MEMBERANTAS BUDAYA KORUPSI MENCIPTAKAN HABITUS BARU
Pemberdayaan Peran Masyarakat
Melawan Birokrasi Koruptif di Indonesia
By: Emilianus Yakob Sese Tolo
I. Pendahuluan
Korupsi adalah suatu kenyataan sosial yang sudah merebak di hampir semua dimensi kehidupan sosial masyarakat. Pada masyarakat tertentu, korupsi sudah mulai membudaya karena telah menjadi suatu kebiasaan, bahkan seolah diwarisi secara sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, kehadirannya dalam masyarakat dilihat debagai kenyataan yang sulit untuk diatasi.
Di Indonesia, korupsi, oleh sebagian besar orang, dikatakan telah membudaya. Korupsi tidak saja terjadi pada kalangan-kalangan elit, tetapi ia sudah merambah sampai pada level masyarakat bawah (grassroots level). Ia juga tidak menjadi milik khas bagi masyarakat yang hidup pada era tertentu, tetapi juga ia menjadi milik generasi dulu dan sekarang.
Korupsi, seperti yang terjadi di Indonesia, sangat sulit untuk diatasi. Namun meskipun sulit bukan berarti tidak ada kemungkinan-kemungkinan tertentu yang dapat menjadi alat untuk mengatasi persoalan ini. Salah satu kemungkinan, menurut penulis, adalah dengan mengaktualisasikan peran masyarakat. Masyarakat perlu diberdayakan secara baik untuk melawan korupsi. Pemberdayaan itu tidak hanya dilakukan dengan menciptakan suatu gerakan sosial melawan korupsi melalui aksi-aksi demonstrasi, tetapi proses pemberdayaan itu harus dilakukan secara lebih radikal, yakni dengan menciptakan suatu suasana masyarakat yang bebas korupsi mulai dari dalam diri, hati dan pikiran masyarakat itu sendiri.
Proses penyadaran masyarakat akan apa arti dan akibat dari korupsi itu yang dimulai dari dalam hati masyarat itu sendiri akan membawa dampak yang lebih memuaskan bagi usaha mengatasi masalah korupsi. Masyarakat harus diberi bekal dan pengetahuan yang cukup tentang korupsi. Dengan itu, masyarakat akan mampu melihat diri dan lingkungannya, memberikan penilaian-penilaian kritis dan akhirnya dapat bertindak sesuai dengan penilaian-penilaian itu.
II. Sekilas Tentang Korupsi Dan Masyarakat
2.1. Terminologi Korupsi
Banyak pakar dan pencetus teori mencoba memberikan definisi teoritis terhadap terminologi korupsi. Dari sekian banyak konsep yang ada hingga saat ini tidak ada satu formulasi yang baku sebagai paradigma tetap untuk menjelaskan term korupsi ini. Berbagai pakar mulai dari kaum moralis, ahli hukum, politisi bahkan sosiolog mencoba memberikan definisi teoritis terhadap term korupsi dari aneka perspektif. Berikut beberapa konsep teoretis tentang arti korupsi dari berbagai kosep.
J.S. Badudu, dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dsb. Badudu secara tegas mengafirmasikan korupsi sebagai perbuatan buruk. Dr. Kartini Kartoko dalam bukunya Patologi Sosial mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna memperoleh keuntungan pribadi yang merugikan kepentingan umum dan negara. Dari definisi ini tampak gambaran tentang korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan diri sendiri yang merugikan kepentingan orang lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Delict korupsi adalah kejahatan atau kesalahan, atau perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai tindak dan sanksi hukum.
The New International Webster’s Comphrehensive Dictionary of the English Language memberi definisi korupsi sebagai perangsang (seorang pejabat pemerintahan) berdasarkan itikad buruk (seperti suapan) agar ia melakukan pelangggaran kewajibannya. Lalu suapan diberi definisi sebagai hadiah, penghargaan, pemberian, atau keistimewaan yang dianugerahkan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang yang mempunyai kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).
Sementara itu, As Hornby E. V. Gatenby dan H Wakefiel mendefinisikan korupsi (corruption) sebagai offering and accepting of bribes (penawaran atau pemberian dan penerimaan suap). Dikatakan juga corruption is decay, yang berarti kebusukan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kebusukan adalah akhlak atau moral orang yang melakukan perbuatan korupsi tersebut.
Jadi, berdasarkan definisi yang diberikan di atas, korupsi, sekalipun berkaitan dengan penyuapan atau penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar keuntungan pribadi, dan ini tidak hanya dalam bentuk uang. Korupsi dalam arti yang seluas-luasnya, mencakup penyalahgunaan waktu, jabatan atau kedudukan istimewa dan hal-hal lain dalam masyarakat untuk maksud-maksud pribadi.
2.2. Masyarakat dan Budaya Korupsi
Masyarakat adalah obyek studi dari sosiologi. Sebagai obyek studi sosiologi, ia didefinisikan secara bermacam-macam oleh para sosiolog. Definisi yang diberikan itu sangat bergantung pada dimensi mana yang mau ditekan oleh para sosiolog. Perbedaan definisi yang diberikan itu juga disebabkan oleh perbedaan cara pandang sosiolog yang khas terhadap masyarakat itu sendiri.
Talcott parson mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang swasembada (subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis, serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Peter L. Berger mendefinisikan masyarakat sebagai keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Ia juga mengartikan masyarakat sebagai sistem interaksi. John Macionis mengartikan masyarakat sebagai orang-orang yang berinteraksi satu sama lain dalam satu wilayah tertentu dan menghayati budaya yang sama.
Dari definisi dapat dilihat bahwa para sosiolog pada umumnya melihat masyarakat sebagai suatu kelompok sosial yang anggotanya saling berinteraksi. Dalam interaksi itu, individu-individu dalam masyarkat menciptakan apa yang dinamakan budaya. Budaya adalah hasil ciptaan individu dalam masyarakat guna meciptakan nilai-nilai yang berguna bagi hidup bersama dan nantinya akan diwariskan secara turun-temurun.
Budaya dan masyarakat mempunyai korelasi yang sangat erat. Keberadaan keduanya saling mengandaikan. Budaya tidak bisa eksis tanpa adanya masyarakat, dan sebaliknya tidak ada masyarakat yang eksis tanpa budaya. Kebudaya adalah penyerta setia sejarah mansusia. Ia adalah ciptaan kreasi akal budi manusia dan bersamaan dengan itu ia memanusiakan manusia dalam masyarakat.
Pertanyaannya, bagaimana dengan budaya korupsi? Apakah ia dapat membawa dampak kontruktif bagi perkembangan dan kebaikan masyarakat? Di Indonesia, korupsi dianggap sebagai budaya destruktif karena korupsi adalah sesuatu yang lumrah, dan ia eksis dalam masyarkat dan seolah diwarisi dari satu generasi ke generasi yang lain. Bila kita berbicara tentang kebudayaan korupsi dalam kacamata sosiologi budaya, maka ada tiga elemen penting yang menjadi perhatian utama dalam kajiannya. Tiga elemen penting adalah masyarakat, budaya dan korupsi. Sosiologi budaya telah menandaskan bahwa korupsi adalah fakta sosial kemasyarakatan yang dikategorikan sebagai suatu budaya. Dan segala sesuatu yang adalah fakta sosial kemasyarakatan -dan apalagi kalau fakta sosial kemasyarakatan itu diwariskan ke generasi berikutnya- dapat disebut sebagai budaya. Dalam perspektif ini, budaya korupsi berarti suatu bentuk kehidupan yang mengungkapkan suatu realitas sosial masyarakat itu. Bentuk kehidupan seperti itu diwariskan dari generasi ke generasi.
III. Sebab dan Akibat Korupsi di Indonesia
Budaya korupsi terjadi bukan tanpa sebab. Ada aneka sebab budaya korupsi. Selama sebab ini tetap eksis maka korupsi pun sulit untuk diberantas. Oleh karena itu usaha untuk memberantas korupsi mesti memperhatikan secara jeli dan kritis apa sebab-sebab korupsi, dan setelah itu baru digalakkan suatu gerakan pemberantasan yang mengacu pada sebab itu sendiri.
Selain sebab ada aspek inheren yang selalu melekat pada tindakan korupsi itu sendiri. Aspek inheren yang selalu berjalan bersamaan dengan sebab korupsi adalah akibat korupsi itu sendiri. Akibat korupsi mempunyai arti sebagai kenyataan yang terjadi apabila korupsi itu terjadi.
3.1. Sebab Korupsi di Indonesia
3.1.1. Hilangnya kesadaran Moral dan Etika
Disinyalir bahwa aneka ketimpangan dan kejahatan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah akibat dari adanya erosi kesadaran moral dan etika dalam diri sebagian besar masyarakat Indonesia. Erosi kesadaran moral dan etika memungkinkan orang untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif karena institusi batin yang memiliki peran memberikan pertimbangan-pertimbangan kritis untuk melakukan suatu perbuatan tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Korupsi di Indonesia, yang biasa dilakukan oleh para birokrat, adalah salah satu bentuk kejahatan yang terjadi akibat hilangnya kesadaran moral dan etika. Kebanyakan para birokrat kita sedang kehilangan kesadaran moral dan etika, karena itu, apa yang mereka lakukan selalu bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang berlaku. Sesungguhnya, korupsi itu terjadi bukan terutama dipengaruhi oleh rendahnya gaji para birokrat, lenturnya institusi hukum dan lain sebagainya, tetapi lebih dipengaruhi oleh lunturnya kesadaran moral dan etika dikalangan para birokrat. Oleh karena itu satu-satunya jalan untuk memberantas korupsi adalah mengihidupkan kembali kesadaran moral dan etika dalam setiap indvidu baik para birokrat itu sendiri maupun masyarakat Indonesia seluruhnya. Untuk hal ini, peran keluarga, institusi agama, institusi pendidikan dan masyarakat seluruhnya amat penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai moral dan etika itu.
3.1.2. Pendidikan
Sistem pendidikan yang hanya menekankan aspek akademik dan mengabaikan aspek moral akan berakibat buruk pada perkembangan mental dan kepribadian anak didik. Di Indonesia ada banyak sekolah yang terkadang hanya menekankan aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral-spiritual. Guru lebih menjalankan fungsinya sebagai pengajar ketimbang pengajar dan pendidik. Tujuan otentik lembaga pendidikan adalah mendidik dan mengajar. Bukannya dua tujuan itu mulia itu diredusir ke dalam satu tujuan saja, yakni mengajar.
Akibat dari sistem pendidikan yang demikian akan berakibat buruk bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian anak didik. Anak akan bertumbuh secara tidak proporsional. Ia tidak bisa berkembang sebagai pribadi yang matang dan dewasa, karena memang selama menempati bangku pendidikan ia lebih ditempa secara akademik.
Dalam kaitannya dengan korupsi, orang-orang yang sebelumnya hanya ditempa dan dipersiapkan secara akademik tanpa adanya persiapan moral-spiritual yang matang akan menjadi pribadi dengan kesadaran moral dan spiritual yang lemah. Dan orang-orang seperti ini akan sangat mudah untuk melakukan perbuatan-perbuatan destruktif, seperti korupsi.
3.1.3. Ekonomi (Kemiskinan)
Kemiskinan merupakan satu faktor penting penyebab terjadinya tindakan koruptif. Kenyataannya bahwa orang-orang yang mempunyai pendapatan rendah cenderung melakukan korupsi. Korupsi adalah satu-satunya cara mememenuhi segala kebutuhan. Keadaan serba kekuranganlah yang mendorongnya melakukan tindakan korupsi.
3.1.4. Feodalisme
Praktek korupsi sesungguhnya bukanlah hal baru. Ia sudah menyejarah. Ia sudah mulai sejak zaman dahulu kala. Pelaku tindakan ini biasanya adalah seorang raja dengan wewenang mutlak, tak tergoncangkan. Dengan kuasa itu, banyak aturan bisa diterapkan, malah hingga memungut hasil dari masyarakat atau rakyat jelata. Rakyat dibungkam, hanya ketaatan sebagai jalan terbaik.
Pada masa feodal, di Indonesia, ada tanah milik raja, praktek pemungutan pajak, pembayaran upeti dari rakyat. Bukan hanya itu, jabatan raja pun menjadi turun-temurun, yang biasa disebut birokrasi patrimonial. Dengan ini, penumpukan kekayaan pada sebuah dinasti semakin diperjelas. Sikap dan tindakan ini diwariskan kepada anak cucunya. Kini, sistem feodal tidak ada secara terang, namun posisi raja telah diganti oleh para penguasa dengan potensi itu. Sesungguhnya, praktek korupsi dilatarbelakangi oleh sistem feodal pada zaman kerajaan itu.
3.1.5. Ketidakpatian Hukum
Ketidakpastian hukum dapat memberi peluang terjadinya korupsi. Di Indonesia ada bayak koruptor yang mengalami impunity (tiadanya sanksi hukum) karena lembaga hukumnya lemah dalam menjalankan fungsinya. Hukum itu lemah dalam menjalankan fungsinya karena ia sendiri juga tidak bersih. Ia amat rentan akan suap. Alasan inilah yang membuat lembaga hukum sulit untuk menghukum koruptor yang bergelimang harta dan kekayaaan.
3.2. Akibat Korupsi
Ada beberapa akibat korupsi. Pertama, korupsi membawa dampak destruktif bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Korupsi dalam bentuk komisi akan mengurangi jumlah dana masyarakat umum. Kekurangan dana itu kemudian menghambat rencana selanjutnya. Laju pembangunan terhambat dan biasanya akibat ini lebih dirasakan oleh masyarakat kecil dan kaum marginal.
Kedua, korupsi menyebabkan kemiskinan dalam masyarakat. Akibat ini masih berkaitan dengan akibat pertama. Terhambatnya kemajuan dan perkembangan bangsa pasti akan sangat mempengaruhi kemajuan ekonomi masyarkat. Kwik Kian Gie dalam nada optimis mengatakan bahwa nasib bangsa Indonesia ke depan amat bergantung pada tingkat keseriusan dalam memerangi korupsi. Karena menurut beliau korupsi adalah akar dari semua masalah. Korupsi sesungguhnya akan melahirkan berbagai masalah lainnya. Korupsi mengakibatkan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan dan kandasnya pembangunan.
Ketiga, Korupsi bisa menjerumuskan negara ke dalam jurang malapetaka atau disintegrasi bangsa. Korupsi adalah benalu sosial yang dapat merusak seluruh sendi struktur pemerintahan dan memporak-porandakan tatanan hidup bersama. Akibat paling ringan dari korupsi adalah terganggunya proses administrasi negara, dan yang paling berat adalah bubarnya negara.
IV. Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi untuk Menciptakan
Habitus Baru
4.1. Landasan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi
Upaya pemberantasan korupsi yang menjadikan Indonesia semakin bangkrut tidak cukup hanya menunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu elemen yang tak kalah penting dalam upaya pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk pengawasan terhadap mekanisme kerja pemerintah untuk usaha pemberantasan itu.
Fungsi pengawasan akan bisa menjadi stimulus bagi pemberantasan korupsi untuk serius mengoptimalkan kinerjanya serta meminimalkan tingkat probabilitas berbagai bentuk kolusi dan manipulasi yang kontradiktif terhadap prinsip equalty before the law (persamaan kedudukan di depan hukum) sebagaimana dikehendaki pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Secara Yuridis, UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah membuka ruang terhadap partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Pasal 41 ayat 1 menyatakan masyarakat bisa berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pencegahan serta pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terkait fungsi pengawasan, masyarakat berhak mencari dan memperoleh (selain memberikan) informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, sekaligus memperoleh pelayanan sehubungan dengan hak tersebut dari penegak hukum yang menaungi perkara korupsi (pasal 41 ayat 2 huruf a dan b). Masyarakat juga berhak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara korupsi (pasal 41 ayat 2 huruf c). Pasal 41 ayat 2 huruf d menyebutkan, masyarakat juga berhak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.
Untuk lebih menjamin terlaksananya partisipasi aktif masyarakat dalam pemberantasan korupsi, pasal 41 ayat 2 huruf e menyatakan bahwa masyarakat berhak memperoleh perlindungan hukum. Usaha pemebrantasan korupsi tak semudah membalikan telapak tangan. Berbagai upaya mendasar perlu dilancarkan demi menyudahi praktek ini. Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, karena kejahatan korupsi yang dilakukan di Indonesia sudah bersifat struktural-sistematis.
Landasan Yuridis di atas menegaskan bahwa peran masyarakat amat penting dalam mengatasi budaya korupsi di Indonesia. Peran serta masyarakat itu dapat digerakan melalui jalan revolusi sosial. Revolusi sosial adalah satu perubahan radikal yang digerakkan massa rakyat yang tertindas untuk keluar dari cengkeraman kekuatan-kekuatan yang menindas. Tetapi revolusi sosial itu tidak ditempu dengan jalan kekerasan yang irasional. Ia harus berjalan dalam koridor rasional untuk sedapat mungkin membangun kesadaran sosial akan situasi sosial yang menindas. Perubahan radikal hanya mungkin bila berawal dari kesadaran sosial akan situasi sosial yang menindas. Budaya korupsi memang merupakan situasi sosial yang menindas, khususnya menindas masyarakat yang lemah ekonominya.
4.2. Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Budaya Korupsi
Lambatnya kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang membawa konsekwensi pada semakin tingginya tingkat korupsi di Indonesia mengindikasikan masih kurang efektifnya partisipasi masyarakat dalam menjalankan fungsi pengawasan. Kurang efektifnya pengawasan masyarakat tersebut dipicu kuatnya rasa skeptis masyarakat terhadap jalannya reformasi yang belum menampakkan prestasi memuaskan dalam pemberantasan korupsi. Rasa skeptis tersebut kemudian mereduksi semangat antikorupsi dan berkembang menjadi sikap apatis, bahkan cenderung permisif terhadap prilaku korupsi.
Selain kuatnya rasa skeptis, kurang efektifnya pengawasan tersebut disebabkan rapuhnya kekompakan masyarakat dalam melawan korupsi yang dipengaruhi political interest yang berkembang menjadi fanatisme politik, sehingga mereduksi daya kritis masyarakat. Karena itu diperlukan kekuatan independen yang menjadi ujung tombak gerakan moral bersama antikorupsi.
Korupsi adalah satu gejala sosial dan politik dalam sejarah dan masa kini. Ia telah menyebabkan penindasan, kemiskinan, revolusi, jatuhnya pemerintahan, disintegrasi bangsa dan peristiwa sejarah lainnya. Ia adalah benalu sosial yang dapat merusak seluruh sendi struktur pemerintahan dan memporak-porandakan tatanan hidup bersama. Oleh karena akibat destruktif praktek korupsi itu, maka ia seharusnya diberantas. Dan untuk memberantas korupsi di Indonesia, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Partisipasi ini harus menjadi sebuah gerakan independen, sehingga dapat membawa dampak bagi perubahan dan perkembangan bangasa. Ada suatu keyakinan bahwa masa depan bangsa Indonesia saat ini sangat ditentukan oleh keseriusan masyarakat dalam meminimalisir dan memberantas budaya korupsi.
Akan tetapi, gerakan independen masyarakat harus diapresiasi semestinya oleh seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah, kaum intelektual maupun masyarakat akar rumput (grassroots) itu sendiri. Karena gerakan independen masyarakat melawan korupsi dapat membawa dampak positif bagi perkembangan dan pembangunan bangsa itu sendiri.
4.3. Memberantas Korupsi dengan Dua Pisau Solusi Bermata Ganda
Untuk memberantas dan menghilangkan prilaku korupsi, sekurang-kurangnya kita memerlukan dua pisau solusi bersisi ganda dengan masyarakat sebagai pelaku utama. Pisau solusi pertama berorientasi pada problem solving jangka pendek. Ini berkaitan dengan transparansi dan supremasi hukum. Masyarakat harus mengumandangkan agar para tersangka dan pelaku korupsi harus segera diproses secara hukum. Jangan mengulur-ulur waktu. Biarkan koruptor tidak punya waktu untuk berkolusi. Kelemahan dan ketidakefektifan pengawasan hukum terhadap sepak terjang penguasa menyebabkan banyak koruptor menikmati impunity, tiadanya sanksi hukum. Aparat penegak hukum harus bisa membuat demonstration effect, artinya, selain menghukum orang yang memang bersalah, juga bisa memperlihatkan orang yang tidak bersalah tidak dihukum. Selama ini, proses hukum kadang membenarkan koruptor dan menghukum orang lain dengan tuduhan “pemfitnaan” nama baik.
Pertanyaannya, apakah masalah korupsi akan selesai saat semua yang teridentifikasi sebagai koruptor dijatuhi hukuman berat dan ditahan dalam penjara? Jelas tidak! Untuk itu diperlukan solusi kedua. Pisau solusi sisi kedua menitikberatkan sebab musabab mengapa orang Indonesia gemar korupsi. Bukankah korupsi melanggar konstitusi? Lalu, usaha lain apa yang harus dilakukan agar prilaku korupsi yang sifatnya sudah menjadi struktural-sistematis, hilang tanpa bekas?
Setidaknya pada pisau solusi sisi kedua, ada tiga tesis yang bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama, masyarakat harus menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan seluruh anggota masyarakat. Iklim yang kondusif itu adalah iklim yang bebas korupsi dan tindakan desruktif lainnya. Dalam hal ini, seorang kriminolog bernama Jonathan Casper dalam tulisannya yang berjudul Nature of Law and the Cause of Crime, mengemukakan suatu uraian yang dapat disimpulkan, bahwa seorang penjahat (pelanggar hukum, Koruptor) bukanlah semata-mata hasil dari kurang sempurnanya Undang-Undang, sehingga didapati sejumlah kejahatan yang belum ditetapkan sanksinya. Atau, tipisnya moral atau pun kurangnya pengertian dan kesadaran hukum yang dimiliki oleh si pelaku (koruptor), tetapi disebabkan oleh faktor lain.
Faktor lain itu dinamakan natural inclination oleh Casper. Mungkin natural inclination ini dapat diartikan a born criminal, yaitu orang yang sejak lahirnya telah membawa serta bibit-bibit negatif, sehingga dalam pertumbuhannya, lebih-lebih kalau ia dibesarkan di lingkungan yang mendukung (misalnya dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya suka mencuri, berjudi dan sebagainya), mudahlah ia menjadi pencuri atau koruptor. Ciri koruptor seperti ini antara lain seseorang melakukan korupsi bukan sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sudah merupakan pembawaannya.
Kedua, usaha untuk memberantas prilaku korupsi adalah dengan meningkatkan kualitas moral dan etika serta menumbuhkan “rasa malu” dalam diri seluruh anggota masyarakat, terutama penguasa bahwa mereka hanya mengemban kedaulatan rakyat, bukan merampok atau mengeksploitasi apa yang menjadi milik dan hak rakyat. Dalam pembicaraan mengenai persoalan intergritas moral tak bisa dipisahkan dengan budaya malu yang dimiliki seseorang. Mengapa? Karena, tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji (korupsi), kalau ia sudah bermoral. Sebagaimana diajarkan oleh agama (Islam), bahwa malu itu adalah bagian dari iman (moral). Hanya orang yang bermoral, malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak melakukan perbuatan itu bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama dan terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan bagi sesama.
Ketiga, Kontrol masyarakat terhadap tingkah laku penguasa. Kontrol masyarakat menunjukkan adanya partisipasi setiap anggota masyarakat dalam negara. Di Indonesia kontrol masyarakat tehadap pemerintah, khususnya berkaitan dengan prilaku korupsi, semakin terjamin setelah diratifikasinya UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 41 ayat 1 dan 2. Dalam hal ini, para cendikiawan dan tokoh-tokoh yang kritis harus tetap memainkan peran profetisnya. Mereka harus memberikan kritik-kritik konstruktif terhadap siapapun yang akan dan sedang menjadi penguasa.
Hanya dengan dua pisau solusi bersisi ganda ini yang membiarkan masyarakat sebagai pelaku utama, prilaku korupsi di Indonesia umumnya dan daerah-daerah kita khususnya dapat diberantas secara tuntas. Dengan diberantasnya budaya korupsi, maka masyarakat baru dengan habitus baru akan terwujud. Masyarakat baru dengan habitus baru adalah masyarakat yang bebas dari pelbagai praktek korupsi. Namun, usaha pemberantasan itu selain membutuhkan partisipasi aktif masyarakat juga melibatkan aparatur pemerintah yang profesional dan mempunyai integritas kepribadian yang tinggi.
V. Penutup
Di Indonesia korupsi sudah membawa banyak dampak negatif. Dampak itu dapat dilihat dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik dll. Tapi meskipun demikian, aparatur pemerintah yang berwenang meminimalisir dan memberantas korupsi tidak menjalankan fungsinya secara baik. Hal ini disebabkan aparatur pemerintah tersebut tidak bersih dan transparan.
Karena korupsi pada hakekatnya membawa dampak destruktif bagi seluruh sendi pemerintahan dan masayarakat, maka upaya pemberantasan korupsi menjadi hal yang sangat penting. Upaya pemberantasan itu tidak cukup hanya menunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu elemen yang sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat dalam pelbagai bentuk pengawasan terhadap prilaku para birokrat kita. Dengan partisipasi masyarakat se perti ini, budaya korupsi dapat diminimalisir dan diberantas secara tuntas. Kalau budaya korupsi sudah diberantas maka masyarkat baru dengan habitus baru pasti akan terwujud
Melawan Birokrasi Koruptif di Indonesia
By: Emilianus Yakob Sese Tolo
I. Pendahuluan
Korupsi adalah suatu kenyataan sosial yang sudah merebak di hampir semua dimensi kehidupan sosial masyarakat. Pada masyarakat tertentu, korupsi sudah mulai membudaya karena telah menjadi suatu kebiasaan, bahkan seolah diwarisi secara sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, kehadirannya dalam masyarakat dilihat debagai kenyataan yang sulit untuk diatasi.
Di Indonesia, korupsi, oleh sebagian besar orang, dikatakan telah membudaya. Korupsi tidak saja terjadi pada kalangan-kalangan elit, tetapi ia sudah merambah sampai pada level masyarakat bawah (grassroots level). Ia juga tidak menjadi milik khas bagi masyarakat yang hidup pada era tertentu, tetapi juga ia menjadi milik generasi dulu dan sekarang.
Korupsi, seperti yang terjadi di Indonesia, sangat sulit untuk diatasi. Namun meskipun sulit bukan berarti tidak ada kemungkinan-kemungkinan tertentu yang dapat menjadi alat untuk mengatasi persoalan ini. Salah satu kemungkinan, menurut penulis, adalah dengan mengaktualisasikan peran masyarakat. Masyarakat perlu diberdayakan secara baik untuk melawan korupsi. Pemberdayaan itu tidak hanya dilakukan dengan menciptakan suatu gerakan sosial melawan korupsi melalui aksi-aksi demonstrasi, tetapi proses pemberdayaan itu harus dilakukan secara lebih radikal, yakni dengan menciptakan suatu suasana masyarakat yang bebas korupsi mulai dari dalam diri, hati dan pikiran masyarakat itu sendiri.
Proses penyadaran masyarakat akan apa arti dan akibat dari korupsi itu yang dimulai dari dalam hati masyarat itu sendiri akan membawa dampak yang lebih memuaskan bagi usaha mengatasi masalah korupsi. Masyarakat harus diberi bekal dan pengetahuan yang cukup tentang korupsi. Dengan itu, masyarakat akan mampu melihat diri dan lingkungannya, memberikan penilaian-penilaian kritis dan akhirnya dapat bertindak sesuai dengan penilaian-penilaian itu.
II. Sekilas Tentang Korupsi Dan Masyarakat
2.1. Terminologi Korupsi
Banyak pakar dan pencetus teori mencoba memberikan definisi teoritis terhadap terminologi korupsi. Dari sekian banyak konsep yang ada hingga saat ini tidak ada satu formulasi yang baku sebagai paradigma tetap untuk menjelaskan term korupsi ini. Berbagai pakar mulai dari kaum moralis, ahli hukum, politisi bahkan sosiolog mencoba memberikan definisi teoritis terhadap term korupsi dari aneka perspektif. Berikut beberapa konsep teoretis tentang arti korupsi dari berbagai kosep.
J.S. Badudu, dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dsb. Badudu secara tegas mengafirmasikan korupsi sebagai perbuatan buruk. Dr. Kartini Kartoko dalam bukunya Patologi Sosial mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna memperoleh keuntungan pribadi yang merugikan kepentingan umum dan negara. Dari definisi ini tampak gambaran tentang korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan diri sendiri yang merugikan kepentingan orang lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Delict korupsi adalah kejahatan atau kesalahan, atau perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai tindak dan sanksi hukum.
The New International Webster’s Comphrehensive Dictionary of the English Language memberi definisi korupsi sebagai perangsang (seorang pejabat pemerintahan) berdasarkan itikad buruk (seperti suapan) agar ia melakukan pelangggaran kewajibannya. Lalu suapan diberi definisi sebagai hadiah, penghargaan, pemberian, atau keistimewaan yang dianugerahkan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang yang mempunyai kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).
Sementara itu, As Hornby E. V. Gatenby dan H Wakefiel mendefinisikan korupsi (corruption) sebagai offering and accepting of bribes (penawaran atau pemberian dan penerimaan suap). Dikatakan juga corruption is decay, yang berarti kebusukan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kebusukan adalah akhlak atau moral orang yang melakukan perbuatan korupsi tersebut.
Jadi, berdasarkan definisi yang diberikan di atas, korupsi, sekalipun berkaitan dengan penyuapan atau penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar keuntungan pribadi, dan ini tidak hanya dalam bentuk uang. Korupsi dalam arti yang seluas-luasnya, mencakup penyalahgunaan waktu, jabatan atau kedudukan istimewa dan hal-hal lain dalam masyarakat untuk maksud-maksud pribadi.
2.2. Masyarakat dan Budaya Korupsi
Masyarakat adalah obyek studi dari sosiologi. Sebagai obyek studi sosiologi, ia didefinisikan secara bermacam-macam oleh para sosiolog. Definisi yang diberikan itu sangat bergantung pada dimensi mana yang mau ditekan oleh para sosiolog. Perbedaan definisi yang diberikan itu juga disebabkan oleh perbedaan cara pandang sosiolog yang khas terhadap masyarakat itu sendiri.
Talcott parson mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang swasembada (subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis, serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Peter L. Berger mendefinisikan masyarakat sebagai keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Ia juga mengartikan masyarakat sebagai sistem interaksi. John Macionis mengartikan masyarakat sebagai orang-orang yang berinteraksi satu sama lain dalam satu wilayah tertentu dan menghayati budaya yang sama.
Dari definisi dapat dilihat bahwa para sosiolog pada umumnya melihat masyarakat sebagai suatu kelompok sosial yang anggotanya saling berinteraksi. Dalam interaksi itu, individu-individu dalam masyarkat menciptakan apa yang dinamakan budaya. Budaya adalah hasil ciptaan individu dalam masyarakat guna meciptakan nilai-nilai yang berguna bagi hidup bersama dan nantinya akan diwariskan secara turun-temurun.
Budaya dan masyarakat mempunyai korelasi yang sangat erat. Keberadaan keduanya saling mengandaikan. Budaya tidak bisa eksis tanpa adanya masyarakat, dan sebaliknya tidak ada masyarakat yang eksis tanpa budaya. Kebudaya adalah penyerta setia sejarah mansusia. Ia adalah ciptaan kreasi akal budi manusia dan bersamaan dengan itu ia memanusiakan manusia dalam masyarakat.
Pertanyaannya, bagaimana dengan budaya korupsi? Apakah ia dapat membawa dampak kontruktif bagi perkembangan dan kebaikan masyarakat? Di Indonesia, korupsi dianggap sebagai budaya destruktif karena korupsi adalah sesuatu yang lumrah, dan ia eksis dalam masyarkat dan seolah diwarisi dari satu generasi ke generasi yang lain. Bila kita berbicara tentang kebudayaan korupsi dalam kacamata sosiologi budaya, maka ada tiga elemen penting yang menjadi perhatian utama dalam kajiannya. Tiga elemen penting adalah masyarakat, budaya dan korupsi. Sosiologi budaya telah menandaskan bahwa korupsi adalah fakta sosial kemasyarakatan yang dikategorikan sebagai suatu budaya. Dan segala sesuatu yang adalah fakta sosial kemasyarakatan -dan apalagi kalau fakta sosial kemasyarakatan itu diwariskan ke generasi berikutnya- dapat disebut sebagai budaya. Dalam perspektif ini, budaya korupsi berarti suatu bentuk kehidupan yang mengungkapkan suatu realitas sosial masyarakat itu. Bentuk kehidupan seperti itu diwariskan dari generasi ke generasi.
III. Sebab dan Akibat Korupsi di Indonesia
Budaya korupsi terjadi bukan tanpa sebab. Ada aneka sebab budaya korupsi. Selama sebab ini tetap eksis maka korupsi pun sulit untuk diberantas. Oleh karena itu usaha untuk memberantas korupsi mesti memperhatikan secara jeli dan kritis apa sebab-sebab korupsi, dan setelah itu baru digalakkan suatu gerakan pemberantasan yang mengacu pada sebab itu sendiri.
Selain sebab ada aspek inheren yang selalu melekat pada tindakan korupsi itu sendiri. Aspek inheren yang selalu berjalan bersamaan dengan sebab korupsi adalah akibat korupsi itu sendiri. Akibat korupsi mempunyai arti sebagai kenyataan yang terjadi apabila korupsi itu terjadi.
3.1. Sebab Korupsi di Indonesia
3.1.1. Hilangnya kesadaran Moral dan Etika
Disinyalir bahwa aneka ketimpangan dan kejahatan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah akibat dari adanya erosi kesadaran moral dan etika dalam diri sebagian besar masyarakat Indonesia. Erosi kesadaran moral dan etika memungkinkan orang untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif karena institusi batin yang memiliki peran memberikan pertimbangan-pertimbangan kritis untuk melakukan suatu perbuatan tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Korupsi di Indonesia, yang biasa dilakukan oleh para birokrat, adalah salah satu bentuk kejahatan yang terjadi akibat hilangnya kesadaran moral dan etika. Kebanyakan para birokrat kita sedang kehilangan kesadaran moral dan etika, karena itu, apa yang mereka lakukan selalu bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang berlaku. Sesungguhnya, korupsi itu terjadi bukan terutama dipengaruhi oleh rendahnya gaji para birokrat, lenturnya institusi hukum dan lain sebagainya, tetapi lebih dipengaruhi oleh lunturnya kesadaran moral dan etika dikalangan para birokrat. Oleh karena itu satu-satunya jalan untuk memberantas korupsi adalah mengihidupkan kembali kesadaran moral dan etika dalam setiap indvidu baik para birokrat itu sendiri maupun masyarakat Indonesia seluruhnya. Untuk hal ini, peran keluarga, institusi agama, institusi pendidikan dan masyarakat seluruhnya amat penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai moral dan etika itu.
3.1.2. Pendidikan
Sistem pendidikan yang hanya menekankan aspek akademik dan mengabaikan aspek moral akan berakibat buruk pada perkembangan mental dan kepribadian anak didik. Di Indonesia ada banyak sekolah yang terkadang hanya menekankan aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral-spiritual. Guru lebih menjalankan fungsinya sebagai pengajar ketimbang pengajar dan pendidik. Tujuan otentik lembaga pendidikan adalah mendidik dan mengajar. Bukannya dua tujuan itu mulia itu diredusir ke dalam satu tujuan saja, yakni mengajar.
Akibat dari sistem pendidikan yang demikian akan berakibat buruk bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian anak didik. Anak akan bertumbuh secara tidak proporsional. Ia tidak bisa berkembang sebagai pribadi yang matang dan dewasa, karena memang selama menempati bangku pendidikan ia lebih ditempa secara akademik.
Dalam kaitannya dengan korupsi, orang-orang yang sebelumnya hanya ditempa dan dipersiapkan secara akademik tanpa adanya persiapan moral-spiritual yang matang akan menjadi pribadi dengan kesadaran moral dan spiritual yang lemah. Dan orang-orang seperti ini akan sangat mudah untuk melakukan perbuatan-perbuatan destruktif, seperti korupsi.
3.1.3. Ekonomi (Kemiskinan)
Kemiskinan merupakan satu faktor penting penyebab terjadinya tindakan koruptif. Kenyataannya bahwa orang-orang yang mempunyai pendapatan rendah cenderung melakukan korupsi. Korupsi adalah satu-satunya cara mememenuhi segala kebutuhan. Keadaan serba kekuranganlah yang mendorongnya melakukan tindakan korupsi.
3.1.4. Feodalisme
Praktek korupsi sesungguhnya bukanlah hal baru. Ia sudah menyejarah. Ia sudah mulai sejak zaman dahulu kala. Pelaku tindakan ini biasanya adalah seorang raja dengan wewenang mutlak, tak tergoncangkan. Dengan kuasa itu, banyak aturan bisa diterapkan, malah hingga memungut hasil dari masyarakat atau rakyat jelata. Rakyat dibungkam, hanya ketaatan sebagai jalan terbaik.
Pada masa feodal, di Indonesia, ada tanah milik raja, praktek pemungutan pajak, pembayaran upeti dari rakyat. Bukan hanya itu, jabatan raja pun menjadi turun-temurun, yang biasa disebut birokrasi patrimonial. Dengan ini, penumpukan kekayaan pada sebuah dinasti semakin diperjelas. Sikap dan tindakan ini diwariskan kepada anak cucunya. Kini, sistem feodal tidak ada secara terang, namun posisi raja telah diganti oleh para penguasa dengan potensi itu. Sesungguhnya, praktek korupsi dilatarbelakangi oleh sistem feodal pada zaman kerajaan itu.
3.1.5. Ketidakpatian Hukum
Ketidakpastian hukum dapat memberi peluang terjadinya korupsi. Di Indonesia ada bayak koruptor yang mengalami impunity (tiadanya sanksi hukum) karena lembaga hukumnya lemah dalam menjalankan fungsinya. Hukum itu lemah dalam menjalankan fungsinya karena ia sendiri juga tidak bersih. Ia amat rentan akan suap. Alasan inilah yang membuat lembaga hukum sulit untuk menghukum koruptor yang bergelimang harta dan kekayaaan.
3.2. Akibat Korupsi
Ada beberapa akibat korupsi. Pertama, korupsi membawa dampak destruktif bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Korupsi dalam bentuk komisi akan mengurangi jumlah dana masyarakat umum. Kekurangan dana itu kemudian menghambat rencana selanjutnya. Laju pembangunan terhambat dan biasanya akibat ini lebih dirasakan oleh masyarakat kecil dan kaum marginal.
Kedua, korupsi menyebabkan kemiskinan dalam masyarakat. Akibat ini masih berkaitan dengan akibat pertama. Terhambatnya kemajuan dan perkembangan bangsa pasti akan sangat mempengaruhi kemajuan ekonomi masyarkat. Kwik Kian Gie dalam nada optimis mengatakan bahwa nasib bangsa Indonesia ke depan amat bergantung pada tingkat keseriusan dalam memerangi korupsi. Karena menurut beliau korupsi adalah akar dari semua masalah. Korupsi sesungguhnya akan melahirkan berbagai masalah lainnya. Korupsi mengakibatkan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan dan kandasnya pembangunan.
Ketiga, Korupsi bisa menjerumuskan negara ke dalam jurang malapetaka atau disintegrasi bangsa. Korupsi adalah benalu sosial yang dapat merusak seluruh sendi struktur pemerintahan dan memporak-porandakan tatanan hidup bersama. Akibat paling ringan dari korupsi adalah terganggunya proses administrasi negara, dan yang paling berat adalah bubarnya negara.
IV. Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi untuk Menciptakan
Habitus Baru
4.1. Landasan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi
Upaya pemberantasan korupsi yang menjadikan Indonesia semakin bangkrut tidak cukup hanya menunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu elemen yang tak kalah penting dalam upaya pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk pengawasan terhadap mekanisme kerja pemerintah untuk usaha pemberantasan itu.
Fungsi pengawasan akan bisa menjadi stimulus bagi pemberantasan korupsi untuk serius mengoptimalkan kinerjanya serta meminimalkan tingkat probabilitas berbagai bentuk kolusi dan manipulasi yang kontradiktif terhadap prinsip equalty before the law (persamaan kedudukan di depan hukum) sebagaimana dikehendaki pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Secara Yuridis, UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah membuka ruang terhadap partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Pasal 41 ayat 1 menyatakan masyarakat bisa berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pencegahan serta pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terkait fungsi pengawasan, masyarakat berhak mencari dan memperoleh (selain memberikan) informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, sekaligus memperoleh pelayanan sehubungan dengan hak tersebut dari penegak hukum yang menaungi perkara korupsi (pasal 41 ayat 2 huruf a dan b). Masyarakat juga berhak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara korupsi (pasal 41 ayat 2 huruf c). Pasal 41 ayat 2 huruf d menyebutkan, masyarakat juga berhak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.
Untuk lebih menjamin terlaksananya partisipasi aktif masyarakat dalam pemberantasan korupsi, pasal 41 ayat 2 huruf e menyatakan bahwa masyarakat berhak memperoleh perlindungan hukum. Usaha pemebrantasan korupsi tak semudah membalikan telapak tangan. Berbagai upaya mendasar perlu dilancarkan demi menyudahi praktek ini. Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, karena kejahatan korupsi yang dilakukan di Indonesia sudah bersifat struktural-sistematis.
Landasan Yuridis di atas menegaskan bahwa peran masyarakat amat penting dalam mengatasi budaya korupsi di Indonesia. Peran serta masyarakat itu dapat digerakan melalui jalan revolusi sosial. Revolusi sosial adalah satu perubahan radikal yang digerakkan massa rakyat yang tertindas untuk keluar dari cengkeraman kekuatan-kekuatan yang menindas. Tetapi revolusi sosial itu tidak ditempu dengan jalan kekerasan yang irasional. Ia harus berjalan dalam koridor rasional untuk sedapat mungkin membangun kesadaran sosial akan situasi sosial yang menindas. Perubahan radikal hanya mungkin bila berawal dari kesadaran sosial akan situasi sosial yang menindas. Budaya korupsi memang merupakan situasi sosial yang menindas, khususnya menindas masyarakat yang lemah ekonominya.
4.2. Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Budaya Korupsi
Lambatnya kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang membawa konsekwensi pada semakin tingginya tingkat korupsi di Indonesia mengindikasikan masih kurang efektifnya partisipasi masyarakat dalam menjalankan fungsi pengawasan. Kurang efektifnya pengawasan masyarakat tersebut dipicu kuatnya rasa skeptis masyarakat terhadap jalannya reformasi yang belum menampakkan prestasi memuaskan dalam pemberantasan korupsi. Rasa skeptis tersebut kemudian mereduksi semangat antikorupsi dan berkembang menjadi sikap apatis, bahkan cenderung permisif terhadap prilaku korupsi.
Selain kuatnya rasa skeptis, kurang efektifnya pengawasan tersebut disebabkan rapuhnya kekompakan masyarakat dalam melawan korupsi yang dipengaruhi political interest yang berkembang menjadi fanatisme politik, sehingga mereduksi daya kritis masyarakat. Karena itu diperlukan kekuatan independen yang menjadi ujung tombak gerakan moral bersama antikorupsi.
Korupsi adalah satu gejala sosial dan politik dalam sejarah dan masa kini. Ia telah menyebabkan penindasan, kemiskinan, revolusi, jatuhnya pemerintahan, disintegrasi bangsa dan peristiwa sejarah lainnya. Ia adalah benalu sosial yang dapat merusak seluruh sendi struktur pemerintahan dan memporak-porandakan tatanan hidup bersama. Oleh karena akibat destruktif praktek korupsi itu, maka ia seharusnya diberantas. Dan untuk memberantas korupsi di Indonesia, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Partisipasi ini harus menjadi sebuah gerakan independen, sehingga dapat membawa dampak bagi perubahan dan perkembangan bangasa. Ada suatu keyakinan bahwa masa depan bangsa Indonesia saat ini sangat ditentukan oleh keseriusan masyarakat dalam meminimalisir dan memberantas budaya korupsi.
Akan tetapi, gerakan independen masyarakat harus diapresiasi semestinya oleh seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah, kaum intelektual maupun masyarakat akar rumput (grassroots) itu sendiri. Karena gerakan independen masyarakat melawan korupsi dapat membawa dampak positif bagi perkembangan dan pembangunan bangsa itu sendiri.
4.3. Memberantas Korupsi dengan Dua Pisau Solusi Bermata Ganda
Untuk memberantas dan menghilangkan prilaku korupsi, sekurang-kurangnya kita memerlukan dua pisau solusi bersisi ganda dengan masyarakat sebagai pelaku utama. Pisau solusi pertama berorientasi pada problem solving jangka pendek. Ini berkaitan dengan transparansi dan supremasi hukum. Masyarakat harus mengumandangkan agar para tersangka dan pelaku korupsi harus segera diproses secara hukum. Jangan mengulur-ulur waktu. Biarkan koruptor tidak punya waktu untuk berkolusi. Kelemahan dan ketidakefektifan pengawasan hukum terhadap sepak terjang penguasa menyebabkan banyak koruptor menikmati impunity, tiadanya sanksi hukum. Aparat penegak hukum harus bisa membuat demonstration effect, artinya, selain menghukum orang yang memang bersalah, juga bisa memperlihatkan orang yang tidak bersalah tidak dihukum. Selama ini, proses hukum kadang membenarkan koruptor dan menghukum orang lain dengan tuduhan “pemfitnaan” nama baik.
Pertanyaannya, apakah masalah korupsi akan selesai saat semua yang teridentifikasi sebagai koruptor dijatuhi hukuman berat dan ditahan dalam penjara? Jelas tidak! Untuk itu diperlukan solusi kedua. Pisau solusi sisi kedua menitikberatkan sebab musabab mengapa orang Indonesia gemar korupsi. Bukankah korupsi melanggar konstitusi? Lalu, usaha lain apa yang harus dilakukan agar prilaku korupsi yang sifatnya sudah menjadi struktural-sistematis, hilang tanpa bekas?
Setidaknya pada pisau solusi sisi kedua, ada tiga tesis yang bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama, masyarakat harus menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan seluruh anggota masyarakat. Iklim yang kondusif itu adalah iklim yang bebas korupsi dan tindakan desruktif lainnya. Dalam hal ini, seorang kriminolog bernama Jonathan Casper dalam tulisannya yang berjudul Nature of Law and the Cause of Crime, mengemukakan suatu uraian yang dapat disimpulkan, bahwa seorang penjahat (pelanggar hukum, Koruptor) bukanlah semata-mata hasil dari kurang sempurnanya Undang-Undang, sehingga didapati sejumlah kejahatan yang belum ditetapkan sanksinya. Atau, tipisnya moral atau pun kurangnya pengertian dan kesadaran hukum yang dimiliki oleh si pelaku (koruptor), tetapi disebabkan oleh faktor lain.
Faktor lain itu dinamakan natural inclination oleh Casper. Mungkin natural inclination ini dapat diartikan a born criminal, yaitu orang yang sejak lahirnya telah membawa serta bibit-bibit negatif, sehingga dalam pertumbuhannya, lebih-lebih kalau ia dibesarkan di lingkungan yang mendukung (misalnya dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya suka mencuri, berjudi dan sebagainya), mudahlah ia menjadi pencuri atau koruptor. Ciri koruptor seperti ini antara lain seseorang melakukan korupsi bukan sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sudah merupakan pembawaannya.
Kedua, usaha untuk memberantas prilaku korupsi adalah dengan meningkatkan kualitas moral dan etika serta menumbuhkan “rasa malu” dalam diri seluruh anggota masyarakat, terutama penguasa bahwa mereka hanya mengemban kedaulatan rakyat, bukan merampok atau mengeksploitasi apa yang menjadi milik dan hak rakyat. Dalam pembicaraan mengenai persoalan intergritas moral tak bisa dipisahkan dengan budaya malu yang dimiliki seseorang. Mengapa? Karena, tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji (korupsi), kalau ia sudah bermoral. Sebagaimana diajarkan oleh agama (Islam), bahwa malu itu adalah bagian dari iman (moral). Hanya orang yang bermoral, malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak melakukan perbuatan itu bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama dan terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan bagi sesama.
Ketiga, Kontrol masyarakat terhadap tingkah laku penguasa. Kontrol masyarakat menunjukkan adanya partisipasi setiap anggota masyarakat dalam negara. Di Indonesia kontrol masyarakat tehadap pemerintah, khususnya berkaitan dengan prilaku korupsi, semakin terjamin setelah diratifikasinya UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 41 ayat 1 dan 2. Dalam hal ini, para cendikiawan dan tokoh-tokoh yang kritis harus tetap memainkan peran profetisnya. Mereka harus memberikan kritik-kritik konstruktif terhadap siapapun yang akan dan sedang menjadi penguasa.
Hanya dengan dua pisau solusi bersisi ganda ini yang membiarkan masyarakat sebagai pelaku utama, prilaku korupsi di Indonesia umumnya dan daerah-daerah kita khususnya dapat diberantas secara tuntas. Dengan diberantasnya budaya korupsi, maka masyarakat baru dengan habitus baru akan terwujud. Masyarakat baru dengan habitus baru adalah masyarakat yang bebas dari pelbagai praktek korupsi. Namun, usaha pemberantasan itu selain membutuhkan partisipasi aktif masyarakat juga melibatkan aparatur pemerintah yang profesional dan mempunyai integritas kepribadian yang tinggi.
V. Penutup
Di Indonesia korupsi sudah membawa banyak dampak negatif. Dampak itu dapat dilihat dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik dll. Tapi meskipun demikian, aparatur pemerintah yang berwenang meminimalisir dan memberantas korupsi tidak menjalankan fungsinya secara baik. Hal ini disebabkan aparatur pemerintah tersebut tidak bersih dan transparan.
Karena korupsi pada hakekatnya membawa dampak destruktif bagi seluruh sendi pemerintahan dan masayarakat, maka upaya pemberantasan korupsi menjadi hal yang sangat penting. Upaya pemberantasan itu tidak cukup hanya menunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu elemen yang sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat dalam pelbagai bentuk pengawasan terhadap prilaku para birokrat kita. Dengan partisipasi masyarakat se perti ini, budaya korupsi dapat diminimalisir dan diberantas secara tuntas. Kalau budaya korupsi sudah diberantas maka masyarkat baru dengan habitus baru pasti akan terwujud
Komentar