Memoar Menyusu Kebijaksanaan di Santu Klaus Kuwu

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo

Sejak ayah memberi tahu bahwa aku akan masuk seminari di Kuwu-Ruteng, aku sangat senang. Ayah dan ibuku juga turut gembira. Tak lama kemudian, aku harus mendaftarkan diri ke Seminari di Kuwu. Karena ayahku sibuk mengajar, aku ke Kuwu ditemani oleh Kakak Rosa Ija yang kebetulan akan mengunjungi Fr. Wilibaldus Mutu, SVD di Novisiat Sang Sabda Kuwu yang letaknya dekat dengan SMP dan SMUK St. Klaus, Kuwu.

Waktu itu, ayah dan ibu mengantarku ke Boawae dari kampungku, Ekosoza. Kami naik “bemo”. Di Aemali, kami bertemu Moris yang sedang berjalan kaki ke Ekosoza. Waktu itu Moris nginap di rumah kakak Rosa hanya untuk menonton TV karena ayahku tak sanggup membelinya untuk kami sekelurga. Nonton TV adalah kesukaan si Moris sebagaimana aku dan Roni menyukai hutan belantara dan segala isinya. Hanya untuk menonton TV, Moris harus berjalan kaki 7 KM setiap akhir pekan. Ayah tidak meminta agar “bemo” berhenti supaya Moris bisa ikut mengantar aku. Ibu marah ayah karena hal ini. Aku diam, tapi sedih dan ingin memarahi ayah karena Moris tidak turut mengantarku.

Ayahku membekaliku dengan beberapa jeruk manis yang dibeli dari tanta Maria dan uang sepuluh ribu. Uang ini aku kembalikan ke ayah ketika pulang karena tidak tau mau membeli apa karena semua kebutuhanku dipenuhi oleh kakak Rosa. Kami menunggu bus di depan rumah Tanta Maria di pertigaan menuju Paulewa. Aku dan kakak Rosa menumpang bus Sinarembulan Mbay. Ita Mane yang masih kecil dan belum sekolah ikut bersama kami waktu itu. Dalam perjalanan aku mabuk karena aku tidak pernah melakukan perjalanan sejauh ini dengan jalan yang berkelok-kelok. Kakak Rosa dengan tabah memperhatikanku. Kami tiba di Ruteng sekitar jam empat sore. Waktu itu, kami turun di Waekuli dan menunggu “bemo” jurusan Kuwu.

Sekitar jam 6 sore kami tiba di Novisiat Sang Sabda, Kuwu. “Bemo” yang kami tumpang mengantar kami hingga di di Novisiat. Tanta Rosa memenjat tombol bel. Tak lama kemudian, ada seorang pria tampan berumur sekitar dua puluhan tahun membuka pintu. Dari penampilannya, kemungkinan besar pria tampan itu seorang Frater. Kami dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Lalu, pria tampan itu pamit dan hilang di ujung pintu. Tidak begitu lama, Fr. Wilibaldus Mutu mucul dengan wajah gembira menyambut kami. Kaka Rosa mulai bercakap-cakap dalam bahasa daearah Nangaroro. Fr. Wili langsung meraih Ita dari pelukan kakak Rosa dan menggendongnya dengan gembira.

Tak begitu lama, kami diajak dan dituntun Fr. Wili menuju kamar tamu. Malam harinya kami makan malam bersama para frater. Di ruang makan frater gaduhnya minta ampun. Aku duduk dekat kakak Rosa, Fr. Wili dan beberapa frater lain yang aku tidak kenal. Menu makannya tidak istimewa. Biasa-biasa saja. Mungkin dengan cara ini para frater menghidupi kaul kemiskinannya. Tapi, aku lihat para frater sangat menikmati makanan yang hanya berlaukan ikan kering dan sayur kacang ijo. Di meja makan diskusi berbagai topik mulai bergulir mulai dari yang paling ilmiah sampai yang paling tidak berguna sama sekali tapi tetap menyenangkan. Sesekali ada celoteh tentang cewek-cewek. Setelah menjadi Frater 8 tahun kemudian, aku baru mengerti tentang kehidupan para frater yang telah aku saksikan pada saat berada di Novisiat Sang Sabda Kuwu.

Tiba-tiba lonceng kecil kamar makan berbunyi. Suasana gaduh lenyap dalam sekejap. Di Novisiat, setiap bunyi lonceng miliki arti yang harus dimaknai secara baik dan benar jika tidak ingin dikeluarkan dari formasi calon imam SVD. Hidup para frater seolah diatur oleh lonceng setiap saat. Tiba-tiba, Seorang frater berdiri dan memberi pengumuman kepada para frater semua bahwa komunitas Novisiat dikunjungi keluarga dari fr. Wili. Ada beberapa frater yang mendongakkan kepala untuk melihat aku, Ita dan kakak Rosa. Aku diam saja dan secara diam-diam memperhatikan cara hidup para frater yang menurutku sangat menantang, tetapi juga menarik untuk dijalani.

Setelah itu, suasana kamar makan kembali riuh rendah. Para frater kembali tenggalam dalam diskusi dan cerita mereka. Ketika makan malam usai, aku melihat beberapa frater membereskan kamar makan dan mencuci piring. Aku, Kakak Rosa dan Ita dituntun oleh fr. Wili ke kamar penginapan untuk tamu. Kami habiskan malam itu dengan bercerita. Fr. Wili banyak bertanya tentang keadaan di kampung. Ada juga beberapa frater yang menemani kami. Kemudian, kakak Rosa mengeluarkan ole-ole berupa kue kuping gajah buatan sendiri untuk fr. Wili dan kawan-kawannya. Malam itu sangat indah. Aku tak bisa melupakannya. Aku pun tertidur pulas.

Keesokan harinya, aku, ita, kakak Rosa dan fr. Wili ke SMP St. Klaus untuk melamar. Aku ingat waktu itu Pak Sisko, pria yang bertubuh tinggi, berambut air, berkulit putih dan berwajah mendekati sempurna itu yang melayani kami dengan sangat sopan sebagaimana kebiasaan orang Manggarai melayani para tamu. Aku ingat waktu itu akulah orang kedua yang melamar setelah Finsensius A. L. Meko (Berto) yang berasal dari Boawae juga. Jadi, kami adalah orang Boawae yang mendaftarkan diri lebih awal dari yang lain. Berto kemudian menjadi temanku yang paling akrab di SMP Santu Klaus.

Tetapi, hari itu urasan tidak langsung selesai. Saya, Ita dan Kakak Rosa harus bolak balik Ruteng-Kuwu untuk urusan foto copy dan lain sebagainya. Kakak Rosa tanya, “Apa kamu betah di sini?” Aku balik bertanya, “apa itu betah?” Aku belum tahu istilah betah. Maklum saja, anak kampung yang lebih sering menjelajah hutan dari pada menonton TV ini tentu tidak mengetahui term-term keren dalam bahasa Indonesia. Kakak Rosa menjelaskan bahwa betah adalah bertahan hidup, bisa bertahan untuk tinggal dan sekolah di SMP St. Klaus. Saya pun mengangguk yakin bahwa aku bisa melakukan itu.

Ketika di St. Klaus, aku dan kakak Rosa sempat bertemu dengan Teodora. Teodora berasal dari Boawae. Ayahnya, Bapak Alo Muga, adalah guru ayahku ketika belajar di SPG Boawae. Kami bertemu Teodora di depan gedung beras St. Klaus. Teodora banyak bertanya kepada kakak Rosa. Kakak Rosa bercerita banyak kepada Teodora. Aku hanya diam saja karena aku belum kenal Teodora. Ketika bersekolah di SMP St. Klaus saya juga tidak begitu akrab dengan Teodora.

Kurang lebih kami tinggal di Novisiat Kuwu tiga hari. Sebelum ke Boawae, kami bertiga nginap di biara susteran di Mbaumuku. Ketika kami ke biara ini, hujan rintik-rintik. Aku dan kakak Rosa setengah berlari membawa barang-barang kami. Aku tidak ingat nama biaranya. Yang aku ingat biara itu terletak di dekat sawah dan di belakangnya ada jembatan bambu yang melintangi sungai kecil. Kebetulan di biara ini seorang suster adalah kenalan kakak Rosa. Aku sempat mendengar kakak Rosa bercerita banyak dengan suster itu. Suster itu bertanya banyak hal tentang keluarga kakak Rosa. Aku masih ingat suster itu menganjurkan agar kaka Rosa tidak boleh mengirim anaknya bersekolah di tempat yang sangat jauh seperti St. Klaus. Aku tidak ingat alasan yang diberikan oleh suster itu. Aku menguping ocehan mereka. Dalam hatiku aku menduga bahwa suster itu menilai keputusan orang tuaku mengirimku ke St. Klaus adalah sesuatu kekeliruan. Hal itu sedikit mengecutkan hatiku. Tapi, tidak sampai membunuh hasratku untuk menggores kisah di St. Klaus.

Pagi harinya, kami berangkat ke Boawae dengan bus Sinarembulan-Mbay. Selama perjalanan aku sangat senang sebab aku akan bersekolah di Seminari St. Klaus. Tapi sayangnya, selama perjalanan kepalaku pusing sekali. Tapi aku tidak muntah. Kami tiba di Boawae sekitar pukul tiga sore. Ketika sampai di rumah kaka Rosa, kepalaku masih sangat pusing. Ketika ditawari makan siang, aku tolak. Perutku tidak siap menerima makanan lantaran yang dari dalam perut ingin dimuntahkan keluar. Tiba-tiba aku bangun dan aku berlari ke arah kali di belakang rumah. Di kali, aku muntahkan makanan yang aku santap di rumah makan Padang di Aimere. Kemudian, aku menjadi lebih baik. Kepalaku tidak lagi pusing. Aku pun tertidur hingga malam hari. Keesokan harinya aku pulang ke rumahku di Ekosoza untuk bertemu orang tuaku dan adik Moris.

Seminari kok Ada Perempuan?

Ayahku yang mengantarkan aku ke SMP St. Klaus. Di Kuwu, kami tidak punya keluarga atau pun kenalan. Fr. Wili sudah melanjutkan formasi dalam pendidikan SVD di STFK Ledalero. Oleh karena itu, aku dan ayah tidak bisa nginap di Novisiat Kuwu. Tapi, fr. Wili berpesan melalui kakak Rosa bahwa aku dan ayah bisa nginap di rumah kepalas sekolah SMP St. Klaus, Aleksius Jana. Orang memanggilnya Pak Alex.

Aku dan ayah ke Ruteng menumpang bus Benteng Mas-Ende. Ternyata, Bapak Alo Muga sedang mengantar anaknya Teodora. Tapi, aku dan ayah baru tau ketika kami turun makan di warung makan Padang di Aimere. Ayahku sempat bercerita dengan mantan gurunya. Aku diam saja. Kami tiba di Ruteng sekitar pukul empat sore. Dari Waikuli, kami numpang “bemo” menuju Kuwu. Di Kuwu, kami diturunkan oleh sopir telak di depan rumah pak Alex Jana sesuai dengan permintaan ayahku. Sebelum kami mengetuk pintu, ada seorang pria kurus dengan wajah karismatis ala seorang pemimpin, tetapi geraknya sedikit ayu, mendekati aku dan ayah. Ayah bertanya rumah kepala Sekolah SMP dimana. Pria kurus berwibawa itu mengakui diri sebagai orang yang ayah maksudkan.

Pak Alex mengantar kami masuk ke rumahnya. Seperti kebiasaan orang Manggarai, tidak lama kami duduk hidangan kopi sudah tiba dihadapan kami. Pak Alex bercerita banyak hal dengan ayahku. Kami mendapatkan kamar untuk tidur dan barang-barang kami dibawa masuk oleh keluarga pak Alex ke kamar yang menjadi tempat peristirahatan kami malam itu. Ternyata hari itu bukan cuma aku dan ayahku yang nginap di rumah pak Alex, tetapi juga keluarga Pak Alex yang berasal dari Dampek dan Lambaleda yang anaknya akan bersekolah di SMP St. Klaus. Saat itu, aku langsung mendapt teman-teman baru dari Dampek yakni Fabi Fendi, Anjur, Remigius Ndang dan John. Kami akhirnya berteman ketika menjalani pendidikan di SMA St. Klaus walaupun keempatnya tidak bisa menyelesaikan pendidikan di SMP St. Klaus lantaran dikeluarkan dengan alasan akademis, kesehatan dan tingkah laku yang bertentangan dengan kode etik Asrama dan Sekolah.

Malam itu rumah pak Alex penuh sesak oleh orang tua dan anak-anak yang melihat pendidikan itu penting. Para orang tua tampak bangga dengan anak-anaknya. Begitu juga dengan anak-anak kepada orang tua mereka. Keesokan harinya aku dan ayahku ke SMP St. Klaus. Di sana, ayah bertemu dengan Mama Nela, ibunya Berto. Karena sama-sama dari Boawae, kami langsung akrab. Aku dan Berto diminta oleh Mama Nela memilih tempat tidur berdampingan. Kami memilih tempat tidur di paling ujung. Karena tempat tidur tingkat, di atas kami masih ada orang lain. Aku sudah lupa siapa di atasku. Tapi aku masih ingat tempat tidur di sebelah kami adalah Heri Mangkur dan Rivan. Keduanya sama-sama dari Nterlango. Aku dan Berto sekecamatan dan demikian dengan Heri dan Rivan yang sekampung.Ternyata mental sukuis itu menjadi ciri terdalam dari sifat manusia. Waktu itu, ayahku membelikan segala perlengkapan harianku seperti sabun, ember, sabit dan alat tulis lainnya di koperasi Asrama. Koperasi Asrama ini tidak menjual makanan ringan. Karena itu, banyak anak St. Klaus yang tidak tau menghabiskan uangnya. Jadi jangang heran jika uang saku tetap berada di saku atau di dasar peti pakaian sampai liburan tiba.

Setelah semuanya beres, ayah memberikan aku uang saku dua puluh lima ribu. Uang saku ini akan kugunakan dalam enam bulan sampai liburan Natal tiba. Aku mengantar ayah ke luar pintu gerbang St. Klaus. Aku tunggu sampai ayah naik “bemo” ke Ruteng dan selanjutnya dengan bus ke Boawae. Sebelum ayah naik “bemo”, dia berpesan singkat dalam bahasa daerah. “Modo-modo e”, [Hidup yang baik di sini ya] katanya sambil menepuk bahu kurusku. Sebuah pesan yang ringkas tapi sangat bermakna bagi. Pesan inilah yang selalu menjadi motivasiku di kala susah menyentuh hidupku di Santu Klaus.

Aku memandang terus “bemo” yang ayah tumpangi sampai lenyap dari pandanganku. Tiba kesedihan menyentuh hatiku. Air mata pun mulai menggenang di kelopak mataku. Tapi aku tahan. Aku berjalan setengah berlari karena pintu gerbang akan segera ditutup oleh seorang tanta penjanga yang berwajah seperti harimau. Aku lupa namanya. Ketika memasuki pintu gerbang, aku bertekad bahwa aku harus hidup mandiri walaupun jauh dari orang tua di umur yang masih belia yakni 11 tahun. Tapi, di kemudian hari, aku bersyukur karena bisa belajar banyak hal dari kemandirianku di umur yang masih belia itu.

Hari itu, orang tua siswa masih hilir mudik di kompleks St. Klaus yang terpecil di sebuah desa Benteng Kuwu. Inilah tempat yang paling aman untuk belajar. Aku sangat iri melihat teman-teman yang lain yang masih bercengkarama gembira dengan orang tua mereka sebab aku tidak demikian karena ayahku baru meninggalkanku. Kesedihan menghampiriku dan membuat kelopak mataku kembali menggenang. Orang tua siswa mulai menghilang satu-satu dari kompleks St. Klaus ketika kami santap siang. Hari itu menu makannya seperti yang aku alami di rumah. Lumayan enak. Aku senang dengan makanannya. Aku pikir makanannya akan seperti itu terus setiap hari. Padahal, itu adalah menu paling spesial.

Hari-hari biasa anak St. Klaus makan ala kadarnya dengan lauk daun singkong asin dan nasi yang sangat tidak menggugah selera makan. Awal-awalnya susah menikmati menu harian di St. Klaus. Namun, lambat laun aku mulai bisa menikmati menu harian itu. Setiap sarapan pagi kami mendapat lauk ikan tembang yang gatal, kotor dan kumal, tapi tetap nikmat dan menyenangkan. Rata-rata makanan di St. Klaus tidak higenis sama sekali dari sisi medis. Betapa tidak, beras, ikan dan sayur sebelum disantap oleh anak-anak St. Klaus sudah diobok-obok oleh sekawanan tikus yang gemuk-gemuk dan sangat menjijikan karena lintasan bebas hambatan mereka adalah di got-got yang jorok dan berbau busuk. Namun, anehnya, anak St. Klaus sehat-sehat dan otak mereka cerdas melumat setiap ilmu yang mereka dapat di sekolah walaupun menyantap makanan yang tidak hiegenis dan kurang bergizi itu. Kemungkinan besar yang membuat anak St. Klaus sehat dan cerdas adalah olahraga dan kerja tangan yang teratur. Selain itu, bangunan kehidupan rohani yang kuat membuat pikiran mereka tenang dalam menyerap ilmu di sekolah. Untuk anak St. Klaus, Firman Tuhan ini mungkin tepat untuk kondisi mereka: “Manusia tidak hidup dari roti saja, melainkan dari Sabda Allah”.

Minggu pertama aku di St. Klaus, kami tidak langsung mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kami harus mengikuti kegiatan P4, yang kemudian dinilai sebagai proses indroktinasi dari penguasa Orde Baru. Pada saat ini, aku terenyuh. Sebab, ternyata sekolah yang akan menjadi tempatku belajar bukan seminari walaupun kami menghidupi aturan seminari seperti bangun pagi jam 4.30 guna melakasanakan doa pagi (pada masa Pater Waser, SVD) dan ekaristi (pada masa Alm. Rm. Saka, Pr). “Kok seminari, ada perempuan?”. Itulah pertanyaanku pada hari pertama kegiatan P4. Ternyata sekolahku nanti bukan seminari walaupun menghidupi aturan seperti di seminari. Ternyata kata ayahku dulu salah. Benar-benar salah. Aku sedih. Tapi semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Akhirnya, aku bisa menerima. Aku mulai memiliki banyak teman dan secara perlahan menyesuaikan diri.

Melukis Kisah di Lembah Waebalak

Kegiatan P4 sudah usai. Pada hari terakhir, banyak teman-temanku yang menangis ketika kami bernyayi lagu ini: Siapa suruh masuk St Klaus/Siapa Suruh Masuk St. Klaus/Sendiri Suruh, sendiri suka/Aduhai sayang. Lagu ini ini berhasil membuat banyak air mata terurai membasaih pipi-pipi yang masih lugu dan polos. Teman-temanku yang biasa dimanjai orang tua sudah mulai merasakan kerasnya hidup di St. Klaus. Hal inilah yang membuat mereka bersedih dengan pilihan yang mereka buat untuk bersekolah di St. Klaus. AKu juga demikian. Tetapi aku tidak menangis walaupun Agus Salju yang akhirnya menjadi guru kesenianku terus memainkan jarinya pada tuts-tuts organ mengiringi lagu ini. Pada akhir acara ini, ada dua siswa yang mendapat predikat terbaik dalam kegiatan P4 itu, yakni Maurus Fahik dan Yovin Carvalo.

Pembagian kelas dibuat berdasarkan urutan nilai NEM. Oleh karena itu, aku ditempatkan di kelas 1B. Awalnya aku duduk semeja dengan Frederikus Dhoi. Tetapi, ketika Pak Yos Jehanus, wali kelas kami, tahu bahwa aku dan Feri sama-sama dari Ngada, maka aku dipindahkan duduk dengan Serilus Kabelen. Sebelum aku duduk dengan Feri, aku tidak pernah tahu kalau dia dari dari Aimere. Di sinilah insting sukuis yang bekerja. Kemudian aku baru tahu tentang hal ini. Aku berteman baik dengan Feri, sama seperti aku terhadap Berto Meko. Pada akhirnya aku tahu bahwa Feri dan aku masih ada pertalian keluarga. Aku beberapa kali berlibur di rumahnya Feri di Airmere.

Pertemananku memang sangat dibatasi oleh sekat kultural yang sama. Aku lebih sering bergaul akrab dengan siswa-siswa dari Ngada. Ini adalah sesuatu yang buruk untuk sebuah kehidupan komunitas. Namun, aku pikir ini sangat alamiah. Manusia lebih suka memilih orang dari latar belakang yang sama bila ingin menjalin relasi. Lihat saja orang Israel di daerah diaspora di berbagai negara di dunia. Begitu juga dengan etnis Tionghoa di Indonesia. Hal yang sama juga bagi orang Indonesia di luar negeri. Satu hal yang membuat aku tidak bisa bergaul dengan mudah dengan kawan-kawanku yang mayoritas dari Manggarai adalah bahasa. Orang Manggarai sangat mencintai bahasa daerah dalam berkomunikasi. Ini tentu berbeda dari tempat di mana aku dibesarkan. Tetapi, pada satu sisi aku sangat bangga pada orang Manggarai yang mencitai bahasa ibunya. Namun, pada sisi lain, penekanan pada bahasa ibu yang terlalu berlebihan membuat orang lain dieksklusikan dari proses pergaulan. AKu pikir lebih baik kita mencari jalan tengah yakni mencintai bahasa ibu dan juga menghormati bahasa Indonesia. Walaupun demikian aku suka budaya Manggarai yang sangat menghargai keramahan melebihi yang aku alami di kampungku.

Walaupun aku akrab dengan teman-teman dari Ngada, ada juga beberapa temanku dari Manggarai. Memasuki kelas dua dan tiga SMP, pergaulanku mulai makin meluas dan tidak hanya terbatas pada suku tertentu. AKu sudah mulai bisa berbahasa Manggarai walaupun masih kaku dan terus menjadi kaku hingga aku menamatkan SMA di St. Klaus. Kayanya aku tidak memiliki bakat bahasa. Atau, mental sukuislah yang membuat kemampuan berbahasaku mandeg. Entalah. Namun yang jelas pergaulan yang makin luas ini tentunya baik. Dengan bertemu dan bergaul dengan pribadi dari berbagai latar belakang, aku mulai memperkaya pemahamanku tentang realitas. Namun, ada hal negatifnya dari luasnya pergaulanku itu. Ketika berada bersama, kegiatan-kegiatan yang dikategorikan sebagai kejahatan akan tumbuh dengan subur. Aku pun mulai membuat beberapa kejahatan dalam kehidupan berasrama.

Bersambung…

Komentar

nana lheont mengatakan…
usahakan santu klaus, bisa mendirikan seminari!!!.......

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT