Mari Mengenang Marianus Sae: Antisipasi Terhadap “Pilkada Borjuis” di NTT
Emilianus Yakob
Sese Tolo
Ketika Marianus Sae (MS) ditangkap tangan oleh KPK pada tanggal 11 Februari 2018 di sebuah
hotel di Surabaya, Jawa Timur, masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) memberikan reaksi yang jamak dan cenderung saling
berseberangan. MS
ditangkap karena diduga menerima suap Rp4,1 miliar dari pengusaha lokal
Wilhelmus Iwan Ulumbu. Suap yang diberikan ini diduga bakal digunakan oleh MS untuk
membiayi kerja politiknya dalam pertarungan untuk menjadi gubernur NTT, dan,
karena itu, Wilhelmus Iwan Ulumbu diduga dijanjikan akan mendapatkan proyek senilai Rp51 miliar. MS hingga hari ini masih ditahan oleh
KPK, dan proses hukumnya masih sedang berjalan. Namun, terlepas dari persoalan hukum
yang dijalankan oleh MS, saya ingin memberikan analisa di luar narasi yang
dibangun oleh media mainstream sejauh
ini. Sebab, bagi saya, penangakapan MS ini memiliki implikasi dan
relevansi bagi masyarakat NTT dalam merespons “pilkada borjuis” di sebuah propinsi yang miskin di Indonesia.
Sebelum Ditangkap
Sebelum ditangkap
KPK, MS dikenal sebagai bupati yang terkenal jujur, disiplin dan tidak
tanggung-tanggung melawan korupsi di tubuh birokrasi di kabupaten Ngada,
Flores, NTT. Selama memimpin Ngada, MS melakukan
kebijakan-kebijakan yang progresif seperti penghematan dan pemotongan biaya
birokrasi yang tidak perlu. Misalnya, ketika diselenggarakannya Tour de Flores pada tahun 2016 yang menggerogoti anggaran APBD pemerintahan daerah di Flores untuk kepentingan pembalap internasional dan panitia yang adalah rombongan orang kaya
Flores di Jakarta, MS
adalah satu-satunya bupati di Flores yang menolak mati-matian kegiatan Tour de
Flores dan tidak bersedia memberikan anggaran dana yang ditetapkan sebesar Rp1,5
miliar, yang dianggapnya sebagai bagian dari pemborosan dan penindasan terhadap
rakyat kecil.
Salah
satu penghematan itu digunakan untuk mengirim puluhan siswa dan mahasiswa berprestasi di Ngada
untuk menjadi calon birokrat masa depan, dosen, dan dokter. Dengan program Beasiswa Anak Desa, menurut MS yang diwawancara Frans Obon, wartawan Flores Pos, pada tahun 2012, menjelaskan demikian: “[a]nak-anak
miskin disaring di kecamatan. Untuk studi kedokteran, kita rekrut 1 orang tiap
kecamatan. Tiap tahun kita kirim 9 orang. Kalau 5 tahun, kita sudah ada 45
calon dokter. Selama ini, untuk anak miskin, masuk perguruan tinggi itu sesuatu
yang ‘abstrak.’ Apalagi untuk jadi dokter. Ketika
ruang ini kita buka, ternyata mereka mampu. Ada kebanggaan. Anak orang miskin,
dari rumah reot, bisa jadi dokter.” Banyak siswa
dan mahasiswa yang
dikirim pemerintah Ngada yang sudah lulus studi masternya kembali mengabdi di
kampus daerah di Ngada. Begitu juga tenaga dokter yang sudah dan sedang dikirim
akan segera kembali mengabdi di daerah.[1]
Sebelum
penangkapan yang dilakukan oleh KPK, karena prestasi yang sudah dibuktikan MS di kabupaten Ngada, PDIP harus rela menyingkirkan
kader-kadernya yang lain, yang umumnya minim, jika tidak dikatakan nihil,
prestasi dalam membangun NTT. PDIP tak ragu-ragu memilih MS, yang sebelumnya adalah
kader PAN, untuk bertarung di pilkada gubernur NTT mendatang. Terlepas dari kualitas seorang MS yang sudah “membius” banyak
pihak, persoalan
mencari pemimpin yang benar-benar berani bekerja untuk rakyat di NTT memang tak mudah. Maka tidak heran jika Megawati, ketika
menetapkan pasangan yang diusung dari PDIP, mengatakan demikian: “kok cari pemimpin susah. Akhirnya
ketemu deh, Bupati Ngada. Dia namanya Marianus Sae.” Bagi PDIP, selain prestasi-prestasinya
membangun kabupaten Ngada, MS dianggap sebagai “sosok seorang pekerja keras, mempunyai leadership yang cocok dengan karakter
masyarakat NTT yang plural dan keras.”
Reaksi Masyarakat
Namun, peristiwa
penangkapan MS oleh KPK membuat masyarakat NTT, terutama masyarakat kecil, terkesiap dari mimpi-mimpinya yang sudah terlanjur melekat dalam
ingatannya tentang sosok MS sejauh ini. Ketika mendengar MS ditangkap KPK, misalnya, sekelompok rakyat kecil di kampung Ramba, salah satu
pelosok di kabupaten Ngada, yang berbatasan dengan desa Tedamude Nagekeo,
meratapi penangkapan itu bagai kebiasaan orang Flores meratapi kepergian sanak
saudaranya ke alam keabadian. Masyarakat kecil dan miskin ini meratapi demikian
karena ketika MS menjadi bupati, MS membangun jalan raya yang baik, membuka
isolasi keudikan kampung Ramba yang sudah lama diabaikan sejak Indonesia
merdeka. MS juga membangun embung desa untuk
menyediakan air di musim kemarau bagi ternak dan pertanian rakyat kecil. MS menjadi satu-satunya bupati Ngada yang mengunjungi desa ini dengan naik
motor ketika jalan raya ke kampung ini rusak parah.
Selain itu, ketika terjadi penangkapan MS, saya sedang
melakukan penelitian tentang perubahan agraria di Mbay, Nagekeo, Flores. Karena
itu, saya mendengar keluh kesah para petani dan buruh tani di Mbay yang melihat
figur MS sebagai harapan masa depannya. Harapan mereka adalah agar apa yang
terjadi di Ngada, kabupaten tetangganya, bisa juga terjadi di Nagekeo khususnya
dan NTT umumnya. Misalnya, infrastruktur publik yang baik, terutama jalan raya
yang menghubungkan desa dan kota, air bersih dan peluang untuk anak-anaknya
yang berprestasi mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, atau bahkan sampai menjadi
dokter, tanpa ada diskriminasi, kolusi, dan nepotisme yang sejauh ini mereka
ketahui di kabupatennya sendiri. Sebab, tidak jarang, beasiswa-beasiswa di
daerah di NTT umumnya dan di sekolah-sekolah di kabupaten di NTT kerap menyasar
orang-orang yang dekat dengan rejim, kepala sekolah atau golongan menengah atas
yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.[2]
Begitu pula bantuan-bantuan alat-alat pertanian kerap
kali lebih menyasar
mereka yang dekat dengan rejim kekuasaan atau
mereka yang pandai membuat proposal.[3]
Menurut orang-orang kecil ini, hal seperti ini jarang, jika tak boleh mengatakan tidak sama sekali, terjadi di Ngada selama
kepemimpinan MS.[4]
Namun, reaksi dari masyarkat kelas menengah atas,
khususnya mereka yang berada pada jajaran birokrasi, dan para politisi yang
akan bertarung di pemilihan gubernur NTT tentu berbeda. Kelas menengah di NTT,
termasuk para intelektual, pada umumnya sepakat dengan penangkapan yang
dilakukan oleh KPK. Kalaupun mereka tidak setuju, mereka tidak berani berbicara
seperti golongan rakyat
kecil di muka karena,
bagi mereka, KPK tidak pernah keliru. Memang dimana-mana, posisi kelas
menengah cenderung ingin bermain aman. Apalagi, kebijakan pro-rakyat kecilnya MS tidak
terlalu bersinggungan langsung dengan kepentingan ekonomi politik
kelas menengah di NTT.
Kelas menengah di kalangan birokasi,
terutama yang merasa dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pro-rakyatnya MS sejauh ini, tentunya sangat senang dengan penangkapan MS. Kebijakan-kebijakan MS yang
merugikan birokrasi daerah sejauh ini adalah antara lain: pemotongan terhadap pengadaan alat-alat kantor yang cenderung
fiktif, pengetatan anggaran dan proyek-proyek kegiatan birokrasi yang “kurang
berguna” bagi rakyat kecil, pembatasan pemakaian mobil dinas untuk kepentingan
pribadi, kebebasan birokrat berjalan-jalan dan berbelanja di pasar harian dan
areal pertokoan Bajawa di jam kantor.
Misalnya, ketika sejak awal menjadi bupati Ngada
MS memotong 75% perjalanan dinas tak berguna, yakni dari Rp28 miliar per tahun
menjadi hanya Rp5 miliar per tahun . Selain itu, “[d]ari sebelumnya Rp24 miliar setahun,
sekarang operational cost kendaraan dinas turun menjadi Rp3
miliar lebih. Penghematannya mencapai Rp20-an miliar.” Apalagi MS, cenderung membangun relasi
yang baik dengan kepala desa agar anggaran daerah langsung turun ke masyarakat
akar rumput tanpa harus berbelit-belit dengan proses birokrasi di dinas-dinas
pemerintah kabupaten yang cenderung korup.
Karena alasan-alasan inilah kelas menengah di kalangan
birokasi baik di Ngada maupun NTT mungkin merasa senang dengan ditangkapnya MS
oleh KPK. Birokrasi di NTT yang cenderung korup selama ini sudah mulai “cemas”
ketika MS mencalonkan diri menjadi gubernur NTT.
Beberapa mahasiswa NTT yang sedang mengenyam studi baik di
Indonesia maupun di luar negeri merasa takut ketika harus kembali ke
birokrasi NTT saat studinya kelar karena mereka pasti akan “dilindas” oleh
birokrasi yang koruptif itu. [5]
Birokrasi yang koruptif itu tidak saja terjadi di birokrasi pemerintahan, tetapi
juga di birokrasi kampus. Seorang mahasiswi yang sedang menempu studi di luar
negeri, mengaku enggan pulang ke salah satu kampusnya di NTT, karena selama
bekerja di salah satu laboratorium penelitian di kampus itu, dia kerap
menemukan prilaku koruptif, bahkan oleh dosen-dosennya yang sudah sempat
mengenyam pendidikan di kampus-kampus ternama di luar negeri.[6]
Kelas menengah di institusi politik, terutama mereka yang
akan bertarung di pilkada gubernur NTT mendatang, tentu senang dengan
ditangkapnya MS. MS merupakan saingan terberat pada pasangan-pasangan yang
lain. Keberhasilannya memimpin Ngada di periode pertama dan dalam periode
keduanya telah membuat banyak masyarakat NTT, terutama rakyat kecil tertarik
dengan figur MS. Apalagi, MS cenderung dekat dengan raykat kecil, sebab mungkin
karena dia memang berasal dari kalangan rakyat kecil pertama dalam sejarah Flores, yang berhasil menjadi bupati di
Flores, yang mana akan saya jelaskan pada paragraf yang lain. Sebagai bagian dari rakyat kecil, komunikasi politik MS
dengan rakyat kecil mungkin kelihatan lebih jujur jika dibandingkan dengan
politisi yang lain di NTT, misalnya seperti yang terjadi pada debat calon
gubernur dan wakil gubernur pertama kali ini.
Mengapa MS lebih Pro-Rakyat?
Sebelum
pristiwa penangkapan oleh KPK, dalam bursa pertarungan pemilihan gubernur kali ini, banyak
pihak dan berdasarkan survey memprediksikan
MS(-Emi Nomleni) menjadi satu-satunya
pesaing kuat kali ini melawan tiga kandidat yang lain yakni
Esthon-Chris, Benny K Harman-Benny A Litelnoni, Viktor Bung Tilu
Laiskodat-Yosef Nae Soi. Kekuatan MS (dan Emi Nomleni) satu-satunya adalah
prestasi yang telah dilakukan di Ngada, yang mungkin tak bisa dibeli dengan
uang oleh ketiga pasangan calon gubernur yang lain.
Pertanyaannya, mengapa MS memiliki kebijakan politik yang
lain, yang cenderung lebih pro-rakyat kecil, jika dibandingkan
dengan para pejabat politik yang lain di NTT?
Mengapa figur yang pro-rakyat ini bisa ditangkap oleh KPK?
Untuk menjawabi dua pertanyaan ini, saya menggunakan pendekatan ekonomi politik dengan melihat latar
historis seorang MS, yang dijuliki oleh CNN
Indonesia sebagai ’Ahok’ dari Flores.
MS adalah seorang anak
dari keluarga miskin. Tetapi, sebagai anak dari keluarga miskin, MS
tetap bersekolah sambil bekerja sebagai buruh sampai tamat SMA Negeri, Bajawa
pada tahun 1985. Di SMA, MS pergi sekolah di pagi hari dan sorenya bekerja
sebagai buruh pencetak batu bata merah. Pada tahun 1986, MS ke Kupang dan
bekerja sebagai buruh gedung SDI Kelapa Lima dan buruh penggali sumur. Kemudian
MS kuliah di FKIP Undana Jurusan Administrasi Pendidikan, tetapi tidak lulus
karena kesulitan biaya kuliah.
Kegagalannya di Kupang mendorong MS merantau ke Bali. Di
Bali, MS bekerja sebagai cleaning service
di perusahan salah satu perusahaan cargo
sampai menjadi customer service.
Dengan pengalaman yang ada, MS kemudian berani membuka usah ekspor impornya
sendiri di Bali. Dari sinilah karir MS mulai menanjak naik. Ketika karirnya
semakin naik, tahun 1994, MS diundang bupati Ngada kala itu Yoachim Reo untuk
membangun Ngada. MS diajak pulang untuk membenahi tempat wisata air panas
Mengeruda Soa dengan kontrak 30 tahun dengan biaya investasi sebesar Rp4 miliar.
Tahun 1997, ketika proyek pembangunan wisata air panas
Mengeruda Soa hampir kelar, Joahanes Samping Aoh yang menggantikan Yoachim Reo
meminta agar kontrak dibuat ulang karena MS pendukung Yoachim Reo. MS akhirnya
bangkrut dan gulung tikar. Tahun 1998, MS kembali ke Bali dan bekerja lagi
sebagai buruh di sebuah bengkel las. Tahun 2000, MS membangun usaha furniture-nya sendiri. Karirnya pun
kembali naik. Pada tahun 2006, MS mulai berinvestasi di sektor produksi kayu di
Flores untuk usaha furniture-nya.
Tetapi MS tidak ingin bekerja sendiri, selain membeli tanah untuk menanam
pohon, MS juga bagikan bibit pohon secara gratis kepada masyarakat Ngada.
Selain itu, MS kembangkan juga program yang dikenal
Perak di kampung Zeu dan sekitarnya berupa memberi bantuan babi 400 ekor dan
sapi 50 ekor kepada keluarga miskin (KK). MS menjelaskan demikian: “Sapi anak pertama untuk saya. Anak
kedua untuk si KK miskin. Anak ketiga untuk saya. Anak keempat dan seterusnya
untuk si KK miskin. Tahun 2008, saya luncurkankan lagi 150 ekor, jadi 800 ekor.
Ini menyebar. Diberi cap MS. Dengan demikian mudah diawasi.”
Tahun 2008, MS masuk politik melalui partai PAN, dan
akhirnya terpilih menjadi bupati pada tahun 2010 dalam pilkada yang terjadi hanya satu kali putaran saja.
Pada tahun 2015, karena berasal dari golongan kelas bawah,
pada pemilihan bupati Ngada periode kedua, lawan politiknya menghembuskan isu
soal golongan kelas sosial tradisional Ngada. Sebab, berdasarkan budaya politik
Ngada, yang lebih pantas (berhak) memimpin hanyalah golongan kelas atas yang disebut gae, sedangkan golongan bawah seperti kelas gae-kisa (orang biasa, commoner)
dan ho’o (hamba) tidak pantas
memimpin.
Namun, hal ini tak digubris masyarakat Ngada dan, karena itu, MS menang telak dengan meraup suara 78 persen dalam satu
putaran saja di
pilkada dimaksud.
Berdasarkan penelitian saya tahun 2012, MS merupakan
satu-satunya bupati di Flores yang berasal bukan dari kelas atas dalam struktur
tradisional budaya Flores (lihat Table 1).[7]
Karena itu, menurut saya, selain karena bukan berasal dari kelas atas dan
pengalamannya menjadi buruh sejak muda membuat kebijakan-kebijakan politik MS
lebih pro-rakyat. Sebab, MS merasa menjadi bagian dari kelas bawah karena MS
sendiri lahir dan dibesarkan dari kelas bawah dalam struktur tradisional budaya
Flores. Kebijakan-kebijakan MS sebagai bupati yang pro-rakyat inilah yang
membuat banyak pihak, termasuk kelas menengah yang sudah lelah dengan budaya
koruptif institusi birokrasi dan politik, mendorongnya menjadi gubernur NTT.
Tabel 1 Bupati
di Flores dari 2005-2012
No
|
Kabupaten
|
Nama Bupati
|
Periode
Kepemimpian
|
Status Sosial
Tradisional Flores
|
Profesi Sebelum Menjadi Bupati
|
1
|
Manggarai
Barat
|
Agustinus Ch Dula
|
2010-2015
|
Keluarga bangsawan dari Dalu[8]
Kempo
|
Wakil bupati,
kepala dinas pariwisata di Kabupaten Ende.
|
2
|
Manggarai
|
Chris Rotok
|
2005-2010 dan
2010-2015
|
Keluarga
bangsawan dari salah satu Dalu di
Manggarai Timur.
|
Sekretariat
daerah di Manggarai Barat (birokrat senior)
|
3
|
Manggarai
Timur
|
Yosep Tote
|
2008-20013
|
Keluarga bangsawan dan tuan tanah dari Manggarai
Timur.
|
Kepala dinas pendidikan Manggarai selama kurang
lebih 10 tahun.
|
4
|
Ngada
|
Marianus Sae
|
2010-2015
|
Orang biasa, commoner, (gae kisa)
|
Buruh
bangunan, buruh gali sumur, buruh bengkel, cleaning service, customer
service, pengusaha (Flores Pos, Kompas, 18 Juni 2012).
|
5
|
Nagekeo
|
Joahanes
Samping Aoh
|
2008-2013
|
Keluarga bangsawan dari Mauponggo
|
Camat Boawae
dan Bupati Ngada
|
6
|
Ende
|
Don Wangge
|
2009-2014
|
Keluarga
bangsawan
|
Kepala dinas
pendidik Kabupaten Ende
|
7
|
Sikka
|
Sosimus Mitang
|
2008-2013
|
Keluarga
Bangsawan
|
Sekretaris
daerah kabupaten Sikka (birokrat senior)
|
8
|
Flores Timur
|
Yoseph
Lagadoni Heri
|
2011-2016
|
Keluarga bangsawan
|
Wakil bupati
dan wartawan
|
Sumber: diolah dari hasil penelitian penulis 2012
Pilkada Borjuis
Dengan kebijakan pro-rakyat yang ditunjukkan
oleh MS selama masa kepemimpinannya di Ngada membuat
banyak pihak,
terutama rakyat kecil di NTT, cenderung melihat penangkapan MS dalam persiapannya menjadi gubernur NTT kali ini lebih merupakan persoalan politik dari
pada persoalan hukum. Tetapi tidak demikian dengan kelas menengah, terutama
kelas menengah yang berasal dari partai politik yang berseberangan. Misalnya,
politisi NasDem Kabupaten Ngada, Dorohtea Dhone berkomentar bahwa “KPK tangkap Pak Marianus Sae itu murni
OTT. Tidak ada kaitannya dengan politik, karena KPK itu lembaga independen.
Tidak ada yang bisa intervensi KPK. Biar Presiden saja tidak bisa, sehingga
jangan sembarang kait mengait dengan politik.” Bagi saya, terlepas dari KPK adalah lembaga
indepeden yang tak bisa diintervensi oleh lembaga apapun di Indonesia, termasuk
presiden, penangkapan MS oleh KPK tetaplah persoalan politik, sebab “pilkada borjuis” yang mahal cenderung menyeret para
pihak yang bertarung ke dalam politik uang. Politik borjuis juga cenderung menghambat orang-orang tak
berduit untuk bertarung dalam politik. Pada titik inilah, penangkapan MS
merupakan sebuah persoalan politik. Pesoalan politik ini bukan saja berkaitan
dengan MS sendiri, tetapi juga melibatkan masyarakat NTT seluruhnya yang akan
mengalami efek negatif dari praktik-praktik “pilkada borjuis” yang licik.
Namun, dengan
peristiwa penangkapan MS oleh KPK, masyarakat NTT mungkin berpikir bahwa jika MS ditangkap karena diduga menerima
suap dari Wilhelmus Iwan Ulumbu untuk
kerja politiknya dalam pertarungan pilkada gubernur NTT kali ini, maka hal itu diduga bisa saja terjadi untuk pasangan (calon) bupati dan gubernur di NTT di masa kini, dulu dan akan datang, seperti halnya yang jamak terjadi di Indonesia. Apalagi
sekarang masyarakat NTT sedang menyongsong pesta demokrasi untuk memilih pasangan
bupati dan gubernurnya. Pemikiran seperti ini mungkin tidak sepenuhnya keliru.
Sebab, penelitian saya sejauh ini di Flores cenderung membenarkan pemikiran dan
dugaan khalayak umum di atas.
Dalam penelitian saya di Flores tahun
2013, saya menemukan bahwa peran pengusaha dalam gelanggang politik uang dalam pertarungan pilkada adalah sesuatu yang sudah
menjadi rahasia umum. Para pengusaha, terutama
pengusaha besar, di Flores biasanya “menginvestasikan” uangnya ke semua
pasangan yang bertarung di pilkada, tetapi mereka tetap cenderung membiayai
lebih besar calon pasangan yang diduga kuat memenangi pilkada.
Penelitian saya di awal tahun 2018 di Flores juga
menemukan hal yang sama bahwa suasana pilkada Nagekeo yang sedang berlangsung
saat ini juga masih didominasi dengan politik uang untuk
mendukung pihak-pihak yang sedang bertarung. Sebab, menjadi bupati dan gubernur
di NTT, yang adalah salah satu propinsi termiskin di
Indonesia
dengan biaya politik pilkada yang mahal, mungkin
sulit terealisir jika
para calon yang bertarung tidak bersandar pada bantuan dan sumbangan-sumbangan finansial dari pihak luar yang berduit, terutama para pengusaha.[9]
Karena itu, di NTT beberapa pihak
mensinyalir,
pilkada baik bupati maupun gubernur, di NTT didanai oleh para pengusaha lokal dan investor tambang, perkebunan dan pariwisata.
Namun politik
uang dalam pilkada seperti ini merupakan fakta yang sudah menjadi kebiasaan umum dalam gelanggang politik post-Soeharto di Indonesia hari ini. Karena itu, jika masyarakat
NTT ingin pilkada
yang bersih dan jujur agar bisa memenangkan calon pemimpin yang tumbuh dari
kelas pekerja yang pro-rakyat, maka, di
satu sisi, masyarakat di NTT, harus melawan sistem “pilkada borjuis” yang mahal dan penuh dengan intrik
licik yang koruptif. Di sisi lain, masyarakat
NTT juga harus berupaya agar figur-figur pro-rakyatnya tidak sampai jatuh ke
dalam permainan politik uang.
Salah
satu cara yang dilakukan oleh masyarakat NTT adalah melawan praktik politik
uang dalam bentuk apa pun, baik dalam masa kampanye maupun saat pencoblosan, di
pemilihan umum di daerah, baik dalam pemilihan legislatif, bupati dan gubernur.
Sebab, politik uang di NTT, seperti disinyalir banyak pihak, tidak saja
bersirkulasi di level elit di NTT, tetapi juga sudah menyebar ke level akar
rumput masyarakat bawah.[10] Perlawanan orang-orang kecil ini, jika dilakukan dengan serius dan masif, mungkin bisa
mengurangi praktik politik uang di NTT. Pada tahap awal, menurut saya, perlawanan
itu bisa dalam bisa dalam bentuk penolakan terhadap politik uang. Tetapi untuk
tahapan lebih lanjut, perlawanan itu harus termanifestasi dalam bentuk-bentuk
yang lebih radikal. Misalnya, perlawanan terhadap ekspansi kapital baik swasta,
pemerintah maupun gereja (Katolik dan Protestan) yang punya kekuatan mengeksklusi
masyarakat NTT. Perlawanan ini mungkin bisa terealisir jika dibarengi dengan munculnya
figur pemimpin yang pro-rakyat yang hadir melalui “politik nir-uang” yang mampu
membela masyarakat NTT dihadapan kekuatan kapital yang merusak.
Dengan
cara demikian mungkin pembangunan di NTT akan menjadi lebih lancar, walau tak
segampang yang diretorikakan oleh beberapa calon gubernur NTT dalam debat pertama pemilihan gubernur NTT kali ini. Misalnya, busung lapar dan gisi buruk di NTT bisa diatasi
dengan makan daun kelor;
infrastruktur publik di NTT bisa diselesaikan dalam waktu 3 tahun melalui utang;
pengentasan kemiskinan pendidikan entrepreneurial dan pemberian dana yang
dipinjam dari dari bank dengan bunga murah tanpa anggunan; dan menyelesaikan
kemiskinan di NTT dengan membangun sektor pariwisata dengan cara memberikan
kesempatan setinggi-tinggi kepada para pengusaha sehingga pendapatan rakyat dan
daerah bisa meningkat. Retorika-retorika ini kelihatannya manis dan cemerlang,
tetapi sejatinya jauh panggang dari api bagi pembangunan di NTT hari ini.
Akhirnya,
saya harus katakan bahwa saya sangat percaya pada kinerja KPK dalam menangani kasus MS. Karena itu, saya mengajak seluruh masyarakat NTT mesti
mendukung kerja dan kinerja KPK sambil menunggu hasil final dari keputusan KPK
terhadap MS. Penangkapan MS oleh KPK adalah pelajaran mahal bagi proses
demokrasi yang baik di NTT, baik bagi mereka yang bertarung dalam pilkada
maupun masyarakat yang terlibat aktif dalam menyukseskan pilkada.
Selamat
menyongsong pesta demokrasi di tahun 2018 untuk semua masyarakat NTT.
[1]Sebab, bagi MS, kerja sama dengan dokter dari rumah sakit di Bali
dan Jawa seperti Rumah Sakit Sanglah dan Sardjito terlalu
mahal dan dapat memboroskan biaya pengeluaran daerah baik dalam jangka pendek
maupun panjang.
[2]Wawancara dengan Rikus Meze (Bukan nama sebenarnya), Kupang,
16 Novemer 2015.
[3]Wawancara dengan Willem Siga (Bukan nama sebenarnya), Mbay,
27 Januari 2018.
[4]Wawancara dengan Niko Lako (Bukan nama sebenarnya), Boawae, 5
Januari 2018.
[5]Wawancara dengan Nanci Tida (Bukan Nama Sebenarnya), Sydney,
6 April 2018.
[6]Wawancara dengan Nina Toda (bukan nama sebenarnya),
Melbourne, 12 Oktober 2017.
[7]Stuktur kelas berdasarkan struktur tradisional sosial budaya
Flores ini tentu berbeda dengan struktur pembagian kelas dalam Marxisme.
Struktur kelas dalam budaya Flores ini lebih merupakan struktur
tradisional-feudal di Flores yang sudah membatu sejak lama dalam masyarakat
Flores, yang sudah jarang dibicarakan, tetapi masih dipertimbangkan dalam
hal-hal khusus berkaitan dengan proses penyelenggaraan adat, perkawinan dan
politik di daerah.
[8]Dalu adalau struktur pemerintah tradisional di bawah raja (kerajaan), yang
berkembang dan berfungsi pada masa penjajahan Belanda di Manggarai. Level Dalu adalah setingkat kecamatan pada
sistem pemerintahan modern di Flores hari ini.
[9]Wawancara dengan Maria Tidung (Bukan
nama sebenarnya), Boawae, 13 Feburari 2018.
[10]Wawancara dengan Maria Tidung (Bukan nama sebenarnya), Boawae, 13 Feburari 2018
Komentar