Melawan Birokrasi Koruptif

*Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo



Korupsi, oleh As Hornby E. V. Gatenby dan H Wakefiel, sebagaimana yang dikutip oleh Baharudin Lopa, didefinisikan sebagai offering and accepting of bribes, penawaran atau pemberian dan penerimaan suap. Bila definisinya demikian, maka birokrasi publik di Indonesia merupakan salah satu lembaga yang sangat rentan terhadap tindakan korupsi. Di Indonesia, korupsi, oleh sebagian besar orang, dikatakan telah membudaya. Sebab, korupsi tidak saja terjadi pada kalangan elit, tetapi juga merambah sampai pada level masyarakat bawah (grassroots level). Ia juga tidak menjadi milik khas bagi masyarakat yang hidup pada era tertentu, tetapi juga menjadi milik generasi dulu dan sekarang. Fakta ini dijustifikasi oleh data yang ada bahwa Indonesia sering ditempatkan sebagai negara terkorup.

Berdasarkan data yang ada, pada tahun 1995, Indonesia ditetapkan sebagai negara terkorup di dunia. Dari nilai nol untuk paling korup sampai pada nilai sepuluh untuk negara paling bersih, Indonesia menempati skor 1,94. Prestasi membaik pada tahun 1996 dan 1997 Indonesia menjadi negara terkorup di dunia dengan skor 2,65 dan 2,27. Pada saat turunnya Soeharto, Mei 1998, Transparancy Internasional menempatkan Indonesia negara terkorup keenam dunia dengan skor 2,7. Pada tahun 1999, Indonesia ditetapkan sebagai negara terkorup ketiga di dunia dengan skor 1,7. Pada tahun 2002, menurut survey Political Economy Risk Consultancy Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup di Asia dengan skor 0,75. Pada tahun 2010, menurut Transparency International Corruption Perceptions Index, Indonesia menempati posisi 110 dengan nilai 2,8 dan Demark menempati posisi 1 dengan skor 9,3.

Sementara itu, berdasarkan survei Global Corruption Barometer 2009, dengan penilaian 5 untuk negara terkorup dan 1 untuk negara terbersih, Indonesia lagi-lagi ditempatkan sebagai negara terkurup di Asia Tenggara dengan nilai 3,7. Penelitian ini difokuskan pada persepsi lembaga terkurup. Lembaga terkorup di Indonesia adalah DPR dan terbersih adalah lembaga media dengan nilai 2,3. Partai politik, dunia usaha dan lembaga Yudikatif masing-masing mendapat nilai 4,0, 3,2 dan 4,1. Sedangkan untuk lembaga birokrasi publik mendapat nilai yang cukup memprihatinkan juga yakni 4,0. Hal inilah yang menghalangi pemerintah untuk merealisasikan nilai-nilai good governance demi kesejahteraan publik. Korupsi dalam lembaga birokrasi sangat mempengaruhi kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam birokrasi yang koruptif, pelayanan publik selalu dipenuhi oleh tindakan destrukif seperti penyuapan, pemerasan, pungli, rekayasa, kolusi dan nepotisme.

Menurut penulis, korupsi pada ranah birokrasi publik menyebabkan kurang lebih dua hal. Pertama, kualitas pelayanan publik menjadi sangat buruk karena sifatnya yang lamban, over-birokrasi dan over-regulasi. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi kualitas pembangunan bangsa sebab iklim investasi dan daya saing menjadi terganggu dan tugas-tugas pemerintahan tidak dijalankan secara efektif dan efisien. Konsekwesi lebih jauhnya adalah bahwa kebutuhan riil masyarakat tidak terpenuhi. Masyarakat menjadi miskin dan terlantar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang masih hidup dengan keadaan sandang, pangan dan papan yang memprihatinkan. Saat ini (2011), di Indonesia, ada sekitar 60,3 juta jiwa penduduk miskin.

Kedua, hak-hak masyarakat publik diabaikan. Melalui tindak korupsi, para koruptor telah melakukan perampasan terhadap hak-hak untuk hidup yang layak sebagai warga negara yang berdaulat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, karena korupsi, hak masyarakat untuk memperoleh infomasi yang benar dan pelayanan publik yang demokratis tidak bisa terealisir. Wartawan bisa disuap oleh pejabat birokratis untuk merekayasa informasi demi pencitraan diri. Pelayanan publik sengaja diulur-ulur sebelum ada uang yang menjadi pelicin memperlancar poses pelayanan publik. Jadi tidak heran jika masyarakat melihat birokrasi di Indonesia identik dengan penggusuran, pungli, kolusi, korupsi, dan berbagai konotasi menyakitkan lainnya.

Kedua akibat korupsi telah membawa dampak negatif bagi pembanguan bangsa dan karenanya korupsi harus dieliminir. Namun, korupsi hanya bisa diatasi oleh pemerintah yang akuntabel dan masyarakat cerdas, yang sadar akan hak dan kewajibannya. Menurut penulis, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk mengeliminir dan mencegah korupsi pada institusi birokrasi. Pertama adalah transparansi dan supremasi hukum. Penegakan hukum (law enforcement) mesti menjadi prasyarat penting bagi pemberantasan korupsi. Korupsi adalah sebuah tindakan actus humanus yang menuntut pertanggungjawaban secara moral dan hukum. Oleh karena itu, lembaga hukum harus menindak secara tegas para koruptor berdasarkan amanat hukum yang berlaku. Namun, hal ini hanya mungkin bila institusi hukum bebas dari prakter koruptif, bermoral dan beretika. Keberhasilan lembaga hukum menjebloskan Gayus Tambunan untuk skala nasional dan Iskandar Mberu, mantan sekda kabupaten Ende-NTT, untuk skala lokal serta beberapa koruptor di ranah birokrasi di tanah air lainnya adalah salah satu langkah maju yang harus terus dipertahankan untuk memperbaiki institusi birokrasi publik di Indonesia.

Kedua adalah meminimalisir intervensi politis yang berlebihan kepada institusi birokrasi publik. Selama ini, birokrasi publik di Indonesia cendrung menjadi alat politis bagi rejim yang berkuasa. Oleh karena itu, pejabat politis cenderung medikte birokrasi untuk kepentingan politis tertentu. Birokrasi harus mewaspadai diri agar tidak dipolitisasi. Institusi birokrasi harus memainkan peran perantara bagi masyarakat dan pejabat politis secara bertanggung jawab dan tidak boleh terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan pejabat politis. Politik balas jasa pejabat politik untuk memberikan jabatan strategis kepada pedukungnya pada PEMILU dan PILKADA yang bertentangan dengan merit system harus dieliminasi. Ini butuh komitmen baik dari institusi politik maupun birokrasi. Sistem merit yang harus menjadi dasar kompetisi yang profesional dalam institusi birokrasi publik harus dilaksanakan secara konsekwen.

Ketiga adalah mencegah politik uang dalam memperoleh posisi strategis di institusi birokrasi. Sebab, politik uang dapat berakibat pada upaya pengembalian modal yang telah dikeluarkan untuk posisi strategis tertentu melalui cara-cara koruptif ketika seseorang sudah menempati posisi strategis itu. Oleh karena itu, meritokrasi dalam birokrasi harus dijalankan secara konsekwen. Ini butuh kerjasama dari semua pihak baik dari dalam institusi birokrasi maupun dari pihak luar. Kontrol politis dan sosial-kemasyarakatan juga sangat dibutuhkan untuk mengawal birokrasi agar tidak terjadi tindakan-tindakan koruptif. Tidak hanya pemerintah yang berperan, tetapi masyarakat juga harus proaktif mengawal pemerintah dan birokrasinya. Pengawalan yang dilakukan harus merupakan gerakan bersama. Semua stakeholder dalam masyarakat seperti institusi pers, institusi agama, institusi pendidikan dan LSM harus terlibat aktif dalam mengawal pemerintah dalam menjalankan fungsinya.

Korupsi adalah musuh bersama yang harus dicegah dan diperangi secara bersama-sama pula sedini mungkin. Ketiga jalan alternatif di atas mudah-mudahan bisa menjadi sumbangan konstruktif bagi terwujudnya institusi birokrasi publik di Indonesia yang lebih berkualitas. Intistusi birokrasi yang berkualitas sangat menentukan kualitas pembangunan. Sebab, dalam suatu pemerintahan, yang memainkan peran penting dalam pelayanan publik (public service) di lapangan adalah lembaga birokrasi. Dengan demikian jika lembaga birokrasi publiknya bersih maka pembangunan akan berjalan dengan baik. Namun, bila birokrasi publiknya koruptif, maka hal ini akan menghambat proses pembangunan bangsa karena pelayanan publik menjadi tidak efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kita tunggu kiprah birokrasi publik yang lebih baik ke depan.

*Penulis adalah alumni MAP-UGM- Yogyakarta dan bekerja di ASPA-Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Jejak IDT

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik