manusia tidak berpikir dalam citra-citra melainkan dalam istilah problem-problem dan solusi tentatifnya.

Tetapi dalam logika, karya Kulpe, yang diterima oleh Buhler, argumen dipandang sebagai penilaian yang kompleks (complex judgement). Akibatnya, tidak ada perbedaan yang benar dan jelas antara menilai dan mengemukakan alasan untuk membantah dan mendukung suatu pendapat. Itulah sebabnya Buhler tidak melihat perbedaan deskriptif bahasa dan fungsi argumentatifnya. Pada hal, keduanya harus dibedakan, sebab ada bahasa-bahasa seperti peta bumi, yang deskriptif tapi tidak argumentatif.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa menurut Popper studi logika lebih penting dari studi mengenai proses pemikiran subyektif. Dan gagasan seperti ini yang sering ditemukan dalam seluruh karya Popper. Karena keyakinannya yang seperti inilah yang membuat dia tidak bahagia dengan tesisnya yang berjudul “Tentang Problem Metode dalam Proses Pemikiran” yang dipertahankan pada tahun 1928. “ Aku tidak pernah mengerlingnya lagi”, tulis Popper tentang disertasinya.

2.2.4. Kontra Kelompok Wina

Karl Raimund Popper memiliki pandangan yang sesungguhnya berbeda dengan kelompok Wina. Kelompok Wina adalah kaum positivis yang sangat mengagumkan metode induksi dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, bagi Popper, metode induksi tidak bisa dijadikan sebagai metode yang absah dalam dunia ilmu pengetahuan, karena dalam metode induksi yang ada hanyalah proses verivikasi terhadap pengetahuan yang telah ada dan karenanya pengetahuan itu diterima lebih secara psikologis ketimbang secara logis. Bagi Popper, metode yang benar dalam dunia pengetahuan adalah metode deduktif yang berlaku melalaui proses testabilitas atau fasifikasi.

Popper adalah filsuf yang anti induktivisme. Menurutnya, peniadaan atau pembuangan terhadap induksi tidak sama sekali mengganggu konsep demarkasi. Dengan menerapkan metode trial and error maka metode induktif dapat diganti dengan metode deduktif. Penyangkalan suatu teori lewat refutasi atau falsifikasi jelas merupakan suatu inferensi deduktif. Pandangan ini mengimplikasikan bahwa teori ilmiah selalu memiliki kemungkinan untuk disangkal karena ia selalu menampilkan diri dalam bentuk konjektur atau hipotesa. Jadi, dalam hubungan dengan hal ini maka kemajuan ilmiah tidak lagi diukur dengan seberapa banyak jumlah pengamatan, melainkan seberapa banyak teori-teori yang kurang baik dijatuhkan dan digantikan dengan teori-teori yang lebih baik. Ya, apa yang dikonsepkan oleh Popper dalam hal ini memiliki kesamaan seperti konsep perjuangan untuk mempertahankan hidup dalam pandangan Darwin.

Dengan pandangan seperti itu, Karl Popper secara tegas membedakan diri dengan kelompok Wina yang pada saat itu memiliki pandangan terhadap pengetahuan yang bersifat dogmatis dan kaku. Memang ada beberapa anggota kelomopok Wina, seperti Herbert Feigl, Schlick dan Frank, yang menganggap bahwa pandangan-pandangan Popper penting dan revolusioner. Mereka ini telah membantu Popper untuk menerbitkan bukunya yang berjudul “Dua Problem Pokok dalam Teori Ilmu” yang diterbitkan pada tahun 1933.

2.2.5. Kontra Pendekatan Subyektivis

Berdasarkan pengakuan Popper dapat diketahui bahwa ia sangat membela obektivitas dan menyanggal subyetivitas. Sudah sejak tahun 1950, Popper mulai berjuang membela obyektivitas dalam mekanika kuantum. Kecendrungan pada subyektivitas dalam logika pun mendapat perlawanan dari Popper.

Sebenarnya sudah sejak lama, yaitu sejak tahun 1934, Popper memerangi kecenderungan subyektivis dalam tafsiran kalkulus probabilitas. Dan dalam rangka membela obyektivitas ini, Popper menggunakan teori-teori Tarski tentang kebenaran. Teori kebenaran oleh Tarski adalah suatu teori yang memandang kebenaran bersifat obyektif karena lebih merupakan suatu sifat-sifat teori dari pada sebagai suatu pengalaman atau kepercayaan yang bersifat subyektif.

Teori kebenaran yang diadopsi ini akhirnya muncul dalam bukunya Conjectures and Refutation: the Growth of Scientitific Knowledge (1963). Teori kebenaran itu diuraikan dalam gagasan mengenai ilmu sebagai usaha menemukan kebenaran, ide tentang versimilitude, tentang prasyarat untuk pertumbuahan pengetahuan.

2.3. Filsafat Karl Raimund Popper (Popper’s Philosophy)

2.3.1. Filsafat Ilmu Pengetahuan (Philosophy of Science)

2.3.1.1 Sumber-sumber Pengetahuan (The Sources of Knowledge)

Popper adalah Filsuf kontemporer yang mempunyai sumbangan pemikiran yang sangat signifikan dalam merumuskan metode dan sistem pengetahuan manusia. Sebelum merumuskan esensi filsafat ilmu pengetahuannya, Popper mencoba untuk berbicara tentang masalah klasik yang cukup kontroversial pada masanya. Masalah klasik itu adalah masalah sumber pengetahuan (Sources of Knowledge) yang diwakili oleh dua aliran besar dalam sejarah filsafat pengetahuan yakni empirisisme dan rasionalisme.
Praksisnya kontroversi itu terjadi antara filsuf-filsuf Inggris -seperti Bacon, Locke, Berkeley, Hume dan Mill- dan filsuf daratan Continental -seperti Descartes, Spinoza dan Leibniz. Berhadapan dengan kontroversi tentang sumber pengetahuan ini maka Popper mencoba bertindak seperti Immanuel Kant untuk menjembatani keduanya. Popper berpendapat bahwa baik kaum rasionalis maupun kaum empiris sama-sama jatuh pada ekstrim yang membawa mereka pada kekeliruan. Menurutnya, baik penampakan empiris maupun kapasitas intelektual merupakan sumber pengetahuan. Sintesis antara yang empiris dan yang rasional akan melahirkan pengetahuan yang benar bagi manusia. Atas alasan itu maka Popper katakan demikian:

"I shall try to show of the two schools of empiricism and rationalism that their differences are much smaller than their similarities, and that both are mistaken. I hold that they are mistaken although I am myself an empiricist and a rationalist of sorts. But I believe that, thugh observation and reason have each an important role to play, these roles hardly resemble those which their clasical defenders attributed to them. More especially, I shall try to show that neither observation nor reason can be described as source of knowledge, in the sense of in which they have been claimed to be sources of knowledge, down to the present day."

Bagi Popper apa yang telah dibuat oleh para pemikir besar seperti Hume, Kant, Descartes, John Locke dan beberapa pemikir besar lainnya adalah suatu kekeliruan. Kalau kita mengamati secara sistematis dan teliti tentang diskursus sumber pengetahuan dalam sejarah ilmu pengetahuan maka kita akan menemukan bahwa kaum rasionalis memiliki pandangan yang jauh lebih radikal dan ekstrim dibandingkan dengan kaum empirisisme. Kaum rasionalis dengan penuh percaya diri bahwa sumber satu-satunya pengetahuan adalah ratio manusia. Karena sumber pengetahuan adalah ratio maka pengetahuan itu harus dicari dalam alam pikirian atau ratio itu (in the realm of the mind). Tidak ada sumber lain di luar ratio manusia. Semetara itu, kaum empiris memang percaya bahwa pengetahuan bersumber pada pengalaman empiris, namun mereka masih memberi ruang kepada kapasitas intelektual sebagai sumber pengetahuan seperti dalam praksis ilmu matematika.

Kelihatannya Popper mendamaikan kontroversi klasik tentang sumber pengetahuan. Dia membuat sintesis kritis-rasional tentang sumber pengetahuan itu sendiri. Dia mengakui kedua sumber pengetahuan itu sama-sama valid. Oleh karena itu, Popper tidak ragu-ragu berkata: I am myself an empiricist and a rationalist of sorts. Namun sintesa yang dibuat oleh Popper ini berbeda dengan apa yang telah dibuat oleh Kant sebelumnya. Memang Kant membuat sintesa dan mendamaikan rasionalime dan empirisisme, namun dalam praksisnya Kant lebih cendrung bertindak sebagai seorang rasionalis.
Selain itu, Popper juga menyadari bahwa bukan hanya dua aliran tersebut di atas yang mewarnai perkembangan pengetahuan manusia dewasa ini. Ada satu aliran lain, yaitu aliran yang menekankan faktor-faktor psikologis dalam munculnya hipotesis atau teori. Misalnya, aliran Psikologi Gestalt mempunyai peran penting dalam menjelaskan peran intuisi dan peran imaginasi kreatif dalam mengungkapkan dan merumuskan suatu teori.

Menurut Popper aliran psikologis pengetahuan ini memang mempunyai andil dalam membantu manusia untuk mengetahui apa dan bagaimana pengetahuan itu terjadi. Namun, apa yang menjadi sumbangan psikologi pengetahuan itu tidak sama sekali membantu manusia untuk mengetahuai dan memastikan bahwa pengetahuan baru itu benar atau tidak. Rupanya psikologi pengetahuan lebih berusaha untuk memecahkan persoalan quid facti, sebuah masalah yang berkaitan dengan apa yang diketahui dan apa yang tidak dapat diketahuai.

Akan tetapi bagi Popper, persoalan filsafat ilmu pengetahuan kurang berkaitan dengan hal apa yang dapat dan tidak dapat diketahui oleh manusia, melainkan lebih berkaitan dengan persoalan quid iuris, suatu persoalan mengenai keabsahan dan kebenarannya. Oleh karena penekanan pada persoalan quid iuris ini maka, menurut Popper, pengetahuan manusia mesti senantiasa dikritik agar dapat mendekati kebenaran. Kebenaran ilmiah hanya dapat diketahui melalui kritik dan pengujian atas pernyataan ilmiah yang manusia miliki.

2.3.1.2.Masalah induksi

Metode induksi adalah metode yang sering digunakan oleh kaum positivis untuk menjelaskan teori-teorinya, termasuk teori tentang ilmu pengetahuan manusia. Dalam kaitannya dengan metodologi ilmu pengetahuan, induksi memiliki dua peranan besar. Pertama, induksi adalah metode yang dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis. Induksi, dalam hal ini, dapat disebut sebagai klasifikasi atau generalisasi. Dalam proses generalisasi itu, hipotesis merupakan sebuah konsep umum yang ditarik dari pengetahuan tentang data empiris yang ada. Kedua, induksi adalah sebuah metode pragmatis untuk membuktikan apakah hipotesis itu dapat diterima atau tidak dalam suatu masyarakat ilmiah.
Namun, meskipun positivisme yakin bahwa induksi adalah metode yang valid dan baik, tetapi, menurut Popper, justru tidak valid secara logis. Bagi Popper, kaum positivis melalui metode induksi ingin menekankan bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman yang menyodorkan fakta-fakta empiris. Fungsi fakta-fakta itu adalah untuk membantu ilmuwan untuk menarik suatu kesimpulan yang lebih umum. Atau dengan kata lain, fakta-fakta itu diambil untuk membenarkan atau memverivikasi teori yang sudah ada. Tetapi, dengan mekanisme seperti demikian, ilmuwan hanya mau menunjukkan bahwa induksi adalah suatu proses psikologis. Dan karena ia didasarkan pada aspek psikologis ini maka apa yang dihasilkan oleh kaum positivis melalui metode induksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara logis-ilmiah.
Mengapa kebenaran kesimpulan induktif umumnya tidak valid secara logis? Misalkan pristiwa A diikuti oleh pristiwa B pada suatu kesempatan. Dari pernyataan ini tidak bisa ditarik kesimpulan secara logis bahwa pristiwa A akan diikuti oleh pristiwa B pada kesempatan lain. Tetapi kalau ada fakta bahwa peristiwa A sering diikuti oleh peristiwa B, kita bisa tarik suatu kesimpulan bahwa peristiwa A selalu diikuti oleh pristiwa B adalah benar. Namun kesimpulan benar di sini tidak ditarik secara logis, melainkan secara psikologis. Atau bisa dikatakan bahwa hal itu adalah fakta psikologis bukan fakta logis.

Hume adalah seorang filsuf yang sempat berbicara tentang problem induksi. Bagi Hume, Matahari telah terbit pada hari-hari yang telah lewat, tidak berarti bahwa esok hari Matahari akan terbit. Mungkin melalui ilmu fisika mutakhir dapat diprediksi bahwa esok hari Matahari akan terbit seperti hari sebelumnya. Tetapi prediksi itu tidak otomatis benar, sebab alam mempunyai hukum yang misterius dan ilmu fisika itu memiliki keterbatasannya.

Untuk menjelaskan persoalan itu, Hume menjelaskan sebagai berikut. Pertama, kenyataan hukum fisika telah menyata dan berlaku di masa lalu, namun ia tidak secara logis mengharuskan bahwa hukum itu akan berlaku di masa yang akan datang. Kedua, hukum-hukum fisika itu sendiri merupakan pernyataan-pernyataan umum yang tidak secara logis dibentuk dari contoh-contoh hasil pengamatan, betapa pun banyaknya fakta yang diajukan untuk mendukungnya.

Berdasarkan pejelasan Hume itu, ia berkesimpulan bahwa memang tidak mungkin membuktikan validitas prosedur induktif. Namun karena konstitusi psikologis manusia bekerja sedemikian rupa sehingga tak bisa tidak manusia berpikir menurut prisip induksi. Tampaknya bahwa prinsip ini sering berlaku dalam praksis hidup manusia, dan oleh karena itu manusia mengikutinya secara take for granted. Namun, semua hal itu mau menunjukkan bahwa melalui metode induktif hukum ilmiah secara rasional tidak memiliki dasar yang kokoh, baik dalam logika maupun dalam pengalaman.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana pemecahan Popper dalam kaitannya dengan problem induksi ini? Sesungguhnya Popper menggantikan metode induksi dengan metode deduktif. Menurutnya, metode deduktif mempunyai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis, dan sebaliknya metode induksi. Dalam kaitannya dengan metode induktif Popper pernah katakan demikian:

I said first that I did not believe in induction at all, even though I believe in learning from experience, and in empiricism without Kantian limits which Russell proposed. This statement, which I formulated as briefly and as pointedly as I could with the halting English at my disposal, was well received by the audience who, it appears, took it as a joke, and laughed.

Karena Popper menolak metode induksi maka ia menggantikannya dengan metode deduksi. Untuk memecahkan problem induksi dan menggantikannya dengan metode deduksi, Popper membagi uraiannya ke dalam dua bagian besar. Pertama, psikologi pengetahuan dan logika pengetahuan. Sebelum menjelaskan deduktivisme yang dianutnya itu, Popper terlebih dahulu menjelaskan distingsi antara psikologi pengetahuan yang berurusan dengan fakta empiris, dan logika pengetahuan yang hanya memperhatikan hubungan logis. Distingsi ini perlu sebab kepercayaan kepada logika induktif sebagian besar disebabkan oleh pencampuradukan antara problem psikologis dan problem epistemologis. Dan Popper ingin memerangi psikologisme dalam ilmu pengetahuan.

Menurut Popper, analisis logis pengetahuan tidak berurusan dengan fakta melainkan hanya dengan masalah pembenaran atau validitas akan sesuatu. Dan dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang relevan adalah: dapatkah suatu pernyataan dibenarkan? apakah pernyataan itu bisa diuji? Bila demikian bagaimana caranya? Atau apakah pernyataan itu berkontradiksi dengan pernyataan yang lain? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini suatu pernyataan dapat diuji dan diperiksa secara logis.
Kedua, metode deduktif. Bagi Popper, hanya metode deduktif yang mampu menguji dan memeriksa suatu pernyataan secara logis. Sedangkan metode induksi tidak bisa melakukan itu, dan karena itu ia bukanlah suatu metode yang tepat dalam ilmu pengetahuan.

Metode deduksi mengkaji teori secara kritis dan berjalan sesuai dengan mekanisme berikut. Pertama-tama suatu teori yang baru diajukan secara tentatif dari teori tersebut ditarik suatu kesimpulan secara deduksi-logis. Konklusi-konklusi ini lalu dibandingkan satu dengan yang lainnya. Hal ini dilakukan untuk menemukan suatu hubungan logis yang ada dalam pernyataan tersebut.

Untuk lebih jelas akan dijelaskan sitem kerja metode deduktif-logis dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan manusia. Pertama, terdapat perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Dengan perbandingan itu diuji, apakah sistem yang disodorkan tadi mempunyai konsistensi internal. Kedua, ada penyelidikan bentuk logis teori tersebut. Penyelidikan itu bermaksud untuk menentukan apakah teori itu mempunyai sifat empiris atau ilmiah, atau apakah dia bersifat tautologis. Ketiga, teori yang dimaksud diperbandingkan dengan teori-teori yang lain. Perbandingan itu bermaksud untuk menentukan, apakah teori-teori tersebut akan membawa suatu kemajuan ilmiah, seandainya tidak ia akan gugur oleh berbagai ujian. Dan akhirnya, ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari kesimpulan tersebut.

Tujuan pengujian terakhir ini ialah untuk menemukan seberapa jauh akibat-akibat baru dari teori tersebut dapat menghadapi tuntutan praktek, baik yang timbul dari eksperimen ilmiah maupun dalam penerapan teknologis secara praksis. Di sini proses pengujian ternyata juga bersifat deduktif. Dengan bantuan pernyataan lain yang sudah diterima sebelumnya, dari teori yang sudah diperiksa itu, ditarik suatu pernyataan tertentu yang bersifat singular yang boleh disebut “ramalan”, terutama ramalan yang sudah diuji atau mudah diterapkan. Di antara pernyataan-pertanyataan ini dipilih pernyataan yang tak dapat ditarik dari teori yang sedang berlaku (current theory) dan terutama pernyataan yang bersifat kontradiktif terhadap teori yang sedang berlaku.

Selanjutnya, dicari suatu keputusan mengenai pernyataan-pernyataan yang ditarik dari teori yang sedang dites, dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penerapan praktis dan eksperimen. Bila keputusan ini positif, artinya, bila kesimpulan-kesimpulan yang ditarik itu ternyata bisa diterima atau diverivikasi, maka teori tersebut untuk semetara lulus tes. Tak ada alasan bagi kita untuk menolaknya.

Di sini harus diperhatikan bahwa suatu keputusan positif hanya dapat mendukung teori itu untuk sementara, sebab keputusan-keputusan negatif yang akan datang selalu bisa saja menggugurkannya. Selama keputuasan itu tahan mengahadapi ujian yang keras dan belum digantikan teori yang lain teori tersebut bisa dikatakan telah menujukkan keuletannya, atau teori tersebut telah dikoroborasikan (diperkuat) oleh pengujuian itu. Dan teori seperti ini dapat dijadikan sebagai pengetahuan manusia, tetapi walaupun demikian ia mesti tetap membuka diri terhadap kritik.

Dalam prosedur pengujian teori yang digambarkan di atas tak muncul apa pun yang menyerupai logika induktif. Popper tidak pernah menganggap bahwa manusia dapat membuktikan teori-teori dari kebenaran pernyataan yang bersifat tunggal. Tak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan yang telah diverivikasi, teori-teori dapat dikukuhkan sebagai benar atau semata-mata probable (mungkin benar).

Jadi secara singkat, dari pemaparan tentang prosedur pengujian teori baru, Popper membuktikan tak adanya metode induktif. Yang ada hanya metode deduktif. Tetapi dengan menolak metode induktif ini, apakah Popper tidak merampas ciri terpenting dari ilmu-ilmu empiris, sehingga seakan-akan tidak ada batasan dari spekulasi metafisis? Pertanyaan ini dijawab oleh Popper dengan menegaskan bahwa dia menolak logika induktif justru karena logika induktif tidak memberikan ciri pembedaan yang sesuai pada sifat sistem teori yang empiris dan non-metafisis. Dengan kata lain, logika induktif, tidak memberikan kriterium demarkasi yang sesuai.

2.3.1.3. Masalah Demarkasi

Dalam filsafat ilmu pengetahuan Karl Popper, persoalan yang tidak kalah rumitnya dengan persoalan induksi adalah problem tentang demarkasi. Demarkasi itu adalah demarkasi antara ilmu dan non-ilmu, seperti metafisika, matematika dan logika. Masalah ini dapat dirumuskan secara sederhana dalam beberapa pertanyaan berikut: bagaimana suatu pernyataan dapat dijelaskan sebagai proposisi ilmiah? Apa kira-kira ciri dari suatu pernyataan ilmiah? Dengan kriteria apa suatu pernyataan ilmiah dapat dibedakan dari pernyataan bukan ilmiah? Lebih konkret lagi, dimana letak demarkasi antara ilmu pengetahauan empiris dan logika, matematika dan metafisik?

Menurut kaum empiris-positivis, metode induksi merupakan kriterium demarkasi yang valid. Mereka menafsir problem demarkasi itu sebagai problem ilmu ilmiah. Mereka percaya bahwa mereka telah menemukan distingsi yang terdapat dalam hakikat benda-benda antara ilmu empiris di satu pihak dan metafisika di pihak lain. Namun, menurut Popper apa yang dipercaya oleh kaum empiris-positivis itu tidak benar. Sesungguhnya, menurut Popper, kaum empiris-positivis tidak mampu menemukan kriteria demarkasi yang jelas dan tegas. Ini adalah kegagalan metode induksi kaum positivis dalam usaha untuk membentuk demarkasi. Popper akhirnya menggantikan demarkasi positivis ini dengan falsifikasi.

Menurut Popper kriteria demarkasi harus adil. Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa kriteria yang dibuat itu mesti dapat menjelaskan ciri ilmiah dari suatu pengetahuan sehingga dapat dibedakan dari metafisika, logika dan matematika. Dalam hal ini tujuan dari demarkasi Popper bukan untuk menyangkal metafisika, melainkan untuk memberi batasan demarkasi yang jelas dan tegas antara ilmu dan non-ilmu.
Untuk merealisasikan tujuan di atas maka Popper mengusulkan tiga kriteria demarkasi.

Pertama, setiap proposisi ilmiah harus bersifat sintetis. Bersifat sintetis di sini berarti bahwa seluruh proses penyimpulan ilmiah harus mengungkapkan pengalaman tentang dunia nyata. Dengan kriteria ini Popper melihat bahwa spesialis ilmu empiris adalah mengamati fakta dan memberi penjelasan terhadap fakta dalam pernyataan-pernyataan sintetis.

Kedua, setiap pernyataan ilmiah tidak perlu bersifat metafisik, artinya bahwa kita tidak bertujuan untuk merumuskan pernyataan-pernyataan yang hanya bisa dipahami secara rasional atau hanya dengan memahami dasar-dasarnya yang terdalam dari suatu realitas. Dengan kriteria ini Popper sejak awal karya-karyanya menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sudah harus membatasi diri pada persoalan empiris, tetapi dengan itu tidaklah berarti bahwa realitas yang dihadapi manusia harus direduksi begitu saja dalam batas-batas ilmu pengetahuan empiris. Wilayah lain yang harus dihormati adalah filsafat dan teologi yang mencoba menembus fakta dengan memeriksa syarat-syarat yang paling mendalam dan rasional dari realitas. Dengan kriteria ini Popper secara tidak langsung menawarkan kepada kita suatu kerangka yang mendasar bagi ilmuwan, para filsuf dan teolog untuk membatasi diri pada metodenya masing-masing.
Ketiga, pernyataan-pernyataan ilmiah harus tunduk pada pengujian. Benar tidaknya proposisi-proposisi ilmiah sintetis hanya bisa diukur dalam suatu sistem pengujian dengan bantuan metode deduktif. Dengan usul tersebut Popper yakin sebuah proposisi dapat dinyatakan sebagai proposisi ilmiah dalam suatu sistem pengujian yang memiliki ciri empiris atau dalam suatu sistem pengujian deduktif di mana pengalaman dilihat sebagai alat ukur.

Dalam kaitan dengan kriteria ketiga, dapat dilihat bahwa pemikiran Popper memang berbeda dari kaum positivis. Menurutnya, pengalaman atau data tidak mengkorfirmasi suatu teori, karena setiap pengalaman bersifat partikular. Oleh karena itu Popper menolak verivikasi sebagai kriteria demarkasi. Sebaliknya, pengalaman hanya bermanfaat untuk menyangkal suatu proposisi ilmiah dalam suatu sistem deduksi. Popper menyebut sistem itu “falsifikasi”. Dalam sistem ini, suatu proposisi ilmiah diuji dengan pengalaman, di mana pengalaman hanya dilihat sebagai kemungkinan untuk menyangkal proposisi ilmiah tersebut.

Di sini dapat dilihat bahwa padangan Popper tentang kriteria demarkasi memiliki dua unsur penting yaitu “unsur falsifikasi” dan “unsur pengalaman”. Unsur falsifikasi menunjukkan bahwa setiap pernyataan ilmiah tunduk pada pengujian yang dijalankan secara deduktif. Sedangkan unsur pengalaman menunjukkan bahwa seluruh proses pembuktian terhadap teori atau hipotesis ilmiah tersebut memiliki dimensi empiris, tidak spekulatif. Unsur-unsur ini sekaligus menjadi isi dari falibilitas. Falibilitas mengadung arti kurang lebih sebagai suatu pernyataan dapat dikatakan ilmiah jika secara definitif dibuktikan benar atau salah. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan atau teori dikatakan ilmiah jika ia in se memiliki karakter patut disalahkan.

2.3.2. Filsafat Politik (Political Philosophy)

Filsafat politik Karl Raimund Popper sesungguhnya lahir sebagai reaksi terhadap situasi sosio-politik yang ada pada zamannya. Dogmatisme Marxisme dan Positivisme menginspirasikannya untuk mencoba meracik sebuah mekanisme pemikiran baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan sosio-politik. Bagi Popper, dogmatisme adalah musuh dari usaha pencaharian terhadap kebenaran. Oleh karena itu, sistem politik yang bernuansa dogmatis sebagaimana yang menampakan diri dalam struktur yang totalitarian dan otoritarian mesti ditolak. Sebab jika tidak maka suatu tatanan sosio-politik yang aman, damai dan harmonis tidak tercapai.
Dalam hukunya The Open Society and Its Enemies dan The Poverty of Historicism, Popper menjelaskan secara panjang lebar konsepnya tentang filsafat politik. Sesunggguhnya, konsep politik Popper tetap bertumpuh pada filsafat falsifikasi sebagaimana ada dalam penjelasannya tentang ilmu pengetahuan. Dengan menjadikan filsafat falsifikasi pengetahuannya sebagai basis analisa dalam filsafat politik, Popper sebenarnya mau menunjukkan bahwa epistemologi mempunyai pengaruh yang signifikan dalam kehidupan sosio-politik.

Dalam uraian itu, Popper mengeritik tatanan dan birokrasi politik yang timpang. Menurut Popper, ketimpangan itu terjadi karena ada struktur pemerintahan yang totalitarianistis dan autoritarianistis yang cenderung bertindak sewenang-wenang baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam menjalankan roda kepemerintahan. Dalam sistem pemerintahan yang demikian, pemerintah cenderung bertindak irasional. Oleh karena itu, mereka cenderung menolak kritik publik dan otokritik yang rasional, yang amat urgen dalam sebuah pemerintahan dan proses politiknya.

Menurut Popper, irasionalitas politik adalah musuh terbesar dari rasionalitas politik, dan politik yang rasional sangat ditentukan oleh pemimpin yang rasional. Relasi antara pemimpin yang rasional dan politik yang rasional adalah relasi yang inheren dan tak terpisahkan. Namun, untuk memperoleh pemimpin yang rasional serentak pemimpin ideal bukanlah hal mudah, sebab manusia umumnya tidak suka dikritik dan lebih senang dipuja dan dipuji. Pemimpin yang rasional adalah pemimpin yang senantiasa membuka diri baik terhadap otokritik, maupun kritik publik yang konstruktif. Sebab, bagi Popper, setiap keputusan dan kebijakan yang lahir dari idealisme seorang pemimpimpin, termasuk pemimpin ideal, selalu menampakkan diri dalam wujud hipotesis yang selalu terbuka untuk dikritisi, dimodifikasi dan diperbaiki.

Secara garis besar pembicaraan Popper tentang filsafat politik dapat dibagikan kedalam beberapa bagian, yakni masyarakat terbuka, masyarakat tertutup dan historisisme. Dalam pembicaraannya tentang ketiga bagian ini, Popper mengaplikasikan filsafat falsifikasinya secara kontekstual susuai dengan setting sosial yang ada.

2.3.2.1. Masyarakat Terbuka

Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya bahwa penjelasan dan uraian Popper tentang filsafat politik selalu berbasiskan pada filsafat falsifikasinya. Oleh karena itu, dalam penjelasan Popper tentang masyarakat terbuka, ia mengaplikasikan filsafat falsifikasinya secara aktual, analitis, dan kritis.
Dalam filsafat falsifikasi unsur yang amat penting dan paling menentukan adalah unsur kritik. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kritik adalah jiwa dari filsafat falsifikasi. Atas dasar itu, maka Popper yang mengaplikasikan filsafat falsifikasinya itu ke dalam penjelasannya tentang masyarakat terbuka yang amat menekankan unsur kritik. Bagi Popper kritik adalah roh yang menggerakkan masyarakat untuk mendekati kebenaran.

Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang senantiasa dijiwai oleh rasionalitas. Karena masyarakat terbuka senantiasa dijiwai oleh rasionalitas maka ia senantiasa membuka diri terhadap perubahan dan kemungkinan yang dimungkinkan oleh kritik yang rasional. Bagi masyarakat terbuka, dogmatisme adalah musuh yang mesti dilawan karena ia amat dekat dengan kediktatoran dan kesewenang-wenangan yang selalu menutup diri terhadap kritik.

Kediktatoran sesungguhnya disebabkan oleh ketiadaan kritik yang diakibatkan oleh hilangnya fungsi rasionalitas dan mendominasinya karakter irasionalitas dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari kediktatoran maka fungsi rasionalitas yang ditunjukkan lewat kebebasan berekspresi dalam menyuarakan kritik konstruktif mesti diapresiasi semestinya.

Dalam pembicaraanya tentang kediktatoran, Popper mengeritik konsep Plato tentang masyarakat. Menurut Plato, dalam bukunya Republic, masyarakat secara natural terbagi dalam kelas-kelas tertentu. Dan kebahagiaan akan tercapai bila masyarakat dapat melaksanakan tugasnya secara baik sesuai dengan kelas yang ditempatinya. Pemerintah, petani dan prajurit akan berbahagia bila mereka melaksanakan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya tanpa memperhatikan urusan kelas lain.

Namun, konsep Plato ini, menurut Popper, bersifat totalistik karena menjalankan tugas berdasarkan kelas yang ada tanpa mengkritisi apa yang dilakukan oleh kelas lain akan memungkinkan lahirnya suasana totaliter. Pemerintah yang bertindak tanpa awasan rakyatnya akan bertindak sewenang-wenang. Dan hal ini menurut Popper harus dihindari.

Dalam hal lain, Plato juga berbicara soal pemimpin ideal, Filsuf-Raja. Pemimpin ideal, menurut Plato, adalah pemimpin yang sempurna, dan karena kesempurnaan ini maka kemungkinan kritik yang ditujukan kepadanya nihil. Masyarakat yang menganggap bahwa pemimpinnya adalah sumber kebenaran dan kesempurnaan tidak akan mengkritisi pemimpinnya walaupun disadari bahwa ada ketidakberesan yang terjadi. Dan pemimpin seperti ini, Filsuf-Raja, adalah pemimpin yang cenderung bersifat totaliter.

Masyarakat terbuka adalah masyarakat ideal menurut Popper. Oleh karena itu keberadaannya dalam sebuah tatanan sosial adalah sebuah keniscayaan. Popper sendiri mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang paling tepat adalah "demokrasi". Masyarakat terbuka disebut Popper sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Namun masyarakat demokratis amat sulit ditemukan di negara mana pun di dunia ini, sekalipun negara bersangkutan mengklaim diri sebagai negara demokratis murni. Akan tetapi dengan mengatakan demikian tidak berarti masyarakat terbukat tidak bisa direalisasikan dalam kehidupan aktual manusia. Ia bisa direalisasikan tetapi butuh proses, perjuangan dan konsistensi yang teguh.

Menurut Popper, agar dalam negara demokratis, ideal masyarakat terbuka bisa terwujud maka perlu didirikan suatu badan independen yang Popper sebut free institutions. Melalui institusi bebas ini, cita-cita masyarakat dapat secara rasional dipenuhi karena kebebasan mengeluarkan kritik terjamin olehnya. Masyarakat akan secara terorganisir memberikan masukan dan kritikan konstruktif yang berguna bagi perkembangan dan kemajuan sosial.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam masyarakat demokratis atau masyarakat terbuka, setiap kebijakan dan keputusan pemerintah selalu bersifat hipotetis. Karena bersifat hipotetis maka ia selalu terbuka bagi kritik dan perbaikan secara sosial oleh seluruh masyarakat. Jika memang semua kritik dan keluhan masyakrat dapat diakomodasi secara rasional dan bertanggungg jawab oleh pemerintah maka di sana masyarakat terbuka sudah terwujud. Dan keterwujudan masyarakat terbuka adalah cita-cita universal dari setiap orang yang sadar akan keberadaanya sebagai manusia.

2.3.2.2. Masyarakat Tertutup

Popper sering menyebut masyarakat tertutup sebagai musuh dari masyarakat terbuka. Kalau dalam masyararakat terbuka karakter sosial yang menonjol adalah karakter rasional, maka dalam masyarakat tertutup karakter irasionallah yang mendominasi kehidupan sosial. Karakter irasional inilah yang menyebabkan penguasa dan pemerintah bertindak sewenang-wenang, otortiter dan tidak bertanggung jawab. Hal ini dimungkinkan selain oleh tumpulnya otokritik para penguasa, juga disebabkan oleh lunturnya daya kritis masyarakat akibat kebodohan, keacuhan dan intimidasi dari penguasa.

Dalam penjelasannya, Popper membedakan dua jenis masyarakat tertutup. Pertama, masyarakat prakritikal atau konservatif yang tidak suka akan perubahan, dan diwakili oleh Plato. Masyarkat tertutup yang demikian cenderung bersifat irasional dan masih percaya pada kekuatan magis. Karena kekuatan irasional yang lebih berkuasa maka dalam masyarakat ini sulit terjadi perubahan-perubahan kostruktif. Masyarakat ini cenderung puas dengan apa yang ada, tanpa mempertanyakan semuanya itu secara kritis-rasional.

Kedua, masyarakat tertutup yang bercita-cita menciptakan masyarakat sempurna di masa mendatang dengan cara menghapus kenyataan masyarakat riil sekarang dan membangun kembali yang baru sama sekali, misalnya Utopianisme dan Marxisme. Menurut Popper hal itu tidak mungkin. Kita tidak mungkin membangun masyarakat dari titik nol.

Masyarakat tertutup modern menampakkan diri dalam bentuk kapitalisme dan komunisme. Komunisme yang mengadopsi semangat Marx cenderung untuk berpikir dogmatis, dan pemikiran yang bersifat dogmatis adalah salah satu ciri masyarakat tertutup. Pemikiran yang dogmatis selalu menutup kemungkinan bagi kritik. Kaum Marxisme dan Neo-Marxism cenderung berpikir seperti ini sehingga mereka beranggapan bahwa apa yang mereka pikirkan dan laksanakan selalu benar, dan oleh karena itu, tidak perlu dikoreksi, dikritik dan diperbaiki.

Selanjutnya, pemahaman kritis Popper tentang masyarakat tertutup terungkap dalam kemampuan menunjukkan perbedaan dan ciri khas kesamaan antara Utopianisme dan Marxisme. Perbedaan keduanya terletak pada cara, bagaimana mewujudkan suatu masyarakat ideal. Utopianisme adalah aliran yang mengimpikan suatu masyarakat ideal dengan berdasar hanya pada prinsip-prinsip akal budi. Karena itu kaum utopis yakin bahwa terwujudnya masyarakat ideal bergantung dari kuasa manusia itu sendiri.

Sementara itu, Marx percara bahwa manusia tidak dapat mengemudikan sejarah, sebab dia berada di bawah kuasa hukum-hukum ilmiah (ekonomi). Kerap kali Marxisme dipandang identik dengan Utopianisme, seperti terjadi pada komunisme. Popper menyebutnya “vulgar marxist”. Komunisme itu utopian sendangkan maxist tidak.
Kesamaan antara keduanya adalah bahwa keduanya mencita-citakan masyarakat sempurna di masa depan dengan menolak masyarakat riil. Dan keduanya percaya bahwa masyarakat akan berhenti berkembang jika sudah mencapai titik kesempurnaan. Dan dalam sejarah keduanya mengarah kepada totalitarianisme.

Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat tertutup itu identik dengan totalitarian. Marxisme dan Utopianisme dilihat sebagai masyarakat tertutup karena keduanya ingin menciptakan masyarakat sempurna dengan cara menghapus masyarakat riil. Penghapuasan terhadap masyarakat riil berarti di sana ada suatu tindakan yang cenderung diktatorial. Pemerintah yang diktatorial umumnya percaya bahwa apa yang mereka pikirkan itu benar, dan memaksakan apa yang mereka pikirkan kepada masyarakat. Masyarakat mesti menuruti itu tanpa harus mempertanyakan secara kritis-rasional. Dan menurut Popper, hal seperti inilah yang mesti ditolak. Masyarakat tertutup harus disangkal keberadaannya karena ia tidak membela kemanusiaan manusia. Ia mesti diganti dengan masyarakat terbuka. Masyarakat terbuka adalah masyarakat ideal yang mesti dihargai dan dihormati dengan cara menghidupinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.3.2.3. Historisisme

Pada masa Popper sejarah sudah dijadikan sebagai ilmu yang dipelajari secara sistematis di universitas-universitas. Tujuan dari belajar sejarah adalah selain untuk mengetahui latar belakang suatu peristiwa tetapi juga untuk belajar keberhasilan atau kegagalan masa lalu untuk kepentingan masa kini. Tetapi yang menjadi persoalan bagi Popper adalah bahwa orang terlalu percaya bahwa dengan belajar sejarah orang bisa memprediksikan perkembangan masa depan. Orang yang berpaham seperti ini disebut kaum historisisme oleh Popper.
Dalam uraiannya, Popper menyebut beberapa jenis historisisme. Pertama, historisime naturalistik yang beranggapan bahwa hukum perkembangan sebagai hukum alam. Kedua, historisisme spiritual yang percaya pada perkembangan hukum spiritual. Ketiga, historisisme ekonomi yang sangat berkonsentrasi pada hukum perkembangan ekonomi. Keempat adalah historisisme theistik yang percaya bahwa perkembangan sejarah bergantung pada Tuhan.

Tapi menurut Popper, sebagaimana diuraikan dalam bukunya yang berjudul Has Theory Any Meaning, keempat historisisme itu percaya bahwa mereka dapat mengetahui masa depan secara pasti dengan mempelajari hukum-hukum sejarah. Namun, hukum-hukum sejarah itu sendiri itu tidak dapat diketahuai secara pasti. Oleh karena itu, validitas kebenarannya patut diragukan secara rasional-kritis. Menurutnya, dengan belajar sejarah masa lampau orang tidak serta merta mengetahui takdir masa depannya. Sebab, sejarah mempunyai hukumnya sendiri yang bersifat misteri dan tidak diketahuai oleh siapapun. Manusia hanya mampu memprediksi masa depannya secara kurang lebih benar, bukan benar sama sekali. Adalah mustahil mengetahui masa depan secara absolut benar. Tetapi meskipun demikian, kaum historisisme memiliki credo yang demikian.

Sikap skeptik Popper terhadap historisisme selain disebabkan oleh keperecayaannya akan hukum alam yang misterius, juga disebabakan oleh kesadaranya bahwa penulisan sejarah senantiasa berhubungan dengan kekuasaan. Karena berhubungan dengan kekuasaan maka penulisan sejarah sering dibuat untuk mendukung kekuasaan itu sendiri. Atau dengan kata lain, kekuasaan sangat menentukan sejarahwan menuliskan sebuah sejarah. Dengan ini maka Popper berkesimpulan bahwa kekuasaan adalah pusat dari sejarah.

Penulisan sejarah yang terkooptasi oleh kepentingan panguasa tidak bisa dijadikan sebagai referensi untuk memprediksi masa depan. Pemanipulasian dan rekayasa penulisan sejarah ini menginspirasikan Popper untuk meragukan gagasan brilian kaum historisisme. Popper menganjurkan agar para pembaca sejarah masa kini untuk senantiasa meragukan karya sejarah yang ada secara kritis-rasional agar dapat memperoleh kebenaran sejarah secara obyektif. Atau, pembacaan sejarah mesti dilihat dari perspektif orang-orang yang terpinggirkan, kalah dan tak berdaya sebagaimana dikonsepkan oleh Walter Benjamin. Meragukan sejarah para penguasa, para pemenang adalah sebuah kemestian bagi semua pembaca sejarah.

Berdasarkan uraian di atas, lantas kita bertanya: apakah sejarah memiliki makna? Menurut Popper sejarah in se tidak memiliki makna apa-apa karena kekuasaan memiliki pengaruh yang amat besar dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu, menurut Popper, kitalah yang memberikan makna kepada sejarah. Manusia yang membuat keputusan terhadap fakta sejarah. Dan makna sejarah itu amat bergantung pada penilaian dan putusan manusia. Atas dasar ini maka bila kita ingin memperoleh makna sejarah yang benar dan akurat, kita perlu membuat falsifikasi secara kritis-rasional terhadap tulisan dan fakta sejarah yang ada. Karena itu, aktus falsifikasi amat penting dalam pembaca tulisan sejarah pada umumnya.

BAB III
KEPEMIMPINAN


3.1. Pengertian Kepemimpinan

Sebelum saya menguraikan arti atau makna kata kepemimpinan, terlebih dahulu saya menjelaskan sedikit mengenai genesis dari kata kepemimpinan. Kata kepemimpinan amat dekat relasinya dengan orang yang memimpin, seperti raja. Namun kata kepemimpinan itu sendiri, berdasarkan penjelasan historis, pada awalnya, amat jarang ditemukan dalam setiap kelompok sosial.

Menurut penelitian historis, kata kepemimpinan itu awalnya muncul di kalangan negara-negara Anglo-Saxon, dan karena itu, refleksi yang mendalam tentang kepemimpinan umumnya dimulai dari negara-negara ini. The Oxford English Dictionary (1933) mencatat bahwa kata pemimpin dalam bahasa Inggris muncul pada tahun 1300, dan kata kepemimpinan belum mucul sebelum tahun 1800.
Jadi, kata kepemimpinan muncul belum terlalu lama. Itu berarti dapat ditarik sebuah inferensi bahwa kesadaran akan pentingnya seorang pemimpin dan proses kepemimpinan itu baru mucul beberapa abad yang lalu. Sejak awal hidup manusia, kesadaran akan pentingnya seorang pemimpin belum terlalu nampak. Namun, dalam proses perkembangannya, ketika manusia mulai menghadapi pelbagai persoalan kompleks dalam kehidupan sosial, kebutuhan akan hadirnya seorang pemimpin menjadi amat urgen. Pemimpin dijadikan semacam benteng yang dapat menghalau manusia dari pelbagai tantangan dan aneka problematika yang mengganggu ketentraman hidup individual dan sosial.

Namun, apa itu kepemimpinan. Pertanyaan “apa itu” adalah pertanyaan yang berusaha untuk menelisik apa esensi terdalam dari sesuatu yang ditanyakan. Jadi pertanyaan: apa itu kepemimpinan adalah pertanyaan yang menuntut jawaban yang berkaitan dengan apa esensi dari kepemimpinan. Atau aspek yang terdalam apa yang menyebabkan orang mengidentifikasi hal itu sebagai kepemimpinan.

Sesungguhnya ada pluralitas jawaban yang diberikan berkaitan dengan pertanyaan: apa itu kepemimpinan? Adanya pluralitas jawaban tentang kepemimpinan itu amat bergantung pada dimensi atau perspektif mana yang mau ditekankan.
Secara umum orang mengartikan kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi tingkah laku manusia dan kemampuan untuk membimbing sekelompok orang untuk mengarahkan diri pada maksud dan tujuan tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat menggerakkan beberapa orang pelaksana, seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan orang yang dipimpinnya.

Misalnya, seorang pemimpin harus memiliki kelebihan intelektual dan spiritual. Oleh karena itu, hampir dalam setiap kelompok sosial seorang pemimpin dipilih secara sosial oleh masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai kualifikasi yang dimilikinya. Jika tampuk kepemimpian itu diwarisi secara biologis maka calon pemimpin itu, biasanya anak raja yang sedang berkuasa, dibimbing secara intensif agar ia dapat memiliki kualitas-kualitas esensial yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.
Atas dasar uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kepemimpinan merupakan sesuatu yang amat fundamental dalam setiap tatanan sosial. Hampir semua masyarakat membutuhkan seorang pemimpin untuk menjadi penggerak, motivator dan pengatur pelbagai kepentingan dan kebutuhan yang bersifat esensial untuk masyarakat itu sendiri. Ia menjadi semacam ‘roh’ yang menggerakkan kehidupan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan seorang pemimpin dalam sebuah tatananan sosial yang mempunyai ideal akan kemajuan dalam pelbagai dimensi kehidupan adalah sebuah keniscayaan.

Namun, kadang-kadang, dalam kehidupan sosial, pemimpin menjadi biang onar. Ia menjadi beban, halangan dan sekaligus tantangan untuk masyarakat berkembang ke arah yang lebih baik. Dalam masyarakat feodal, misalnya, pemimpin menjadi halangan untuk masyarkat merealisasir dan mengaktualisir diri dan seluruh potensialitas yang dimilikinya. Hal ini disebabkan oleh sikap dan karakter pemimpin yang bersifat otoriter. Pemimpin otoriter adalah pemimpin yang segala keputusan ada di tangan pemimpin. Para bawahan dan masyarakat menjadi pelaksana dan pengabdi setia atas keputusan dan kebijakan penguasa walaupun hal itu bertentangan dengan nurani dan kemanusiaan manusia. Di sini ruang komunikasi sosial yang bebas, transparan dan saling membangun antara pemimpin dan masyarakat ditutup secara absolut.

Meskipun ada sejarah buram citra kepemimpinan dalam sejarah manusia, kepemimpinan dan pemimpin itu sendiri memiliki fungsi sosial yang amat fundamental. Citra kepemimpinan dan seluruh keberadaannya dalam setiap lingkup sosial bukan merupakan tanggung jawab tunggal pemimpin itu sendiri, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Masyarakat seharusnya menjadi api yang senantiasa menerangi kiprah pemimpin. Memang fungsi kontrol masyarakat seperti ini agak sulit dijalankan dalam suatu masyarakat yang bersifat otoriter. Namun, sebagai ideal dan demi kemanusiaan manusia, hal itu harus perlu dibuat walaupun badai kekuasaan selalu datang menghadang.

Adapun beberapa ahli yang memberikan arti dan batasan tentang kepemimpinan. Pembatasan dan arti yang diberikan itu amat bergantung pada dimensi dan nilai mana yang mau diangkat atau dijadikan fokus pembahasan. Pertama, George Terry mengaertikan kepemimpinan sebagai keseluruhan aktivitas untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai cita-cita bersama. Menurutnya, kepemimpinan, dalam hal ini memiliki arti yang kompleks karena kempemimpinan tidak hanya mencakup aktivitas seorang pemimpin. Ia mencakup baik aktivitas orang yang memimpin dan dipimpin yang terarah pada sasaran, tujuan dan maksud dari suatu kelompok tertentu yang terorganisir secara kurang lebih mantap. Namun, meskipun demikian, peranan seorang pemimpin dalam mengorganisir totalitas aktivitas tetap mendapat penekanan dan perhatian yang cukup serius.

Kedua, Ralph M. Stogdill mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses yang mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir dalam rangka untuk mencapai tujuan kelompok. Jika dilihat secara cermat batasan kepemimpinan yang diberikan oleh Sogdill tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Terry. Namun, Stogdill lebih menekankan arti dari suatu proses kepemimpinan. Baginya, jika orang, dalam hal ini seorang pemimpin, memaknai sebuah proses kepemimpinan secara baik maka cita-cita dan tujuan bersama akan dapat dicapai secara maksimal. Namun, bila ada penyelewengan dan pengabaian terhadap proses kepemimpinan maka bencana sosial akan menimpa masyarakat dan seluruh komponen yang ada di dalamnya. Lebih lanjut, menurut Stogdill, pemaknaan secara bijak terhadap proses kepemimpinan itu lebih penting jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai. Itu berarti konsentrasi seorang pemimpin harus lebih dicurahkan kepada proses kepemimpinan yang sedang dijalani ketimbang mengimpikan hasil yang ideal dan mengabaikan proses kepemimpinan itu. Sebab pengabaian terhadap dapat menjerumuskan pemimpin dan seluruh elemennya kepada seboyan tujuan menghalkan cara (the ends justify the means).

Ketiga, Drs. Ngalim Purwanto berpendapat bahwa kepemimpinan adalah tindakan atau perbuatan di antara perseorangan atau kelompok yang menyebabkan baik seseorang maupun kelompok maju ke arah tujuan tertentu. Dalam definisi ini termaktub secara implisit dua jenis kepemimpinan yakni kepemimpinan atas diri sendiri dan kepemimpinan atas sekelompok orang. Jadi, bagi Purwanto, ihwal kepemimpinan itu bukan barang mewah yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi ia dimiliki oleh semua orang. Semua orang memiliki kesempatan untuk memimpin diri sendiri agar bisa maju ke arah perkembangan yang lebih baik dan lebih manusiawi.

Sedangkan, kepemimpinan atas orang lain adalah sebuah kepercayaan yang diberikan oleh sekelompok orang kepada orang-orang tertentu yang dianggap mampu untuk mengorganisir seluruh kelompok guna mencapai cita-cita bersama. Namun, kepemimpinan atas orang lain mesti dilandasi oleh kepemimpina atas diri sendiri. Artinya, orang yang memiliki kepemimpinan atas diri sendiri yang mantap akan mampu manjadi pemimpin yang baik bagi orang lain. Sebaliknya, orang, yang tidak mampu memimpin diri sendiri, tidak mampu menjadi pemimpin bagi orang lain. Jika ia masih nekat memimpin orang lain maka hal itu akan membawa bahaya dan masalah bagi orang yang dipimpinnya.

Berdasarkan batasan yang diberikan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah hal yang hampir selalu ada dalam setap lkelompok sosial yang sudah terorganisir secara kurang lebih mantap. Kepemimpinan itu berfungsi untuk menjaga dan menata keseimbangan sosial. Dan kepemimpinan, yang mempunyai cita-cita esensial untuk menjaga keseimbangan sosial, ada tiga elemen yang saling berhubungan secara inhern yakni pemimpin, orang yang dipimpin dan tujuan yang hendak dicapai. Ketiga elemen itu disatukan dalam sebuah aktivitas yang disebut proses kepemimpinan. Dan keberhasilan dari proses kepemimpinan itu sangat bergantung pada relasi dialektis antara ketiga elemen itu.

3.2. Teori Kepemimpinan

Pada hakekatnya, kepemimpinan memiliki teorinya sendiri yang khas dan unik. Namun, teori kepemimpinan itu tidak bersifat tunggal. Ada pluralitas teori kepemimpinan. Namun, dalam tulisan ini, penulis hanya menampilkan beberapa teori kepemimpinan yang bisa bersifat representatif. Teori-teori kepemimpinan itu kurang lebih mau menjelaskan beberapa hal. Pertama, teori-teori itu beretujuan untuk menjelaskan dan menerangkan faktor-faktor apa saja yang terlibat dalam proses pemunculan sebuah realitas kepemimpinan dan faktor-faktor esensiil mana saja yang menyebabkan suatu realita kepemimpina tetap tegak berdiri.

Kedua, teori-teori itu berusaha untuk merumuskan dan menentukan sifat dasar dari kepemimpinan tertentu. Sifat-sifat dasar itu akan menentukan jenis kepemimpinan bersangkutan: kepemimpinan ini bersifat otoriter dan kepemimpina itu bersifat demokratis.
Ada beberapa teori yang kurang lebih bersifat repesentatif bagi yang lainnya:

3.2.1. Teori Orang-Orang Terkemuka

Teori ini mengungkapkan bahwa kepemimpinan dan pemimpin itu sendiri senantiasa lahir dari orang-orang terkemuka. Namun, kata “termuka” di sini mesti dimengerti secara spesifik. “Terkemuka” yang dimaksudkan bukan terutama kepada orang-rang yang memiliki kualitas-kualitas tertentu, seperti kepintaran dan kebijaksanaan, tetapi karena orang tersebut berasal dari latar belakang famili bangsawan. Oleh karena itu, dalam kontreks ini, tampuk kepemimpinnya tidak diperoleh melalui proses usaha dan perjuangan personal, tetapi diberikan melalui mekanisme pewarisan secara turun termurun.

Sistem dan mekanisme kepemimpinan yang demikian biasanya tearjadi dalam masyarakat feodal yang masih menganut sistem kelas. Dalam masyarakat seperti ini ada credo bahwa ada satu kelompok masyarakat yang memliki status yang lebih tinggi dari kelompok masyarakat yang lain. Kelompok yang berstatus lebih tinggi biasanya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan masyarat kelas bawah. Namun, meskipun mereka berjumlah minoritas, mereka memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar.

Dalam kaitan dengan kepemimpinan, pemimpin selalu berasal dari kelas atas yang berstatus lebih tinggi. Sedangkan, masyarakat kelas bawah hanya menerima proses penentuan dan pewarisan tampuk kepemimpinan itu secra take for granted. Realitas penerimaan yang demikian sangat dipengaruhi oleh credo mereka tadi bahwa ada golongan dan kelompok tertentu dalam masyarakat yang secara natural memiliki status dan kualitas yang lebih dari masyarakat lainnya.

Thomas Carlyle (1841), salah seorang pendukung teori ini, dalam esaynya yang berjudul “Tentang Para Pahlawan” mengatakan bahwa pemimpin sebagai seorang individu memiliki bakat dan kualitas bawaan yang diperolh dari keturunan yang khas. Oleh karena itu, menurut beliau, tampuk kempemimpinan dalam suatu masyarakat mesti diberikan pada satu kelompok keluarga atau keturunan tertentu yang memang memiliki kualitas-kualitas yang berkaitan dengan kepemimpinan itu sendiri.

Namun, apa yang dipercaya oleh masyarakat pra-modern, sebagaimana dilukiskan dalam teori ini, tidak berlaku lagi pada masyarakat modern. Masyarakat modern percaya bahwa kualitas individual manusia dalam kaitannya dengan actus memimpin tidak diwarisi secara genetis. Hal itu diperoleh melalui usaha dan perjuangan manusiawi yang serius dan kontinu sifatnya. Bagi masyarakat modern, mekanisme pewarisan tampuk kepemimpinan secara turun temurun tidak menjamin terpilihnya pemimpimpin yang berkualitas karena tidak ada proses seleksi yang jelas dan tegas dalam proses pemilihan tersebut.

3.2.2. Teori Lingkungan

Selain teori kepemimpian orang-orang terkemuka, ada juga teori lingkungan dalam kaitan dengan kepemimpinan. Lingkungan dalam pengertian in tidak berhubungan dengan arti bahwa lingkungan membentuk seorang secara aktif untuk menjadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab. Memang lingkungan mempunyai andil dalam hal pembentukan watak seorang pemimpinan. Namun, yang dimaksudkan dengan lingkungan oleh teori ini adalah bahwa situasi lingkungan tertentu memungkinkan seorang individu menjadi pemimpin jika indvidu tersebut memapu secara aktif menguasai atau mencari jalam keluar atas kemelut yang dihadapi oleh suatu lingkungan sosial tertentu.

Ralph Mumford (1909) menandaskan bahawa seorang pemimpin lahir dimungkinkan oleh kemampuan dan keterampilan memecahkan masalah sosial, mengadakan perubahan sosial dan membuat adaptasi sosial yang konstruktif sifatnya bagi kemajuan dan perkembangan suatu tatanan sosial tertentu. Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan ini maka kepemimpinan yang diperoleh seorang individu dilihat sebagai reward dan hadih atas jasa yang telah diseumbangakan bagi komunitas sosialnya.

Sebagai contoh historis, Robert Schneider (1937) mengatakan bahwa jumlah para pemimpin di Inggris pada masanya sebanding dengan banyaknya konflik yang muncul dan ada pada bangsa tersebut. Itu berarti bahwa orang akan dipilih menjadi pemimpin bila ia mampu mengatasi konflik tersebut dan membawa kedamaian dan ketentraman sosial bagi masyarakatnya.

Namun, dalam kenyataan faktual, apa yang dikatakan oleh teori ini tidak selalu benar, sebab seorang pemimpin tidak selalu lahir dari lingkungan sosial yang konfliktual yang telah diatasinya. Oleh karena itu, usaha untuk mengeneralisir apa yang terjadi di satu komunitas sosial, seperti di Inggris, pasti terjadi pula di komunitas lain adalah sesuatu yang naif dan keliru. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori lingkungan ini tidak bersifat universal. Ia bersifat parsial dan karena itu ia memiliki kebenaran parsial bergantung pada latar sosial terntentu.

3.2.3. Teori Personal Situasional

Menurut teori ini, adanua suatu kepemimpinan adalah sesuatu yang kompleks karena ia hadir dalam suatu komunitas sosial sebagai kombinasi dari beberapa elemen fundamental tertentu. Elemen-elemen itu adalah sebagai berikut. Pertama, Sifat-sifat afektif, intelektual dan tindakan in dividu. Kedua, kondisi sosial dalam suatu komunitas masyarakat. Kedua elemen ini amat menentukan lahirnya kepemimpinan dalam setiap masyarakat.

Dengan adanya kedua faktor di atas, kepemimpinan itu lahir dilihat sebagai perkawinan antara yang personal dan yang sosial. Senyawa antara keduanya akan melahirkan apa yang dinamakan kepemimpinan. Oleh karena itu, kepemimpinan tidak bisa eksis bila salah satu dari keduanya tidak ada. Pemimpin tanpa masyarakat bawahannya adalah nilhil, dan masyarakat tanpa pemimpin adalah omong kosong.

Lalu pada tataran pengangkatan dan pemilihan seorang pemimpin, seseorang meskipun ia memiliki kualitas yang memadai untuk menjadi seorang pemimpin, tetapi tidak dipilih oleh masyarakat secara sosial untuk menjadi pemimpin mereka maka ia tidak bisa menjadi pemimpin. Kepimpinan senantiasa dibangun atas dasar kerja sama yang saling membangun antara yang memimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan itu selalu berarti senyawa antara yang individual dan yang sosial sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat ditemukan adanya gap antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya, maka masyakat itu, menurut teori ini, tidak memiliki kepemimpinan dalam arti yang sebenarnya.

3.3. Gaya Kepemimpinan

Sudah ditekankan sebelumnya bahwa keberadaan seorang pemimpin dalam suatu komunitas sosial amat sentral. Ia dapat dilihat sebagai contoh, teladan, motivator dan penggerak sosial dalam masyarakat. Oleh karena fungsi sosialnya yang amat fundamental itu maka keberadaannya di tengah komunitas sosial adalah sebuah kemestian.

Memang adanya seorang kepemimpinan dalam setiap lingkungan sosial adalah sebuah keniscayaan, dan karena itu semua lingkungan sosial memiliki seorang pemimpin. Namun cara berada seorang pemimpin berbeda-beda di setiap komunitas sosial bergantung pada cara pandang masyarakat dan budaya masyarakat itu sendiri. Cara berada seorang pemimpin yang khas dan unik itu akhirnya mencirikan tipe atau gaya kepemimpinannya sendiri.

Dalam pentas sejarah peradaban manusia, ada aneka gaya kepemimpinan. Plurasitas gaya kepemimpianan itu disebabkan oleh kejamakan kultur dan komunitas sosial itu sendiri. Masing-masing kultur dan komunitas mengkonstruksikan gaya kepemimpinannya sendiri. Namun, sayangnya, gaya kepemimpinan yang dikonstruksikan secara sosial-kultural itu ada yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan manusia. Oleh karena itu, hal ini mesti diperhatikan dan dikritisi secara rasional. Perlu diingat dan diwaspadai bahwa nilai budaya dan konsensus masyarakat tidak selalu benar dan valid secara logis.

Adapun beberapa gaya kepemimpinan yang bersifat representatif yang akan diulas secara gamblang. Pertama, gaya kepemimpinan otokratis. Gaya kepemimpinan otokratis adalah gaya kepemimpinan yang senantiasa menggunakan metode kekusaan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Kekuasaan pemimpin sangat domina diterapkan. Oleh karena itu, pemimpin otokratis cendrung memiliki karakter negatif. Ia bersifat egois dan tidak mendengarkan orang lain dalam hal pengambilan keputusan dan kebijakan. Ia bisa berbuat apa saja atas nama kekuasaan.

Gaya kepemimpinan otokratis biasa disebut gaya kepemimpinan istana sentris. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan bahwa hampir di setiap istana kerajaan selalu menerapakan gaya kepemimpinan ini. Dalam jejak sejarah dunia dapat ditemukan realitas ini, termasuk di tanah air Indonesia ketika masih bersifat kerajaan. Kepemimpinan yang bersifat istana sentris ini senantiasa berkiblat pada yang kuat. Oleh karena itu, eksistensi politik kepemimpinan secara absolut ada demi kepemimpinan politik itu sendiri. Efek destruktif dari hal ini adalah isi dan posisi opsional kebijakan sangat bergantung pada selera dan keinginan pemimpin dankroni-kroninya, dan bukan berdasarkan prinsip dan nilai-nilai kebenaran.

Mekanisme kepemimpinan seperti ini terlihat jelas bahwa nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan tidak mendapat respek yang cukup memadai. Pemimpin melihat dirinya sendiri yang paling penting dan paling berharga, sedangkan yang lain dilihat sebagai obyek kekuasaan yang bisa eksploitasi dan dimanipulasi sesuka hati. Ruang publik di mana masyarakat bisa mengemukakan pendapatnya secara inovatif dan kreatif ditutup secara absolut oleh pemimpin, sedangkan ruang indiviual pemimpin dibuka lebar-lebar. Oleh karena itu, tidak heran jika gaya kepemimpinan seperti ini akan menciptakan individualisme baru yang melayani segelitir plutokrat.

Karena dalam gaya kepemimpinan otokratis, nilai kebenaran dan kemanusiaan tidak mendapat tempat yang semestinya maka masyarakat akan mengalami ketidakadilan. Situasi ketidakadilan ini akhirnya menimbulkan penderitaan bagi masyarakat itu sendiri. Namun, meskipun masyarakat itu mengalami ketidakadilan, mereka tidak dapat menyuarakan secara kritis fenomena ketidakadilan yang menimpa mereka karena memang ruang publik di mana mereka memiliki akses untuk berekspresi telah ditutup secara absolut.

Namun, dalam masyarakat tertentu, ada orang yang masih berani menyuarakan kritik kepada pemimpin otoriter yang bertindak sewenang-wenang. Dalam Kitab Suci ditemukan tokoh-tokoh dalam sejarah peradaban, seperti Musa, yang berani menentang pemimpin otokratis demi nilai kebenaran dan kemanusiaan yang mereka perkuangkan walaupun nyawa mereka menjadi taruhan. Bagi mereka, kesejahteraan rakyat banyak adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Oleh karena itu, pemimpin yang mengklaim diri sebagai hukum tertinggi mesti dilawan karena mereka telah mencedecrai nilai kemanusiaan.

Dalam kaitaannya dengan pandangan masyarakat demokratis, gaya kepemimpinan otokratis dilihat sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokratis. Dalam masyarakat demokratis salus populi supreme, bukan pemimpin adalah hukum tertinggi. Pemimpin selalu berarti pemimpin dari rakyat, dan oleh karena itu ia memimpin atas nama raklyat. Memimpin atas nama rakyat berarti ia tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Segala keputusan dan kebijakan senantiasa diambil berdasarkan konsesus bersama yang demokratis. Namun, dalam sejarah peradaban manusia, sulit ditemukan negara yang sungguh demokratis, walaupun masyakarat di dalamnya mengklaim negranya sebagai negara demokratis. Selalu ada kemungkinan bahwa dalam negara demokrasi ditemukan gaya kepemimpinan otokratis.

Kedua, gaya kepemimpinan demokratis. Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya kepemimpimpinan yang ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Itu berarti bahwa pemimpin tidak selalu bertindak sewenang-wenang atas nama kekuasaan. Pemimpin, dalam masyarakat demokratis, memang memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu digunakan sesuai dengan arti yang sebenarnya.

Kekuasaan (power) pada umumnya dimengerti sebagai kemampuan untuk melakukan atau bertindak, mengontrol, membawahi dan mempengaruhi. Dan kekuasaan, dalam pengertian seperti itu, memiliki arti yang sangat positif karena melaluinya manusia dapat menunjukkan autentisitas kemanusiaannya. Namun, dalam praksis kehidupan sosial, kekuasaan sering disalahgunakan terutama oleh para pemimpin dan penguasa. Kecuali, dalam masyarakat demokratis, kekuasaan digunakan sebagaimana mestinya menurut hakekatnya.

Karena dalam kepemimpinan demokratis, kekusaan digunakan dan diterapkan dalam arti yang sebenarnya, maka gaya kepemimpina demokratis dilihat sebagai gaya kepemimpinan yang paling ideal di antara gaya kepemimpinan yang lain. Ia membiarkan rakyat yang mengendalikan kekuasaan, dan ketika rakyat mengendalikan maka, kuasa ilahi pada raja dan kuasa semena-mena penguasa diktator-represif dalam pentas sejarah peradaban manusia mulai difosilkan.

Pada tataran partisipasi rakyat, Prinsip demokrasi mencakup kontrol rakyat atas pengambilan keputusaan kolektif dan kesamaan hak-hak dalam menjalankan kendali demokrasi. Menurut R. M. S Gultom, dalam masyarakat demokrasi, rakyat selalu mendapat respek sebagai manusia. Hal itu disebabkan oleh keyakinan dasariah masyarakat demokratis bahwa semua orang itu penting dan keanggotaan adalah partisipasi. Itu berarti bahwa dalam masyarakat demokratis, semua orang memiliki hak dan matabat yang sama sebagai manusia. Memang nilai-nilai demokrasi itu sendiri senantiasa sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu maka, dalam gaya kepemimpinan demokratis, manusia sebagai manusia senantiasa dihormati sebagaimana adanya.

Menurut, Frans Magnis-Suseno, menghormati manusia sebagai manusia dalam masyarakt demokratis berarti: pertama, mengakui kedudukan yang sama. Setiap masyarakat adalah sama, karena itu, mereka mesti diperlakukan secara sama. Tidak ada diskriminasi sosial dan politis. Karena penekanan pada kesamaan kedudukan, maka aktualisi terhadap kedaulatan rakyat mesti mendapat perhatian yang serius. Pemerintah dan pemimpin senantiasa mengaktualisir peran masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan. Pemimpin tidak lebih berkuasa dan lebih berharga dari rakyat. Keduanya adalalah sama. Perbedaan keduanya ada hanya pada tataran fungsi. Pemimpin memiliki fungsi memerintah karena kekuasaan untuk memerintah dideligasikan oleh rakyat atasnya. Sementara itu, rakyat memiliki fungsi kontrol terhadap proses kepemimpinan itu sendiri.

Kedua, menciptakan keadilan sosial dan membongkar struktur ketidakadilan. Dalam masyarkat demokratis, hak asasi manusia sangat dihormati. Oleh karena itu, segala bentuk pengkhianatan terhadapnya mesti ditangani secara saksama. Ketidakadilan sosial mesti dihindari sedapat mungkin. Manusia tidak boleh diperlakukan sebagai obyek kekuaasaan tetapi sebagai subyek kekuasaan. Hanya dengan cara seperti ini, manusia dierlakukan sungguh sebagai manusia in se.

Berdasakan nilai-nilai yang dikandung oleh gaya kepemimpinan demokratis maka tidak heran jika dikatakan bahwa gaya kepemimpinan ini adalah gaya kepemimpinan yang ideal. Namun, meskipun gaya kepemimpinan ini adalah gaya kepemimpina yang ideal, kepemimpinan seperti ini sulit ditemukan dalam masyarakat dalam arti yang sesugguhnya sekalipun masyarakat bersangkutan mengklaim diri sebagai masyrakat yang paling demokratis. Sebab terkadang kita temukan banyak pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang juga terjadi di negara-negara demokratis seperti di Indonesia dan Amerika Serikat.

Ketiga, gaya kepemimpinan bebas. Gaya kepemimpinan bebas adalah gaya kepemimpinan yang kekuasaan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat bawahannya. Ia memiliki organisasi yang bersifat longgar dan pemimpinnya bersifat pasif. Kelihatnya, gaya pememimpinan ini masyarakat bawahannya menjadi ‘roh’ yang menghidupkan jiwa kepemimpinan itu sendiri, sedangkan pemimpinan tidak tidak memiliki peranan yang fundamental dan esensiil dalam hubungan dengan kepemimpinan itu sendiri.

Gaya kepemimpinan seperti ini jarang ditemukan dalam masyarakat. Akan tetapi, kalau memang ada, maka kepemimpinan seperti ini hanya cocok untuk masyarakat yang memiliki kualitas intelektual dan moral yang cukup memadai, tetapi dalam kelompok yang kecil. Lebih lanjut, gaya kepemimpian seperti ini lebih sering ditemukan dalam kelompok sosial yang tidak memiliki struktur oraganisasi yang jelas. Ya, organisasinya bersifat sangat longgar dan tidak bersifat formal.

Kalau dikomparasikan dengan gaya kepemimpinan demokratis maka letak perbedan keduanya dapat dilihat dengan cukup jelas. Pertama, dalam kepemimpinan demokratis memang masyarakat bawahan diberikan kekuasaan yang besar, namun meskipun demikian, pemimpinannya masih memiliki peran aktif yang sangat fundamental sifatnya. Hal ini justru berbeda dengan gaya kepemimpinan bebas karena ia menunjukkan pasivitas pemimpin. Peran pemimpin menjadi tidak fundamental.

Kedua, kepemimpinan demokratis amat berkaitan dengan kelompok sosial yang terorganisir secara jelas. Namun, dalam gaya kepemimpinan bebas, jarang ditemukan kelompok sosial yang terorganisir. Organisasinya amat bersifat longgar. Oleh karena itu, gaya kepemimpian jenis ini kurang cocok diterapkan untuk kelompok sosial yang cukup besar. Sebab sesungguhnya ihwal organisatoris sangat penting dalam kaitan dengan mengatur tatanan sosial yang memiliki massa yang besar dan pluralistik.

BAB IV
SUMBANGAN KONSTRUKTIF
FILSAFAT RAIMUNDPOPPER BAGI TERWUJUDNYA
KEPEMIMPINAN YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA


4.1. Sekelumit Tentang Kepemimpinan di Indonesia

4.1.1. Kepemimpinan Pemerintahan Demokratis

Kepemimpinan dan pemimpin, pada hakekatnya, bersifat universal. Dikatakan universal karena setiap kelompok sosial memerlukan dan membutuhkan keberadaan seorang pemimpin untuk mengatur dan memberi arah kepada praksis hidup sosial demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama. Cita-cita dan tujuan bersama akan sulit terealisir secara sosial bila ketiadaan roh, spirit dan semangat yang lahir dari seorang pemimpin. Oleh karena itu, tidak heran, jika orang mengatakan bahwa pemimpin adalah ‘motor’ yang menggerakkan kelompok sosial ke arah kebenaran dan kebaikan bersama (bonum commune).

Indonesia, sebagai negara kesatuan, yang terdiri dari suku bangsa dan bahasa yang amat pluralistis tentu amat memerlukan seorang pemimpin untuk menata suasana pluralistis itu menjadi suatu tatanan yang harmonis, sehingga setiap orang dapat merealisasikan potensialitasnya demi terwjudnya kesejahteraan personal dan sosial. Bagi masyarakat Indonesia, kepemimpinan dan pemimpin adalah elemen sosial yang amat fundamental dan penting nilainya.

Sebagai suatu kelompok sosial yang unik dan khas, Indonesia tentu memiliki sistem dan tata kepemimpinan sendiri. Jenis dan sistem kepemimpinannya disebut “Kepemimpinan Pemerintahan”. Kepemimpinan Pemerintahan yang menjadi ciri khas bangsa itu dijiwai oleh semangat demokratis. Disebut demokratis karena para pemimpin yang duduk pada tampuk pemerintahan adalah pemimpin yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyatlah yang mendelegasikan tugas kepemimpinan itu pada orang tertentu, yang juga berasal dari rakyat, untuk memimpin demi rakyat sendiri.

Pada titik ini, menjadi jelas bahwa dalam sebuah sistem kepemerintahan yang bersifat demokratis, rakyat selalu memiliki kekuasaan yang utama, dan karena itu, ia memberikan kekuasaan dan wewenangnya kepada para pemimpin untuk menjalankan sistem pemerintahan yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Mandat kepemimpinan itu biasanya diberikan oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Sebagai akibatnya, rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk mengontrol kiprah pemerintah dengan memberikan masukan dan kritik konstruktif. Pemerintah, dalam hal ini, adalah eksekutif sebagai pelaksana haluan kekuasaan, yudikatif sebagai pelaksana peradilan yang ’taat asas’ untuk menyelesaikan segala konflik kepentingan hukum secara jujur dan adil, serta legislatif sebagai pembuat hukum dan badan perwakilan rakyat yang bertugas meminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah.
Sebagai negara demokrasi, seluruh masyarakat indonesia menghendaki hadir dan tampilnya pemimpin dan kepemimpinan yang demokratis. Kepemimpinan demokratis, pada galibnya, menghendaki kebebasan warga dan kesamaan martabat antara pemimpin dan yang dipimpin.

Dalam kaitannya dengan kebebasan warga dalam negara demokratis, seperti Indonesia, elemen yang juga amat penting bagi terselenggaranya kepemimpinan yang demokratis adalah hukum. Hukum menjadi kekuatan untuk mengontrol sepak terjang pemimpin dan yang dipimpin. Itu berarti hubungan relasi dialektis keduanya tidak didasarkan atas kekuasaan, melainkan didasarkan atas hukum. Di hadapan hukum pemimpin dan yang dipimpin sama dan tunduk secara absolut atasnya.
Karena peran hukum itu amat substansial dalam sebuah negara demokratis, maka bila hukum bekerja secara tidak profesional, implementasi demokrasi menjadi pincang. Hal demikian sering terjadi di Indonesia. Akibatnya, demokrasi di Indonesia masih jauh dari substansinya. Selain itu, akibat lain dari lemahnya hukum adalah lahirnya aneka kekerasan, baik secara fisik maupun non-fisik. Kekerasan non-fisik dapat berupa pengambilan kebijakan umum yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan korupsi, sedangkan kekerasan fisik dapat berupa kekuatan militer yang menindas masyarakat. Kedua jenis kekerasan ini dapat kita temukan dalam sistem kepemerintahan di Indonesia, yang menyebabkan penderitaan rakyat banyak. .

4.1.2. Kekerasan Mencederai Kepemimpinan Demokratis di Indonesia

4.1.2.1. Kekerasan: Polarisasi Manusia Sebagai Objek dan Reaksi Terhadap Ketidakadilan

Kekerasan (violence) adalah suatu tindakan yang menyertakan kekuatan dan bersifat memaksa atau menekan dari pelaku kekerasan yang secara potensial menghancurkan atau merusak. Menurut Johan Galtung, sebagaimana yang dikutip oleh Nur Hayon, kekerasan terjadi karena manusia dipengaruhi sedemikian rupa oleh insting-insting irasional. Insting-insting irasional ini mendorong manusia untuk melakukan kekerasan yang pada hakekatnya selalu ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, ia menjadi semacam ‘dinamo’ yang memacu suatu merealisasikan suatu keinginan yang masih bersifat mungkin menjadi kenyataan,

Berdasarkan alur uraian di atas, maka dapat diterima suatu kesimpulan bahwa tindakan pengobyekan adalah awal dari kekerasan. Ketika subyek yang satu mengobyekkan subyek yang lain, maka di sana kekerasan muncul. Kekerasan yang timbul itu akhirnya mengerangkeng otonomitas subyek yang lain untuk merealisasikan diri sebagaimana adanya (self-realisation). Pada umumnya, kekerasan lahir dari actus mengobyekkan yang lain, yang dilakukan oleh para pemimpin, atau dari orang-orang yang memiliki akses atau kemampuan yang lebih dari orang lain.

Dalam kenyataan faktual, para pemimpin sering meredusir subyek yang lain sebagai obyek yang sama dengan benda, alat, tujuan dan sasaran. Dan akibat paling nyata dari tindakan pereduksian itu adalah ketidakadilan. Subyek yang merasa dan menyadari bahwa dirinya diobyekkan bangkit dan melawan penguasa yang melakukan ketidakadilan itu dengan tindak kekerasan. Umumnya kekerasan yang reaksioner ini berasal dari masyarakat kecil, kelompok minoritas dan kelompok marginal tertentu. Namun mekanisme perlawanan dengan kekerasan tidaklah efektif, sebab hal itu akan melahirkan kekerasan baru dengan dampak yang lebih fatalistik dan kompleks.

4.1.2.2. Penguasa dan Kekuasaan

Kekuasaan selalu berkaitan secara inheren dengan pemimpin atau kepemimpinan. Pemimpin memiliki kekuasaan tertentu atas harta kekayaan dan orang atau penduduk serta wilayah kekuasaannya. George Ostler, dalam bukunya Little Oxford Dictionary, mendefinisikan kekuasaan sebagai power atau kemampuan untuk melakukan atau bertindak, mengontrol, membawahi dan mempengaruhi. Selain itu, kekuasaan dapat dimengerti sebagai energi atau kekuatan.

Kekuasaan dibedakan atas kekuasaan diri sendiri dan kekuasaan atas diri orang lain. Kekuasaan atas diri sendiri adalah kekuasaan yang menjadikan manusia memiliki otonomi, dapat berada sebagai manusia. Dengan kekuasaan ini manusia dapat mengembangkan dirinya sebagai pribadi. Ia memiliki kekuatan untuk membangun hidupnya dan menentukan tujuan-tujuan bagi dirinya dan mengejar dengan cara-caranya sendiri. Jadi, secara singkat kekuasaan, pada dasarnya, bersifat positif karena ia mendekati manusia dengan kodratnya sendiri untuk menampilkan otentisitas kemanusiaannya. Namun karena kesombongan dan kedengkian manusia menyebabkan manusia menggunakan kekuasaannya secara tidak bertanggung jawab untuk menguasai dan menaklukkan orang lain.

Max Weber mencatat bahwa kekuasaan memungkinkan seseorang atau sekelompok orang merealisasikan segenap keinginannya. Peran kekuasaan sebagai pengaruh terjadinya kekerasan tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjangnya yaitu pengabdian. Para pemegang kekuasaan yang diktatorial dan otoriter lazim mengeksploitasi kepentingan orang lain dalam rangka memelihara estabilishment (kemapanan kekuasaan). Dan kenyataan yang demikian disebut “politik kekuasaan” oleh Y.B. Mangun Wijaya. Menurut beliau, politik kekuasaan adalah salah satu bentuk politik yang disamakan dengan permainan kotor, najis, penuh intrik, busuk dan jahat. Politik ini berujung pada kesejahteraan pribadi dan golongan tertentu dan kerap kali terimplementasi dalam cara-cara yang tidak halal.

3.1. Indonesia: Kekerasan Sebagai Ideologi Para Pemimpin

Sebelum kita membahas tentang kekerasan sebagai ideologi penguasa terlebih dahulu kita mesti memahami apa itu ideologi. Tentang ideologi ada aneka batasan yang bervariatif. A. Destutt de Tracy (1804), seorang filsuf Prancis dalam bukunya Elements de la Ideologie, mendefinisikan ideologi sebagai studi tentang tahapan perkembangan pikiran. Sementara itu, menurut The International Webster’s Comprehensive Dictionary of the English Language, ideologi diartikan sebagai the ideas or kind of thinking characteristic of an individual or group, specifically; the ideas and objectives on that influence a whole group or national culture, sharing especially their political and procedure.

Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa ideologi melekat secara inheren pada setiap manusia, baik secara individual maupun sosial. Ideologi itu dilihat sebagai ide-ide potensial yang ada dalam diri manusia atau sekelompok manusia yang membutuhkan pengaktualisasian secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sejarah pemikiran sosial, ideologi dibedakan atas dua macam. Pertama, ideologi status quo. Ideologi status quo adalah ideologi yang cenderung mempertahankan ketertiban sosial. Ideologi ini bersifat konservatif karena mempertahankan ketertiban yang ada. Kedua, ideologi status ad quem (ideologi utopis). Ideologi ini selalu mengarahkan diri pada kondisi yang ingin dicapai dengan membuat perubahan yang radikal atau revolusioner. Ideologi ini bersifat dinamis karena mengandung unsur ideal untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik.

Ideologi status quo umumnya ada dalam diri penguasa, sedangkan ideologi status ad quem ada dalam diri masyarakat. Kedua ideologi ini kalau diterapkan secara salah dan keliru akan bermuara pada ketidakadilan dan kekerasan. Pemimpin yang mendasarkan diri pada ideologi status quo akan melegitimasi segala tindakan, termasuk tindakan kekerasan, untuk mempertahankan ketertiban dan stabilitas sosial. Mereka akan merasionalisasikan kekuasaan mereka demi kepentingan individual dan koalisi-koalisinya. Kenyataan demikian disebut sebagai “patologi ideologi”. Dan dalam patologi ideologi ini, kekerasan sengaja dilegalkan oleh pemimpin demi tujuan dan idealnya.

Di Indonesia, kasus-kasus seperti kasus Trisakti, kasus Aceh, kasus Poso, kasus pembredelan media, korupsi, kebijakan impor beras yang tidak memihak pada para petani dan masih banyak yang tidak bisa diurutkan satu persatu adalah contoh implementasi kekerasan sebagai ideologi pemimpin. Pelaksanaan dari ideologi ini, pada umumnya, didukung oleh militer yang adalah alat negara. Intervensi militer yang terlampau lebih dalam birokrasi-suprastruktur akhirnya bermuara pada pengekalan stabilitas kekuasaan penguasa dalam rentang waktu yang lama. Dan stabilitas kekuasaan, dengan militer sebagai alat pelaksana ideologi kekerasan penguasa, kemudian diluaskan dalam wujud stabilitas nasional sekalipun bersifat semu-otokratif.

4.2. Militer dan Pers: Alat Pemimpin Untuk Mendukung dan Melaksanakan Ideologi Kekerasan di Indonesia

4.2.1. Militer Sebagai Penjamin Stabilitas Nasional Semu

Kita perlu mengakui bahwa keberadaan militer dalam negara membawa dampak positif bagi perkembangan dan kemajuan bangsa karena mereka berperan sebagai penjaga bangsa dan negara baik dari ancaman internal maupun eksternal. Kalau terjadi konflik politik, militer memainkan peranan penting untuk mencari solusi yang mungkin. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumbangan terbesar militer dalam menciptakan stabilitas dan mengatasi konflik.

Pada masa ORBA, bahkan hingga saat ini, militer dijuluki sebagai alat negara, atau lebih tepat dikatakan sebagai alat pemimpin. Pemimpin memanfaatkan militer sebagai penjamin dan penjaga kelangsungan status quonya. Oleh karena itu, segala bentuk ancaman yang mengganggu status quo pemimpin, seperti kritikan, akan ditindak secara tegas dan bahkan dengan tindakan kekerasan oleh militer. Buktinya adalah bahwa militer telah melanggengkan kestabilan ORBA selama 32 tahun.

Pada rezim ORBA, apa saja yang dilakukan militer selalu dilegitimasi oleh para pemimpin dengan dalil demi tugas suci pengamanan negara. Palaksanaan tugas itu terjelma dalam tindakan pembungkaman dan intimidasi terhadap pribadi atau kelompok dengan tuduhan yang bernada separatis atau subversif dan makar dll. Akibatnya adalah hilangnya budaya kritik. Oleh karena itu, dalam posisi yang demikian, militer memang menciptakan keamanan tetapi serentak menciptakan rasa takut kolektif dan masif. Rasa takut kolektif dan masif ini akhirnya juga menutup ruang kreativitas dan kritik yang amat penting bagi proses kepemimpinan itu sendiri.

Dalam atmosfer seperti ini stabilitas memang nasional terjamin dan sangat menentukan pembangunan tetap terpelihara. Tidak ada konflik-konflik politik yang dapat merugikan negara. Tidak ada kritik. Namun, stabilitas nasional dalam hal ini bukan sekedar keamanan fisik tetapi terutama rasa aman dan puas. Rasa aman dan puas yang adalah aspek psikologis stabilitas nasional, tidak bisa cuma diparameterkan secara luas saja, karena bisa jadi dari gejala-gejala luar orang bisa memberikan kesan aman dan puas, tetapi ternyata sebenarnya orang itu tidak puas atau rasa tidak puas ini ditekan karena takut akan intimidasi dan tekanan dari luar kalau sampai ia mengungkapkan rasa tidak puasnya itu. Dalam hal ini, kita dapat melihat pembungkaman terhadap kebebasan berpikir kreatif untuk mengkritisi kelemahan dan kepincangan pemimpin. Penguasa merasa diri “aman” karena tidak ada yang mengkritisi kesalahannya. Sebab mengkritisi kesalahan dan kepincangan penguasa sama halnya dengan bertindak subversif dan karena itu subyek yang bersangkutan harus ditindak secara tegas dan keras oleh alat negara yakni militer. Dalam hal ini, militer memang menciptakan keamanan stabilitas dalam negara, namun kestabilan itu hanya bersifat semu dan palsu.

Keberadaan militer sebagai alat penguasa untuk merealisasikkan kekerasan sebagai ideologi penguasa demi mempertahankan status quo, amat rentan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Franz Magnis-Suseno mengafirmasi tesis ini dengan menyodorkan beberapa fakta tindakan destruktif militer yang berbau pelanggaran hak asasi civil society sebagai manusia. Pertama, kebrutalan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam menangani unjuk rasa dari civil society atau mahasiswa terhadap penguasa dan perlakuan terhadap para tahanan, baik tersangka politik maupun tersangka kriminal. Kebrutalan yang mencuat ke permukaan terlihat dalam kasus seperti Malari 1994, Tanjung Priok, kasus Aceh, kasus Semanggi, kasus Santa Cruz Timor-Timor, kasus PDI 27 Juli, kasus Trisakti, kasus Karung Semanggi, kasus Marsinah dan Iwan serta berbagai kasus lain lagi yang menunjukkan pelanggaran HAM berat dan sistematis.

Kedua, tindakan kekerasan militer itu terjadi ketika adanya penetrasi militer yang begitu besar sehingga mengalahkan lembaga hukum. Hal ini terlihat jelas ketika orang ditangkap tanpa adanya surat penangkapan yang legitim. Banyak orang ditangkap tanpa adanya akses terhadap bantuan atau perlindungan hukum, sementara hakim karena diintimidasi, menolak mendengar saksi yang meringankan atau merekayasa sedemikian rupa sehingga orang tersebut benar-benar menjadi terdakwa.

Ketiga, keterlibatan militer terlihat juga dalam penggusuran, atau pengambilan tanah rakyat untuk proyek-proyek besar demi kepentingan orang-orang elit di negeri ini dengan ganti rugi yang tidak memadai.

Keempat, penetrasi ABRI telah meracuni hak-hak dasar demokrasi tertentu seperti hak untuk berkumpul, hak untuk mengekspresikan diri lewat kritik, hak untuk membentuk serikat dan organisasi, apalagi perkumpulan dan organisasi berbau politis untuk menggoyangkan posisi penguasa.

Keempat contoh representatif di atas telah memberi bukti bahwa kehadiran militer di Indonesia telah banyak berujung pada pelanggaran HAM. HAM yang dijunjung tinggi oleh seluruh manusia di seluruh dunia dimanipulasi dan dieksploitasi oleh militer yang adalah alat negara demi kepentingan para pemimpin dan kroni-kroninya.

4.2.2. Pers Dimanipulasi demi Penyalahgunaan Kekuasaan

Pada hakekatnya, pers mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan sosial politik. Pers dapat memberikan sosialisasi nilai-nilai konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat. Pers dapat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang memadai tentang politik. Namun, dalam memberikan sosialisasi pendidikan politik terkadang pers cenderung mendukung penguasa dan golongan tertentu. Pers selalu berada di bawah bayang-bayang penguasa. Oleh karena itu, ia akhirnya terkooptasi oleh kepentingan penguasa. Karena pers mudah terkooptasi oleh kepentingan penguasa, maka daya kritis dan kontrol pers terhadap proses politik yang dijalankan oleh pemerintah tidak berfungsi.

Di Indonesia, pers sering berada di bawah bayang-bayang penguasa. Pada masa Soekarno, pers dijadikan sebagai sarana revolusi. Hasilnya justru kebebasan pers dibelenggu dan dimanipulasi demi kepentingan penguasa. Soeharto yang diharapkan untuk mengangkat kembali kebebasan pers, justru membatasi kebebasan pers. Pada masa ORBA banyak surat kabar yang dibredel oleh pemerintah jika mereka mempunyai visi dan misi yang berseberangan dengan penguasa. Pada masa ini, banyak tindakan kejahatan dan kekerasan para pemimpin tidak diekspos secara obyektif oleh pers karena ada ancaman dari para pemimpin.

Namun, pada masa reformasi hingga kini, kebebasan pers semakin dihargai dan dihormati. UU Pers No. 40/1999 adalah undang-undang yang sangat menghormati kebebasan pers. Undang-undang ini mengamanatkan bahwa pers adalah suatu hak yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Dengan adanya undang-undang ini, izin penerbitan pers tidak dipersulit sebagaimana yang terjadi pada pemerintahan Soeharto. Pembredelan pers oleh pemerintah tidak lagi terjadi. Pers tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah, sehingga kebebasan dan kreativitas pers semakin sungguh dihargai. Terbentuknya Undang-undang ini berawal dari langkah dadakan Presiden Abdulrahman Wahid pada Oktober 1999 dengan menghapus keberadaan Depertemen Penerangan dalam jajaran Kabinet Persatuan Nasional. Dengan dihapusnya keberadaan Depertemen Penerangan maka kebebasan dan demokratisasi pers di Indonesia semakin dihargai.

Namun, meskipun Pers sudah menghirupi udara kebebasan pada era reformasi hingga saat ini, pada masa kejayaan Kabinet Bersatu yang dikomandai oleh Bambang Susilo Yudhoyono dan Yusuf Kala, kelemahan dan kecurangan pers yang ditandai dengan tumpulnya daya kontrol yang kritis-konstruktif masih menjadi sebuah keprihatinan besar. Pers cenderung tunduk pada para pemimpin, sehingga tidak berani mengungkapkan kebenaran secara obyektif bila ada pemanipulasiaan kekuasaan oleh para pemimpin. Memanfaatkan peluang ini, para pemimpin secara aman melakukan kejahatan yang mempunyai dampak sosial yang tak bisa dianggap enteng.

4.3. Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terwujudnya Kepemimpinan Demokratis di Indonesia

4.3.1. Prinsip Kepemimpinan Menurut Karl Raimund Popper

Konsep Popper tentang kepemimpinan lahir dari reaksinya terhadap konsep kepemimpinan Plato yang dianggapnya kurang memberikan sumbangan yang konstruktif bagi perkembangan dan kemajuan suatu tatanan sosial atau negara. Konsep Plato dilihatnya telah menciptakan ketidakadilan sosial karena hanya orang-orang tertentu, yang memiliki kualitas tertentu pula, yang memiliki akses untuk menjadi pemimpin.

Bagi Plato, yang layak menjadi pemimpin dalam sebuah negara adalah seorang Filsuf-Raja karena menurutnya Filsuf-Raja adalah orang yang memiliki kemampuan dan kualifikasi yang tidak dapat diragukan lagi karena ia telah dipersiapkan secara khusus selama bertahun-tahun, kurang lebih dua puluh tahun, dengan pengetahuan filsafat, moral dan spiritual yang memadai. Oleh karena kualifikasi ini maka Filsuf-Raja patut dan layak menjadi seorang pemimpin yang ideal.
Dari uraian ini dapat dilihat bahwa pertanyaan fundamental yang patut dilontarkan menurut Plato adalah: siapakah yang seharusnya memerintah sebuah negara? Yang jelas bahwa jawaban yang diberikan Plato adalah orang-orang pandai, atau Filsuf-Raja yang patut memerintah sebuah negara. Merekalah orang-orang yang memiliki kualifikasi esensial yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.

Namun, menurut Popper, pertanyaan tentang siapakah yang seharusnya memerintah sebuah negara tidak penting. Atau, pertanyaan itu tidak patut dilontarkan karena ia tidak memiliki nilai apa-apa. Menurutnya, formulasi pertanyaan yang demikian mesti diganti menjadi: bagaimana kita bisa mengorganisir institusi-institusi politik sehingga kerusakan yang ditimbulkan oleh penguasa yang buruk atau yang tidak kompeten bisa dihindarkan?
Popper amat menekankan konstruksi pertanyaan yang demikian dalam kaitannya dengan kepemimpininan.
Menurutnya, konsep kepemimpinan Plato terlalu idealistik. Dan kepemimpinan seperti itu, Filsuf-Raja, tidak dapat diaplikasikan dalam dunia konkret. Pemimpin sempurna, Filsuf-Raja, ala Plato tidak mungkin nampak dalam dunia manusia. Pemimpin Filsuf-Raja adalah pemimpin yang sempurna, dan karena kesempurnaan itu ia luput dari kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan sebagai seorang pemimpin. Singkatnya bahwa pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang tidak bisa dikoreksi dan dikritik karena mereka adalah sumber kebenaran dan kebaikan dalam kaitan dengan mekanisme kepemimpinan. Tapi, bagi Popper, hal itu tidak mungkin. Oleh karena itu, Popper katakan bahwa tak ada kekuasaan politik atau pemimpin politik yang tidak dapat dikoreksi, dan sepanjang manusia itu masih berwujud manusia tidak akan ada pemimpin politik yang absolut dan tidak terkontrol.

Popper pernah katakan bahwa kesalahan Plato yang paling utama dalam kaitannya dengan konsepnya tentang filsuf-raja adalah definisinya tentang siapa itu seorang filsuf. Filsufnya Plato adalah pemilik kebijaksanaan, bukan pencari kebijaksanaan. Bagi Popper filsuf adalah pencari kebijaksanaan. Popper katakan demikian:
Plato has, in fact, something very different in mind when he uses the the term “philosopher”. ...his philosopher is not the devoted seeker for wisdom, but its proud possessor. He is a learned man, a sage. What Plato demands, therefore, is the rule of learnedness- sophocracy, if I may so call it.

Popper berpikir bahwa konsep kepemimpinan Plato mesti ditolak karena ia bisa mengarah kepada kediktatoran. Pemimpin yang tidak dapat dikoreksi karena dianggap sebagai pemilik kebijaksanaan dan kebenaran akan cenderung bertindak sewenang-wenang. Mereka akan memaksakan kehendak dan keinginannya kepada masyarakat, dan masyarakat akan menerima begitu saja tanpa mengeritisinya secara rasional karena dalam diri masyarakat ada suatu kepercayaan psikologis bahwa pemimpin mereka adalah seorang yang sempurna sehingga tidak mungkin ia menghasilkan keputusan dan kebijakan yang keliru.

Bagi Popper setiap keputusan dan kebijakan seorang pemimpin selalu hadir dalam bentuk hipotesa. Oleh karena itu, ia selalu terbuka untuk dikoreksi, dikritik dan diperbaiki. Masyarakat mesti berani memanfaatkan kapasitas rasionalnya untuk mempertanyakan setiap kebijakan itu. Mempertanyakan di sini berarti memfalsifikasi setiap kebijakan yang ada agar dapat ditemukan suatu kebijakan yang kurang lebih sempurna, atau kebijakan yang mendekati kesempurnaan.

Namun, yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin bukan hanya suatu falsifikasi secara publik. Pemimpin itu sendiri harus berani untuk memfalsifikasi dirinya sendiri. Dalam hal ini, kritik publik dan otokritik mesti berjalan bersamaan. Kita tidak mungkin akan memperoleh pemimpin yang baik jika baik kritik publik maupun otokritik tidak ada dalam suatu proses kepemimpinan.

Dengan penjelasan ini, Popper ingin menegaskan bahwa pemimpin tidak selalu baik atau bijak. Ia bersikap skeptik terhadap keberadaan seorang pemimpin dalam kaitanya dengan kualitas baik dan bijak. Namun, meskipun demikian Popper tetap yakin bahwa pemimpin yang baik dan bertanggung jawab bisa ada dalam sebuah negara dengan syarat bahwa otokritik dan kritik publik mesti diapresiasi semestinya oleh seluruh masyarakat dan pemimpin itu sendiri.

Jadi, bagi Plato, pemimpin ideal adalah Filsuf-Raja yang memiliki kualifikasi esensial yang tidak dapat diragukan lagi. Karena kualifikasi ini, ia bebas dari kritik. Namun, konsep Popper secara jelas bertentangan dengan Plato. Bagi Popper, pemimpin ideal adalah pemimpin yang senantiasa membuka diri terhadap kritik karena ia menyadari diri sebagai seorang yang tidak sempurna. Ia sungguh menjadi pemimpin ideal jika ia senatiasa membuka diri terhadap kritik baik kritik publik maupun otokritik dan berusaha untuk terus memperbaiki diri berdasarkan kritik yang diterimanya secara konsisten.

4.3.2. Filsafat Falsifikasi: Adakah Relevansi Sosial-Politis?

Popper sendiri pernah tegaskan bahwa meskipun tidak satupun teori dalam ilmu mendorong seseorang pada satu tindakan praktis-pragmatis, namun ilmu pengetahuan secara tidak langsung dan secara tersirat dapat mendorong orang melakukan hal-hal tindakan praktis yang berguna bagi kepentingan dan kemanusiaan manusia. Dengan menandaskan hal ini, Popper secara tidak langsung mengafirmasi bahwa filsafat falsifikasinya memiliki relevansi praktis-pragmatis. Filsafat falsifikasinya tidak hanya berkutat dengan teori-teori epistemologis, tetapi dipenuhi juga oleh teori-teori sosial-politis.

Filsafat falsifikasi Popper kelihatannya sudah tidak asing lagi dalam lingkaran aliran filsafat kontemporer. Ciri khas dari filsafat ini adalah menentang kemapanan dengan menjadikan “kritik” sebagai instrumen untuk merealisasikan visi dan misinya. Namun, actus penentangan perhadap kemapanan tidak berintensi utama mendestruksi kesewenang-wenangan yang menindas, tetapi untuk mendekatkan diri pada kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, dalam usaha mendekati kebenaran dan keadilan yang terhalang oleh tembok kekuasaan yang represif, proses destruksi yang konstruktif menjadi sebuah keniscayaan.

Filsafat Falsifikasi Popper mengajarkan hal demikian: melawan kemapanan, kejahatan dan ketidakadilanan dengan metode non-vielence, yakni destruksi tanpa kekerasan. Metode non-violence ala Popper yang hampa kekerasan disebut metode falsifikasi yang senantiasa mengutamakan kritik yang konstruktif dalam mencermati realiatas apa pun termasuk realitas sosial.

Kritik atau falsifikasi adalah inti dari seluruh filsafat Popper. Dalam menghadapi persoalan, kritik mesti memainkan peran kritisnya, menyelesaikan persoalan secara rasional. Rasionalitas amat penting dalam membangun sikap kritis. Oleh karena itu, Popper sesungguhnya benci terhadap penyelesaian persoalan ala tradisional yang irasional. Dikatakan irasional karena di dalam proses pnyelesaian itu ada hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan manusia seperti aksi kekerasan. Kekerasan identik dengan yang irasional, dan yang irasional selalu menindas kemanusiaan manusia.

Dalam kaitannya dengn irasionalitas, dalam bukunya The Open Society and Its enemies, Popper katakan demikiaan:
Saya yakin penekanan pada emosi dan nafsu akhirnya mengarah pada apa yang hanya bisa saya gambarkan sebagai kejahatan. Satu alasan bagi opini ini adalah bahwa sikap ini, yang paling barter merupakan penyerahan diri pada kodrat manusia yang rasional dan cemoohan terhadap akal manusia, pasti mengarah pada kekerasan dan kekuatan brutal sebagai hakim terakhir dalam semua perselisihan.

Bagi Popper, penyelesaian persoalan dengan kekerasan adalah irasional. Hal-hal irasional dapat membawa manusia pada kemalangan. Agar irasionalitas tidak menyeret manusia pada kemalangan maka rasionalitas mesti diaktualisir semaksimal mungkin. Salah satu pengejahwantahan dari aktualisasi rasionalitas manusia adalah adanya kritik. Kritik menjauhkan manusia dari kemalangan dan mendekatkan manusia pada kebenaran.

Jika ide Popper tentang falsifikasi dan kritik dihubungkan dengan setting sosial masyarakat maka dapat ditemukan relevansi yang aktual. Pada tataran epistemologis, suatu ilmu senantiasa bersifat tentatif, dan karena sifatnya yang demikian maka dia senantiasa terbuka terhadap kritik agar ia bisa mendekati kebenaran epistemologis. Oleh karena itu, Popper katakan demikian:
Criticism is the main motive force of any intellectual development. Without criticism there would be rational motive for changing our theories, there would be no intellectual progress.


Pada tataran sosial kemasyarakatan, kritik juga amat penting. Pararel dengan kiprah kritik dalam ilmu pengetahuan, dalam masyarakat, kritik mempunyai fungsi mendekatkan masyarakat pada kebenaran. Keberadaan masyarakat mesti difalsifikasi setiap saat. Hal ini disebabkan oleh ciri masyarkat itu sendiri yang bersifat dinamis. Perkembangan masyarakat yang dinamis ini menyebabkan setiap kebenaran dalam masyarakat bersifat sementara bergantung pada waktu dan seting sosial tertentu.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan kepemimpinan, kritik memiliki peranan yang amat fundamental demi pencapaian citra kepemimpinan yang benar dan tegas. Otokritik dan kritik publik menjadi wahana penting untuk pembentukan moral dan intelektual pemimpin. Kritik menjadikan pemimpin sadar akan kelemahan dirinya dan serentak membuka diri terhadap pikiran dan pendapat orang lain. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan keputusan pemimpin senantiasan bersifat tentatif dan terbuka terhadap kritik dan masukan.

4.3.3. Sumbangan Filsafat falsifikasi Membentuk Pemimpin Demokratis di Indonesia

4.3.3.1. Kritik dalam Negara Demokratis

Dalam masyarakat demokratis, kritik adalah sebuah keniscayaan. Popper sendiri pernah mengakui hal ini. Ia katakan bahwa masyarakat terbuka adalah masyarakat demokratis yang sesungguhnya, sebab ia senantiasa terbuka terhadap kritik. Kritik dalam masyarakat demokratis ala Popper bukanlah sesuatu yang salah dan dianggap bagian dari tindakan subversif. Kritik menjadikan masyarkat semakin mapan secara lahiriah dan moral-spiritual dari waktu ke waktu.

Bagi Popper, masyarakat sempurna itu mustahil terealisir. Masyarakat senantiasa berada dalam proses penyempurnaan yang purna waktu. Oleh karena itu, dalam proses penyempurnaan itu, masyarakat harus senantiasa membuka diri terhadap masukan, perbaikan dan kritikan. Keterbukaan yang tanpa batas dan syarat akan menjadikan masyarakat itu sebagai masyarakat demokratis dalam arti yang sesungguhnya.
Kritik dalam setiap masyarakat umumnya dan dalam masyarakat demokratis khususnya memainkan peran sebagai mekanisme kontrol masyarakat terhadap pemerintah (pemimpin) agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan mesti ditempatkan sesuai dengan substansi dan esensinya. Pernyalahgunaan kekuasaan adalah pengkhianatan terhadap hakekat kekuasaan itu sendiri.

Setiap kebijakan pemerintah dan para pemimpin mesti diuji dan difalsifikasi secara publik. Hal ini bertolak dari pemahaman dan anggapan Popper bahwa setiap kebijakan, sama halnya dengan setiap teori pengetahuan, bersifat tentafif. Tidak pernah sebuah kebijakan bersifat final dan tidak dapat dikoreksi. Setiap kebijakan yang lahir dari kebijaksanaan pemimpin selalu ada kemungkinan untuk dikritik dan difalsifikasi. Namun, jika kemungkinan itu sengaja dihilangkan dan dieliminir maka di sana sudah terjadi kekerasan, ketidakadilan dan totalitarisme.

Ritme hidup masyarakat demokratis dilihat sebagai upaya pemecahan masalah secara terus menerus. Oleh karena itu, setiap kebijakan pemerintah atau pemimpin selalu bertujuan untuk memecahkan persoalan. Tapi walaupun dia memiliki tujuan yang demikian, dia tetap bersifat tentatif dan terbukan terhadap koreksi. Dan hasil dari pengoreksian terhadap kebijakan tentatif itu akan menghasilkan kebijakan lain yang juga masih bersifat tentatif dan terbuka terhadap kritik dan koreksi. Rantai proses falsifikasi terhadap kebijakan itu tidak pernah final dan berlangsung terus menerus.

Karena setiap kebijakan pemimpin adalah bersifat tentatif maka pemimpin pun tidak bersifaf sempurna yang tahu segala-galanya seperti Filsuf-Raja ciptaan seorang Plato. Bagi Popper, pemimpin sempurna atau pemimpin sopokrasi tidak ada. Jika memang masyarakat menyadari dan mengakui adanya pemimpin sopokrasi maka di sana sudah ada kediktatoran. Pemimpin sopokrasi tidak manusiawi karena ia tertutup terhadap kritik. Masyarakat yang menyadari bahwa pemimpinnya adalah seorang yang sempurna tidak akan berinisiatif memberikan kritik dan masukan. Ia sudah sempurna secara moral dan intelektual. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa dalam politik sopokrasi, kritik menjadi mandul dan mati.

Menurut Popper, setiap kebijakan dalam negara demokratis harus difalsifikasi secara publik guna mendapat kebijakan yang mendekati kebenaran dan berpihak pada rakyat. Senada dengan Popper, F. Budi Hardiman menandaskan bahwa suatu kebijakan akan benar-benar memihak kepada rakyat bila ia telah melewati dua filter utama yakni filter ruang publik dan filter sistem politik. Filter ruang publik terjadi bila suatu kebijakan akan diterima oleh masyarakat bila kebijakan itu telah lolos dari seleksi dan pengujian secara publik. Sedangkan filter sistem politik terjadi bila suatu opini atau kebijakan itu mesti sesuai dengan prosedur hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, bila salah satu dari filter ini tidak berjalan semestinya maka akan melahirkan problem sosial yang krusial.

4.3.3.2. Proses Falsfikasi: otokritik dan Kritik Publik Menciptakan Pemimpin Demokratis di Indonesia

Indonesia, sebagai negara demokratis, tentu mesti menunjukkan esensi demokrasi yang sebenarnya. Memang hal itu membutuhkan proses yang tidak pendek. Akan tetapi, berpijak pada pandangan Popper, demokrasi di Indnesia akan berjalan secara baik bila pemerintah dan para pemimpin senantiasa membuka diri dan bersikap rendah hati terhadap masukan dan kritik, baik kritik publik maupun otokritik. Menurut penulis, ada beberapa sarana yang bisa digunakan sebagai media untuk menyampaikan kritik kepada para pemimpin seperti forum publik, pers dan sastra.

Ketiga hal di atas jika menjalankan fungsinya secara maksimal maka, menurut penulis, kepemimpinan demokratis di Indonesia dapat tereallisir. Melaluinya, kontrol publik terhadap kiprah para pemimpin menjadi semakin jelas dan terarah. Namun, hal ini mengandaikan bahwa kebebasan berekspresi mendapat tempat istimewa dalam kehidupan berbangsa dan negara. Mujur, reformasi yang telah membongkar tembok kekuasaan otoriter-represif Soeharto memberikan peluang untuk masyarakat mengekspresikan diri menentang kekuasaan dan kesewenang-wenangan para pemimpin.

4.3.3.2.1. Forum Publik

Melalui forum publik ini, masyarakat bisa mengekspresikan diri memberikan kritik dan masukan yang konstruktif kepada para pemimpin. Memang hal ini cukup sulit diterapkan dalam masyarakat yang bersifat pasif dan tidak mempunyai kreativitas. Kreativitas masyarakat amat penting agar mereka dapat mengartikulasikan aspirasi dan suara mereka.

Bagi Popper, suara dan aspirasi masyarakat bawah (grassroots level) perlu didengar karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Meskipun Popper tidak terlalu mendukung ungkapan klasik vox populi vox dei, tetapi ia sadar bahwa dalam ungkapan itu ada unsur kebenarannya. Ia katakan bahwa masyarakat biasa juga memililiki kebijaksanaan tersendiri yang mesti dihargai dan dihormati.

I believe nevertheless there is a kernel of truth hidden in the vox populi myth. One might put it in this way: In spite of the limited information at their disposal, many simple men are often wiser than their government; and if not wiser, then inspired by better or more generous intensions.

Berdasarkan uraian di atas maka suara rakyat perlu dihargai untuk mengontrol kiprah pemimpin demi terciptanya kepemimpinan yang demokratis. Rakyat kecil memiliki kebijaksanaan yang mungkin tidak dimiliki oleh para pemimpin. Atas darar ini maka ruang publik dan forum publik perlu diperhatikan secara maksimal. Keseriusan kita mengaktualisir suara publik akan sangat menentukan kiprah dan karakter para pemimpin, yakni pemimpin yang demokratis.

4.3.3.2.2. Ekspresi Kebebasan Sastra

Kehadiran sebuah karya sastra senantiasa bernuansa historis. Ia lahir dari rahim sejarah melalui tangan kreatif-artistik para sastrawan dan selalu merepresentasi realitas riil-historis dalam wajahnya yang baru. Dengan itu maka dapat dikatakan bahwa sastra tidak lain merupakan hasil perkawinan antara imaginasi dengan realitas. Perkawinan antara imaginasi dengan realitas itu dibingkai dalam bahasa yang menawan dan kaya akan makna pengungkapannya. Dan bahasa yang menawan dan syarat makna pengungkapan itu dilahirkan secara baru melalui medium refleksi yang kreatif.

Sastra sebagi cermin dari realitas sosial mesti menampilkan diri apa adanya. Kemiskinan, kemelaratan dan ketidakadilan selalu menjadi tema sentral karya sastra. Sastra (sastrawan) mencoba bergelut dengan tema seperti ini agar ia dapat mendekati dirinya pada tujuan esensial-kodratinya yakni menampilkan realitas sosial apa adanya, menegakkan kebenaran dan membela kaum pinggiran dan tak berdaya.

Menurut Y.B Mangunwijaya, sastra adalah aktualitas pandangan hidup. Menurut Beliau, nilai utama yang diemban oleh karya sastra adalah pengangkatan perikemanusiaan, pemanusiaan yang semakin benar dan wajar, keadilan, emansipasi, pembudayaan, penghargaan terhadap pijar-pijar kebenaran, dan perlawanan terhadap yang dusta. Lebih jauh ia mengatakan bahwa hampir semua karya sastra memiliki nilai politis dalam arti hakikatnya yaitu berjuang demi kepentingan masyarakat umum menuju ke arah yang lebih baik. Ia menyebut para sastrawan sebagai nabi yang dengan landasan hati nurani selalu membela orang-orang tertindas yang ditendang kian kemari oleh penguasa dan selalu dikalahkan.

Namun, kehadiran karya sastra dengan tema, visi dan misi yang demikian senantiasa dilihat sebagai kritik sosial yang mengancam eksistensi para penguasa sebagai penentu kebijakan dan penanggung jawab atas semua realitas yang memprihatinkan itu. Karena keberadaan sastra yang demikian maka di banyak negara, termasuk di Indonesia, selalu ada badan sensor terhadap sastra.

Sejak zaman Plato telah dibentuk semacam badan sensor terhadap sastra yang memiliki peran kritis-profetis itu. Di beberapa negara komunis dan sosialis, keberadaan sastra senantiasa berada di bawah pengawasan penguasa. Hal ini dibuat dengan pertimbangan bahwa sastra memiliki hubungan erat dan penting dengan masyarakat. Oleh karena itu, jika sastra mengungkapkan suatu kritik sosial yang tajam dan menohok kepada para penguasa maka hal itu akan membangkitkan kesadaran dalam diri masyarakat, dan dengan kesadaran itu masyarakat dapat menyuarakan aspirasi dan protes yang mampu mematahkan kemapanan penguasa (pemerintah). Atas dasar misi yang mulia ini maka tidak heran jika Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, berkumandang demikian: “pada hakekatnya kesusastraan harus melibatkan diri secara aktif di dalam pergulatan dan persoalan masyarakat dan bangsa walaupun rintangan selalu datang menghadang”.

Di Indonesia ada banyak sastrawan yang terpaksa harus mendekam di penjara karena melancarkan kritik sosial yang tajam melalui karya sastranya. Misalnya, Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya dipenjara dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional-demokratis, yakni melancarkan kritik sosial melalui karya sastra buah kreativitasnya. Namun ketika dalam penjara mereka tidak tinggal diam. Nurani bening mereka sebagai sastrawan terus memberanikan mereka untuk menulis karya sastra yang bernuasa kritik sosial. Dari dalam penjara, Mochtar Lubis menghasilkan novel Senja di Jakarta, dan kronik politik yang sangat menarik dalam Catatan Subversif, seperti juga Pramoedya memanfaatkan waktu di penjara untuk menulis novel, dan menghasilkan empat novel besar dari tempat pembuangan di pulau Buru, yang dinobatkan menjadi calon pemenang hadial Nobel.

Namun, perlu diingat adalah bahwa sastra sebagai kritik sosial mesti menjalankan fungsinya secara baik dan bijaksana. Kritik sosial yang dibangun harus memiliki landasan rasional-kritis, dan memiliki data yang pas dan akurat. Dan hal inilah yang akan menjadi dasar pertanggungjawaban sebuah kritik sosial, dan pertanggungjawaban itu sangat menentukan bobot keilmiahan sebuah kritik sosial.

Sastra yang adalah kritik sosial merupakan buah dari respons personal para sastrawan terhadap pengaruh sosial melalui proses apropriasi. Mula-mula para sastrawan mesti mendengarkan dan melihat keadaan sosial dan kemudian baru diungkapkan apa yang dilihat dan didengar itu secara personal dalam sebuah karya sastra. Input karya sastra selalu bersifat sosial, sedangkan outputnya selalu bersifat personal. Jadi, jika para sastrawan yang tidak melakukan dialog yang dialektis dan kreatif dengan realitas sosialnya secara intens akan menghasilkan karya sastra yang tidak obyektif dan tidak representatif karena terhalang oleh defisit input. Dan karya sastra yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai media kritik sosial karena memang substansi kritik yang mau disampaikan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Jadi, sebagai kritik sosial, sastra amat diperlukan dalam sebuah masyarakat, terutama dalam masyarakat demokratis. Dalam masyakarakat demokratis adanya kritik dilihat sebagai sebuah keniscayaan. Namun, kritik sosial yang dibangun oleh karya sastra harus senantiasa berlandaskan pada realitas faktual-historis yang ada agar substansi kritik yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dalam hubungan dengan kepemimpinan, Indonesia, sebagai negara demokrasi, belum mampu untuk melahirkan pemimpin-pemimpin ideal yang sungguh mampu bertindak sesuai dengan esensi demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, maka sumbangan pikiran Popper menjadi amat penting. Kritik sebagai salah satu jalan menuju kepemimpinan yang demokratis mesti mendapat perhatian yang ekstra dari suluruh masyarakat. Dan dalam hal ini, menurut penulis, karya sastra dapat memainkan perannya yang signifikan.

Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa sastra memiliki hubungan yang amat dekat dan penting dengan masyarakat. Sekurang-kurangnya sastra sebagai sarana kritik sosial mampu menampilkan realitas faktual apa adanya seperti ketidakadilan dan kemiskinan yang mampu menyadarkan masyarakat akan kenyataan yang sedang dihadapi. Dengan kesadaran ini, masyarakat dapat menyuarakan aspirasi dan protes mereka terhadap pemimpin (pemerintah) yang meyebabkan situasi kemiskinan dan ketidakadilan itu terjadi.

Kritik sosial yang diemban oleh karya sastra tidak saja memiliki peran penyadaran terhadap masyarakat akan realitas faktual-destruktif yang sedang dihadapi, tetapi juga memiliki peran penyadaran terhadap penguasa, para pemimpin dan pemerintah akan kelemahan dan kekeliruan dirinya, dan dengan itu diharapkan agar mereka dapat melakukan falsifikasi dan otokritik terhadap diri mereka sendiri. Menurut Astrid S. Susanto, bila kritik sosial itu diarahkan kepada elit politik (pemimpin politik), maka yang selalu dipermasalahkan adalah pelaksanaan fungsi dan tugas yang tidak sesuai dengan ethos dan moralitas yang tinggi.

Jadi, menurut penulis, kritik sosial sastra dapat melahirkan otokritik bagi para pemimpin itu sendiri. Berkat kritik sosial sastra, pemimpin mencoba untuk kembali melihat apakah pelaksanaan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ethos dan moralitas serta etika kepemimpinan yang ada. Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian maka pemimpin bersangkutan mesti berani merubah dirinya sendiri ke arah yang lebih manusiawi. Atau dengan akta lain, ia mesti ‘memfalsifikasikan’ dirinya agar dapat mencapai hakekat dirinya sendiri. Dan hanya dengan cara seperti ini seorang pemimpin bisa menjadi pemimpin yang demokratis.

Pemimpin demokratis adalah pemimpin yang senantiasa membuka diri terhadap kritik, baik kritik sosial maupun otokritik. Karena itu, pemimpin demokratis senantiasa menyadari keterbatasannya sebagai makhluk rasional. Dan kesadaran atas keterbatasan diri ini mendorongnya untuk senantiasa membuka diri terhadap kritik agar ia dapat mendekati kesempurnaannya sebagai seorang pemimpin. Atau dengan kata lain, keterbukaan itu dapat mendekatkan pemimpin pada esensi kepemimpinannya sendiri. Dan, dalam hal ini, sastra dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti dengan melancarkan kritik sosial kepada para pemimpin dan kritik sosial itu pada akhirnya dapat melahirkan otokritik bagi mereka demi perbaikan dan kesempurnaan diri mereka sendiri dan lingkungan sosial yang merupakan bagian dari tanggung jawab mereka.

Namun otokritik itu hanya mungkin terjadi bila pemimpin itu sendiri memiliki keberanian untuk selalu membuka diri terhadap kritik sebagaimana pemimpin ideal menurut Popper. Ia mesti sadar bahwa sebagai seorang manusia ia tidak pernah mencapai kesempurnaan. Kebenaran dan kesempurnaan tidak pernah dicapai oleh manusia secara final. Manusia hanya mampu mendekati kesempurnaan dan kebenaran itu sendiri. Selain para pemimpin, para sastrawan juga mesti sadar akan hal ini agar ia mampu dan berani meyuarakan kritik yang konstruktif.

Tapi dalam kenyataanya di Indonesia, meskipun sastra telah berupaya untuk mengungkapkan kritik sosial namun seolah-olah kritik sosial itu tidak mempunyai efek yang berarti bagi masyarakat dan juga bagi pemimpin itu sendiri. Menurut Arif Budiman dan Gunawan Mohamad, hal disebabkan oleh sikap acuh penguasa (pemimpin) dan juga masyarakat terhadap kritik-kritik yang dilontarkan oleh para sastrawan. Keacuhan itu juga disebabkan oleh penampilan sastra yang tidak sensasionil dan lemahnya budaya kritik. Selain itu, sastra ibarat barang mewah yang hanya dikonsumsi oleh segelintir orang. Oleh karena itu, agar sastra dapat dinikmati oleh masyarakat luas termasuk para pemimpin di dalamnya maka yang perlu diperhatikan adalalah soal pemasyarakatan budaya cinta sastra dan juga pemupukan sikap terbuka terhadap kritik dalam masyarakat yang dimulai dari lingkungan sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga pada Perguruan Tinggi. Selain itu, perlu juga ditingkatkan kemampuan ekonomi setiap masyarakat Indonesia sebab dengan itu mereka dapat membeli buku-buku sastra. Sebab bukankah sang filsuf Thomas Aquinas dari abad ke-13 sudah memperingatkan: primum vivere, deinde philosophare (hidup dulu, baru berfilsafat). Ya, hidup dulu, baru bersastra.

Namun, meskipun kenyataannya demikian, satrawan mesti terus berjuang menunujukkan diri dan lingkungan sosialnya melalui karya sastra. The show must go on. Sebab pekerjaan para sastrawan senantiasa dilakukan di tengah-tengan dunia yang penuh dengan masalah, analog dengan pekerjaan seorang dokter yang harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan penyakit-penyakit. Jika para sastrawan terus melakukan tugas dan misinya mulia ini maka penulis yakin satu saat Indonesia akan memiliki pemimpin yang demokratis dan bangsa damai, adil dan sejahtera.

4.3.3.2.3. Peran Pers sebagai Pengontrol Kiprah Para Pemimpin

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pers diartikan sebagai surat kabar dan majalah yang berisi tentang berita. Berita yang diekspos adalah berita tentang realitas masyarakat yang terjadi setiap hari. Namun, dewasa ini fungsi pers tidak sebatas menginformasikan berita-berita aktual. Pers juga memiliki fungsi lain, seperti fungsi kontrol politis dan perannya sebagai media yang mensosialisasikan pelbagai aturan normatif, pengetahuan, agama, politik, budaya dan ekonomi.
Dalam kehidupan sosial-politis, seperti di Indonesia, Pers juga memililiki peranan yang sangat urgen sebagaimana yang dijelaskan tadi. Ia dapat dijadikan sebagai katalisator dalam memperlancar proses politik, memberikan sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat umum. Sosialisasi dan pendidikan politik ini penting karena dengan demikian masyarakat memperoleh pengetahuan yang memadai tentang politik, sehingga ia dapat bertindak sesuai dengan apa yang ia ketahui.

Selain itu, pers dapat berfungsi sebagai pengontrol terhadap tindakan penguasa. Ia dapat memberikan kritik yang konstruktif sebagai mana yang dimaksudkan oleh Popper. Namun, untuk menjalankan fungsi ini, pers perlu menjaga independesi dan obyektivitasnya agar ia tidak menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan penguasa semata. Ia harus senantiasa independen dari pengaruh penguasa. Selain itu, Ia perlu juga menghindari konflik kepentingan (conflict of interests) dengan tetap menjaga prinsip etika jurnalisme yang berlaku. Otonomitas pers ini sangat diperlukan agar daya kritis dan peran kontrol dapat berfungsi secara optimal.

Jika pers Indonesia bisa menghindari pelabagai problem yang dapat menghalanginya untuk menyuarakan kritik terhadap pemimpin sebagai fungsi kontrolnya maka kepemimpinan yang demokratis dapat terealisir di Indonesia. Hal ini memang cukup sulit, tetapi sebagai cita-cita dan ideal perlu kita perjuangkan demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Memiliki pemimpin yang demokratis adalah anugerah yang tak ternilai harganya.

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Kepemimpinan dan pemimpin bersifat universal karena hampir di setiap kelompok sosial kita temukan keberadaannya. Keduanya memiliki peranan yang amat penting bagi terwujudnya suatu masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Namun, bila ada kepincangan dan kebobrokan yang melanda keduanya maka akan membawa masalah sosial yang cukup serius bagi kehidupan masyarakat.

Sejak jaman dahulu kala, orang mempunyai kesadaran bahwa peran seorang pemimpin adalah amat penting. Hampir di setiap kelompok sosial, mulai dari level keluarga hingga level negara, keberadaan seorang pemimpin adalah sebuah keniscayaan. Namun, ada aneka sistem dan gaya kepemimpinan yang bisa kita temukan. Ada yang bergaya otoriter, demokrasi dan bebas. Semua gaya kepemimpinan itu dikonstruksikan sesuai dengan seting sosial dan tujuan yang hendak dicapai.

Pertanyaannya, kalau memang peran seorang pemimpin itu amat penting bagi kehidupan sosial, mengapa kita sering temukan banyak tindakan-tindakan destruktif para pemimpin yang justru membawa masalah dan celaka bagi masyarakat sosial? Di Indonesia, kenyataan seperti ini sering terjadi. Pemimpin tidak menjalankan fungsi kepemimpinannya sesuai dengan hakekatnya. Oleh karena itu, kita banyak temukan aneka ketimpangan sosial yang diderita oleh masyarakat Indonesia.

Untuk memperbaiki citra buram kepemimpinan di Indonesia, yang katanya bersifat demokratis, penulis mengangkat ide dan pemkiran Karl Raimund Popper. Bagi Popper, pemimpin yang demokratis adalah pemimpin yang senantiasa membuka diri terhadap kritik publik dan otokritik. Kritik menjadikan pemimpin semakin dekat dengan kodrat kemanusiaannya, sehingga ia dapat menjalankan fungsi kepemimpinannya secara maksimal.

Pararel dengan filasafat epistemologisnya bahwa setiap teori pengetahuan mesti difalsifikasi sedemikian rupa agar ia dapat mendekati kebenaran, maka dalam filsafat sosial-politisnya, seorang pemimpin mesti difalsifikasi sedemikian agar ia bisa menjadi pemimpin yang benar yang selalu bertindak sesuai dengan hakekat kemanusiaanya.

Pemimpin ala Popper adalah pemimpin yang rendah hati, yang selalu membuka diri terhadap otokritik dan kritik publik. Ia bukan pemilik kebenaran dan kebijaksanaan, melainkan pencari kebenaran dan kebijaksanaan yang sejati. Konsep pemimpin yang demikian justru berbeda dengan apa yang dikonsepkan oleh Plato, Filsuf-Raja. Filsuf-raja adalah pemilik kebenaran, bukan penacari kebenaran. Dan, bagi Popper, pemimpin ala Plato ini akan mengarah kepada totalitarisme karena pemimpin dianggap sebagai pemilik kebenaran sehingga ia tidak membutuhkan masukan dan juga kritik.

Berhadapan dengan kiprah pemimpin di Indonesia yang sering membangun relasi yang bernuansa kekerasan dengan rakyatnya, maka pemikiran Popper amatlah aktual. Kekerasan yang dimaksudkan di sini bukan saja kekerasan fisik , tetapi juga kekerasan non-fisik. Menghadapi pemimpin seperti ini, proses falsifikasi secara publik dengan melancarkan kritik secara konstruktif amatlah urgen. Sebab kritik-kritik itu dapat menjadi masukan berharga bagi pemimpin untuk membenah diri dan mulai melakukan otokritik.

Kritik-kritik masyarakat itu dapat disampaikan melalui furum publik, melalui karya sastra dan juga melalui media masa. Ketiganya dapat menjadi media bagi masyarakat Indonesia mengekspresikan diri, membangun masyarakat yang lebih baik dan manusiawi. Masyarakat yang lebih baik dan manusiawi adalah masyarakat yang selalu mencintai kebenaran dan kebijaksanaan, memperoleh kemudahan secara ekonomis dan bebas berekspresi secara bertanggung jawab tetang segala hal.

Namun meskipun filsafat falsifikasi Popper amat aktual dengan kondisi bangsa Indonesia, namun untuk merealisasikan secara aktual membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Sebab, tidak semua pemimpin Indonesia yang rendah hati dan siap menerima kritik. Kritik masih dilihat sebagai ancaman terhadap kemapanan. Atau kasarnya, kritik dilihat sebagai tindakan subversif yang mengganggu ketertiban publik.

Tentang sikap defensif terhadap kritik, Frans-Magnis Suseno katakan bahwa Indonesia sekarang sedang mengalami defisif budaya kritik. Sebab kritik masih dilihat sebagai bentuk perlawanan. Padahal, menurut Suseno, kritik amatlah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi dalam sebuah negara demokratis seperti Indonesia. Kritik dapat menjadi semacam kompas yang dapat mengarahkan kehidupan bangsa dan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Namun, apa pun tantangannya, menurut penulis, pemikiran Karl Popper dapat direalisasikan di Indonesia. Tapi semua itu butuh waktu, proses dan kerja yang maksimal. Bila filasafat falsifikasi Popper dihidupi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kaitannya dengan kiprah kepemimpinan, maka kehidupan bangsa Indonesia yang aman, damai dan sejahtera dapat terealisir.

5.2. Saran

Semua pemikiran Popper bukan tanpa cacat. Oleh karena itu, ia selalu terbuka terhadap kritik dan perbaikan. Kritik dan perbaikan amat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan kita terutama dalam kaitannya dengan filsafat falsifikasi itu sendiri.

Pararel dengan filsuf kesayangan penulis ini, tulisan saya juga senantiasa terbuka terhadap kritik dan masukan demi proses penyempurnaan. Hal ini bertolak dari kesadaran atas keterbatasaan sebagai manusia.

Bagi para pembaca karya tulis ini, penulis sarankan agar jadikan filsafat falsifikasi Popper sebagai lampu yang senantiasa menerangi lorong kihidupan kita. Intisari yang penting dari filsafat falsifikasi adalah keterbukaan hati dan keterbukaan terhadap kritik, baik kritik publik maupun otokritik.

Jika hidup kita senantiasa diwarnai oleh otokritik dan kritik publik, maka hidup kita akan semakin baik dan manusiawi. Kritik senantiasa membuat kita tersadar, terjaga dan berani untuk membenahi diri kita sendiri dan juga orang lain. Hidup tanpa kritik adalah hidup yang tanpa arah dan tujuan.

Dalam kehidupan sosial, kritik amat fundamental sifatnya karena masyarakat itu senantiasa bersifat dinamis dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena sifat dinamis ini maka kebenaran dan kebijakasanaan dalam masyarakat juga bersifat tentatif dan sementara bergantung pada latar sosial tertentu. Oleh karena itu, kritik, dalam hal ini, dapat membantu masyarakat untuk menemukan kebenaran yang paling tepat dan sesuai dengan kemanusiaan manusia.

Namun, kritik itu hanya mungkin hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang melihat kritik sebagai suatu kemestian demi perbaikan tatanan sosial itu sendiri. Proses penerimaan terhadap kritik butuh juga sikap terbuka dan rendah hati. Memang hal ini cukup sulit terealisir karena manusia pada umumnya memiliki sifat yang tertutup dan tidak rendah hati. Namun, untuk cita-cita perbaikan sosial, kita mesti berani mnghadapi aneka tantangan yang ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT