MENINGKATKAAN KUALITAS PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA PERBAIKAN SOSIAL GUNA MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA DALAM PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
By: Emilianus Yakob Sese Tolo
BAB I
PENDAHULUAN
Heraclitus, seorang filsuf Yunani, pernah mengatakan bahwa education is a second sun to its possessor. Dengan pernyataan ini Heraclitus menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi hidup manusia. Ia tak meragukan bahwa pendidikan adalah matahari kedua yang dapat memberi terang kepada manusia agar ia dapat berjalan pada jalan yang benar sebagai manusia yaang bermartabat.
Di Indonesia, tak dapat dipungkiri, pendidikan masih belum menunjukkan cahayanya yang sebenarnya. Cahayanya kian redup. Pendidikan belum melahirkan manusia sebagai manusia yang sungguh-sungguh mampu memaknai realitas diri dan lingkungaan sosialnya.
Hal ini terjadi karena lumpuhnya faktor-faktor penting dalam istitusi pendidikan. Faktor-faktor itu adalah antara lain lemahnya kemampuan finansial keluarga, kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, dan penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral dan spritual. Dengan lemahnya kemampuan finansial keluarga, anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak dapat melanjutkan studinya. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, banyak orang tua yang tidak bersedia menyekolahkan anak-anaknya. Dan penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral dan spiritual, sekolah hanya melahirkan pribadi-pribadi yang berilmu dan berintelek, tetapi tidak bermoral. Rendahnya moralitas dan mentalis yang berakhir pada maraknya praktik korupsi di Indonesia sesungguhnya berakar pada kultur pendidikan yang masih menghasilkan pola, budaya, dan mentalitas jalan pintas.
Tulisan ini berpretensi membahas meningkatkaan kualitas pendidikan sebagai upaya perbaikan sosial guna meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan. Tulisan ini akan diurutkan dalam urutan ini: Pertama, pendahuluan, sebagai pengantar untuk masuk dalam tulisan ini. Kedua, gambaran sekilas tentang pendidikan, yang meliputi: pengertian dan sejarah pendidikan, revolusi Kopernikan dalam pendidikan, matra-matra pendidikan, autoedukasi dan heteroedukasi. Ketiga, analisa fungsionalisme terhadap pendidikan, yang meliputi: fungsi pendidikan dan fungsi laten pendidikan formal. Keempat, meningkatkan kualitas pendidikan sebagai upaya perbaikaan sosial untuk meningkatkaan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan, yang meliputi: pendidikan yang berkualitas sebagai syarat lahirnya perubahan sosial, menciptakan pendidikan yang berkualitas sebagai upaya alternatif peningkatan daya saing bangsa dalam pembangunan berkelanjutan. Kelima, penutup, sebagai ringkasan dari tulisan ini.
BAB II
SEKILAS PANDANG TENTANG PENDIDIKAN
2.1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan
2.1.1. Pengertian
2.1.1.1. Arti Etimologis
Kata lain dari pendidikan adalah pedagogi. Istilah pedagogi berasal dari bahasa Yunani paidos yang berarti seni membimbing seorang anak. Umumnya istilah ini besinonim dengan ilmu pedidikan. Pendidikan adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang lahir dengan kemampuan tidak terbatas untuk bertindak tetapi tanpa kecakapan untuk menerjemahkan kemapuan itu kedalam perbuatan nyata.
Pendidikan merupakan fenomena khas manusia. Aktivitas belajar bukan monopoli mahasiswa pelajar. Setiap orang pada dasarnya harus tetap belajar dan dididik ,agar tetap hidup. Hanya manusia yang dapat dan harus mendidik dan dididik. Manusia pada awal kehiupannya di tengah buana tidak memiliki kecakapan apapun. Dia hanya memiliki kemampuaan untuk berkembang dalam berbagai hal. Kecakapan diperoleh lewat pendidikan dan proses belajar. Lewat pendidikan dan proses belajar dia serentak menspesialisasikan diri dalam berbagai pengetahuan dan keterampilan dan juga mengembangkan diri, menjadi suatu “aku”, menjadi “pribadi”. Pedidikan tidak hanya menjadikan seorang terampil tetapi juga pribadi yang matang.
Pengertian pendidikan selalu bergantung pada pengertian tentang manusia dan tujuan hidupnya. Jelas ada hubungan antara filsafat manusia dan teori pendidikan. Teori pendidikan merupakan mahkota logis dari antropologi metafisis dan etika. Sesudah memahami siapakah manusia dan apa tujuan akhir hidupnya harus diajukan pertanyaan tentang bagaimana mencapai tujuan akhir itu.
Pedagogi adalah teori praktis yang membuat refleksi atas sistem-sistem dan cara karya pendidikan dengan maksud menilai asumsi-asumsi dasar dan metode-metodenya. Dan itu bertujuan untuk menerangi dan membimbing karya para pendidik.
2.1.1.2. Arti Leksikal
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata pendidikan dibentuk dari kata dasar didik. Didik berarti mengajari seseorang supaya menjadi pandai dan berakhlak baik. Jadi pendidikan berarti hal atau cara yang membuat seseorang tidak saja menjadai pandai, tetapai juga berakhlak yang baik.
Dari pengertian di atas, kita dapat melihat bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan seorang pribadi sebagai pribadi yang pandai, juga berakhlak baik. Dalam proses pendidikan, seorang ditempa sedemikian rupa sehingga ia bisa menjadi manusia yang pintar, juga mempunyai integritas diri yang tinggi. Oleh karena itu, jika seorang pribadi yang telah melalui berbagai proses pendidikan hanya memiliki kemampuan intelektual semata-mata dan tidak memiliki moral yang baik, maka proses pendidikan itu dinyatakan tidak berhasil. Dikatakan tidak berhasil karena ia tidak mampu mencapai tujuan asalinya, yakni melahirkan pribadi yang pandai dan berakhlak baik. Pendidikan harus menghasilkan output yang memiliki integritas diri yang tinggi, siap belajar, bukan sekedar siap pakai demi melayani kepentingan industri, mendidik orang untuk secara bertahap menjadi dewasa secara indvidu, bisa berpikir sendiri, untuk mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri, dan akhirnya bertanggung jawab sendiri secara moral atas apa yang telah dilakukan.
2.1.2. Sejarah Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu istitusi yang sangat penting dalam proses sosialisasi. Sepanjang hidup, kita belajar banyak hal dari keluarga, kelompok-kelompok bermain, pemimpin agama, dan media massa. Tetapi sebagian besar proses belajar di dalam masyarakat diperoleh melalui sistem pendidikan formal. Pendidikan diartikan sebagai berbagai macam cara di dalam pengetahuan khusus, baik informasi faktual dan keterampilan maupun nilai-nilai dan norma budaya ditrasferkan kepada anggota masyarakat. Sebagian besar dari proses transfer nilai-nilai, norma-norma, informasi faktual, dan keterampilan ini di sekolah-sekolah. Karena itu, sekolah berarti tempat di mana anak-anak diajarkan tentang berabagai hal seperti yang telah disebutkan di atas oleh guru-guru yang terlatih mengikuti peraturan-peraturan yang sudah mapan.
Dalam masyarakat-masyarakat sederhana, khusus pada masyarakat pemburu dan pengumpul hasil hutan, tugas pendidikan ini dilakukan sepenuhnya oleh keluarga. Pada masa itu belum ada sekolah atau institusi-istitusi lainnya yang menangani pendidikan secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang dewasa diajarkan kepada anak oleh keluarganya masing-masing.
Dalam masyarakat agraris (perkembangan lanjut dari masyarakat berburu dan pengumpul hasil hutan) manusia sudah terlibat dalam pertanian, kerajinan tangan, dan perdangangan. Pada waktu itu, orang masih belum mengenal sekolah formal. Masing-masing bidang mengajarkan keterampilan kepada anak-anak yang ingin menguasai bidang itu. Petani mengajarkan cara bertani kepada anak dan pengrajin mengajarkan kerajinan tangan kepada anak-anaknya. Memang sudah ada pendidikan yang tidak punya hubungan dengan pekerjan. Tetapi pendidikan demikian hanya berlaku untuk anak-anak orang kaya. Pada jaman Yunani kuno, misalnya, Plato, Aristoteles, dan Socrates mendidik anak-anak orang kaya sebagai bagian dari kesenangan hidup karena sekolah yang berasal dari kata bahasa Yunani berarti kesenangan. Demikian juga dengan Confucius yaang mempunyai sejumlah murid yang berasal dari keluarga yang berbeda.
Selama abad pertengahan, Gereja menyelenggarakaan pendidikan untuk sebgaian besar penduduk dengan mendirikan sekolah-sekolah tinggi dan universitas. Tetapi sekolah tetap merupakan privilese orang-orang yang kaya di Eropa dan Amerika. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang menyelenggarakan pendidikan untuk massa supaya mereka bebas dari kebodohan dan buta huruf. Selain itu industri yang sudah mulai maju pada waktu itu menuntut pendidikan tinggi. Sejak itu waktu sekolah seperti yang dikenal dewasa ini tersebar luas baik di Amerika maupun Eropa dan negara-negara lainnya.
2.2. Revolusi Kopernikan dalam Pendidikan
Pedagogi modern telah membalikan hubungaan tradisional antara guru dan murid. Dalam proses pendidikan peran utama murid ditegaskan di hadapan guru. Pedagogi telah mengambilalih ungkapan “revolusi Kopernikan” untuk menunjukan perubahan radikal ini.
Apa arti “revolusi Kopernikan dalam pendidikan”? Seperti Kopernikus dalam bidang astronomi telah mengubah secara radikal pandangan lama yaang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta, dengan menegaskan bahwa matahari merupakan pusat alam semesta, demikian juga dalam bidaang pendidikan guru tidak lagi menjadi pusat kegiataan edukaatif, tetapi murid. Guru harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan murid. Guru harus menemukan kebutuhan itu dan menciptakan situasi yang tepat agar si anak dapat mengembangkan diri.
Dalam perspektif ini, pelaku utama, subjek dalam proses pendidikan adalah peserta didik. Kosep pendidikan seperti ini dikenal sebagai puerosentrisme (puer: anak; centrum: pusat). Peserta didk adalah makhluk yang aktif, pribadi yang orisinal. Yang dididik tidak hanya si anak, si remaja, kaum muda, tetapi manusia. Karena pendidikan tidak mengenal titik akhir, tanpa batas umur, tetapi berlanjut seumur hidup. Subjek pendidikan dengan itu juga adalah manusia. Dia adalah pribadi yang harus mengembangkan diri. Dia harus merealisasikan kepribadiannya. Kepribadian manusia merupakaan hasil pepaduan antara unsur-unsur yang dibawa sejak lahir, unsur-unsur yang diwariskan dari lingkungaan dan unsur-unsur yaang diperoleh lewat pengalaman dan proses belajar. Bagaimanapun struktur-struktur itu selalu dinamis dan karena itu kepribadian manusia merupakan kenyataan yang bersifat “plastis” dan dinamis yang ditentukan menurut sikap yang berbeda-beda berdasarkan situasi-situasi yang dihadapi dan dihayati individu secara konkret. Manusia tidak bisa dideterminasi oleh strukturnya yang asali, oleh esensinya, tetapi dapat menjadi lebih baik, lebih buruk; dia selalu dapat berubah. Dan kalau selalu ada kemungkinan untuk berubah, maka benar juga apa yang sudah dikatakan: “pendidikaan berlangsung seumur hidup”.
2.3. Matra-Matra Dasar Pendidikan
Ada tiga matra pendidikan. Pertama, matra personal: peserta didik adalah seorang pribadi dan bukan benda atau obyek, melainkan subyek dengan aktivitas dan kreativitas yang khas. Pendidikan harus memajukan pribadi dan membuat dia mengembangkan diri.
Kedua, matra sosial: pendidikan adalah suatu proses yang bersifat antar-subyektif dan sosial (relasi pendidik dan peserta didik). Pendidikan juga menyiapkan seseorang bagi kehidupan bersama, harmoni sosial dan kesejahteraan umum.
Ketiga, matra budaya: pendidikan mengalihkan dari generasi yaang satu ke generasi lain nilai-nilai yang telah diolah oleh generasi-generasi terdahulu dengan tujuan membuat setiap individu yaang menerima menjadi pribadi yang sanggup memberikan sumbangannya bagi peradaban.
2.4. Autoedukasi dan Heteroedukasi
Dalam pendidikan dibedakan antara autoedukasi dan heteroedukasi. Pertama, autoedukasi bermaksud menjamin pengembangan harmonis pelbagai daya dan kemampuan yang ada dalam diri peserta didik tanpa merujuk pada ideal-ideal yang telah ada. Secara negatif autoedukasi menolak campur tangan luar yang otoriter. Secara positif, autoedukasi memajukan spontanitas dan melindungi peserta didik dari pengaruh-pengaruh luar. Inilah pengertian instrinsik tentang pendidikan.
Kedua, hetero-edukasi bermaksud menyesuaikan subyek manusia dengan tuntutan-tuntutan struktur sosial, ekonomis, moral, agama, dan sebagainya. Penaikan mencapai sasarannya bila peseta didik tahu mengadaptasi diri dengan tatanan yang ada. Inilah pengertiaan ekstrinsik tentang pendidikan.
Ketiga, kedua konsepsi ini dapat didamaikan oleh pengertian yang utuh tentang pendidikan. Proses pendidikan mendasari tuntutan akan kebebasan, orisinalitas setiap pribadi tanpa menghapuskan kehadiran kondisi-kondisi sosial dan tuntutan lingkungan. Autoedukasi akan memberikan kematangan integral dan sadar melalui keterlibatan personal, sedangkan heteroedukasi membentuk dalam diri peseta didik kesadaran akan keterbatasannya dan memberikan kepadanya ukuran dan patokan tentang apa arti hidup bersama orang lain.
BAB III
ANALISA FUNGSIONALISME TERHADAP PENDIDIKAN
3.1. Fungsi Pendidikan
Sebgai salah satu agen dalam proses sosialisi, pendidikaan membantu individu-individu untuk dapat berintegrasi secara baik di dalam kehidupan masyarakat dan bisa berpartisipasi secara efektif di dalam kehidupan masyarakat itu. Adapun fungsi-fungsi utama pendidikan adalah sebagai berikut.
3.1.1. Sosialisasi
Hampir semua masyarakat mentransferkan cara hidup, nilai-nilai, norma-norma, dan pola tingkah laku dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat sederhana tugas menstransferkan semua itu dilakukan oleh keluarga. Tetapi perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kompleks menyebabkan muncul institusi-isnstitusi lain yang mengambil bagian dalam proses sosialisasi itu. Dalam masyarakat industri, hal itu menjadi lebih terasa lagi karena keluarga tidak sanggup menyediakan model pendidikan yang dibutuhkan oleh anak-anaknya karena itu dibutuhkaan pendidikan formal melalui sekolah. Di sekolah anak-anak didik oleh guru-guru yang sudah terlatih.
Seejak duduk di bangku sekolah dasar, anak mempelajari kemampuan berbahasa dan matematika yang mutlak perlu dalam masyarakat industri. Pelajaran ini berlangsung terus hingga SMP dan SMU. Oleh karena masyarkat industri berkembang secara cepat maka anak-aanak tidak cuma diajarkan fakta-faktaa melainkan juga cara-cara untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat yang berubah secara cepat. Melalui seekolah anak-anak belajar nlai-nilai dan norma-norma budayaa. Yang termasuk ke dalam nilai-nilai budaaya itu adalah juga nilai-nilai penting untuk negara. Itu sebabnya di sekolah-sekolah diajarkan pancasila undang-undang dasar, atau sejarah.
3.1. 2. Integrasi Sosial
Sekolah membantu menciptkan suatu masyarakat yang bersatu. Semua anggota masyarakat diajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang sudah terbukti merukunkan masyarakat dan menghindari terjadinya penyimpangan. Fungsi ini menjadi sangat penting untuk Indonesia dewasa ini ketikaa negeri ini terancam perpecahan dan beberapa daerah mau melepaslan diri. Dalam konteks ini setiap orang mau menjadi warga negara Indonesia diminta untuk mempelajari nilai-nilai budaya Indonesia yang secara formal termuat di dalam Pancasila dan mempelajari sejarah bangsa Indonesia. Semua ini bertujuan untuk membantu terciptanya inegrasi sosial.
3.1. 3. Penempatan Sosial
Pendidikan formal membantu menyalurkan anak-anak muda ke dalam status-status dan peran-peran yang sudah diakui oleh masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan membantu menempatkan individu ke dalam status sosial tertentu dengan perannya masing-masing. Guna mencapai tujuan tersebut maka pendidikan bertujuan untuk mengidnetifikasi dan mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan anak-anak. Hal ini berarti bahwa anak-anak yang paling mampu dianjurkan untuk mengambil pendidikan yang lebih tinggi sedangkaan anak-anak dengan kemampuan rata-rata mengambil jenis pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya. Karena itu pendidikan seharusnya membantu menciptkan masyarakat di mana posisi-posisi sossial didasarkan atas kemampuan dan usaha seseorang dan bukan latar belakang sosisal.
3.1. 4. Inovasi Budaya
Pendidikan tidak cuma menstranferkan nilai-nilai budaya melaainkan juga menciptakan budaya. Sekolah pasti mengajarkan ilmu pengetahuan yang sudah mapan dan melatih individu-individu untuk mengikuti norma-norma dan nilai-nilai konvensional. Tetapi di pihak lain sekolah juga menstimulasi pikiran-pikiraan kritis dan rasa ingin tahu pada individu-individu sehingga mereka bisa menjadi inovator. Guna mencapai tujuan tersebut, anak-anak sekolah atau para mahasiswa dibiasakan untuk melakukan penelitian dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Jadi, pendidikan formal bertujuan menciptakan penemuan-penemuan baru sambil tetap memperkuat nilai-nilai tradisional.
3.1. 5. Perbaikan Sosial
Tak disangkal bahwa sebuah tatanan sossial yang timpang akan dapat ditegakkan dengan mengupayakan pendidikan holistik. Pendidikan holistik tidak saja memperhatikaan aspek kognitif semata-mata, tetapi juga aspek emosional dan spritual. Pendidikan semacam ini akan melahirkan anak didik yang handal secara intelektual, juga moral dan spritual.
Dengan menghasilkan pribadi yang ideal, secara moral, intelektual dan spiritual, maka tatanan kehidupan yang rusak dan timpang akibat prilaku destruktif individu tertentu akan segera diperbaiki. Pribadi yang ideal akan selalu menjadi pribadi-prbadi yang aktif dalam memerangi pelbagai ketimpangan dalam masyarakat. Entah ketimpangan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuaan moral atau pun ketimpangaan yang disebabkan oleh kebodohaan dan ketidaktahuan akan hal penting lainnya.
3.2. Fungsi Laten Pendidikan Formal
Selain fungsi-fungsi yang disebutkan di atas yang menurut istilah Merton adalah fungsi-fungsi manifest atau konsekuensi-konsekuensi yang diperhitungkan, pendidikan formal juga memiliki fungsi-fungsi laten, yakni akibat-akibat yang tidak diperhitungkan. Salah satu fungsi laten dari pendidikan formal adalah tugas mengasuh anak. Dengan adanya pendidikan formal, tugas mengasuh anak-anak yang seharusnya dilakukan oleh orang tua dialihkan ke pendidikan formal. Dengan demikian orang tua dibebaskaan dari tugas-tugas seperti itu. Hal itu bisa terlihat di kota-kota besar di mana kita melihat bahwa sejak bayi anak itu sudah dititipkan pada pusat penitipan bayi dan ketika anak sudah mulai agak besar di dimasukan ke taman kanak-kanak dan selanjutnya sekolah dasar.
Fungsi laten lainnya dari pendidikan formal adalah menciptkan hubungan-hubungan sosial yang berlangsung lama. Sering kali sekolah-sekolah dan universitas-universitas menjadi ajang di mana orang menemukan jodoh. Di samping itu di universitas-universitas terdapat organisasi-organisasi yang mempunyaai pengaruh kuat terhadap anggota-anggotanya sehingga sekalipun sudah tamat dari situ, mereka tetap mempunyai hubungan yang akrab. Bandingkan dengan kelompok fraternities dan sorroriities di universitas-universitas. Kadang-kadang mereka membuat reuni berdasarkan kelompok fraternity dan sorrority atau berdasarkan angkatan.
BAB IV
MENINGKATKAAN KUALITAS PENDIDIKAN
SEBAGAI UPAYA PERBAIKAN SOSIAL GUNA MENINGKATKAN
DAYA SAING BANGSA DALAM PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
4.1. Pendidikan yang Berkualitas Sebagai Syarat Lahirnya Perubahan Sosial
Tak disangkal bahwa Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang, sudah dan masih dililiti oleh berbagai masalah klasik. Masalah klasik itu adalah ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan. Dan, masalah klasik ini sudah seharusnya ditanggulangi, dipecahkan dan diperbaiki dengan pelbagai kemungkinan.
Salah satu kemungkinan yang perlu di perhatikan adalah dengan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Kualitas dan mutu pendidikan tidak saja dilihat dari dimensi kuantitatif, tetapi juga dimensi kualitatif. Dengan menekankan pada aspek kualitatif, sekolah-sekolah dan universitas-universitas tidak saja mengkonsentraskan diri pada aspek kognitif-akademik, tetapi juga pada aspek moral dan spritual. Dari pendidikan ini dapat menghasilkan orang yang secara bertahap menjadi dewasa secara individu , bisa berpikir sendiri, mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri, dan akhirnya bertanggung jawab secara moral atas apa yang dilakukannya.
4.1.1. Pendidikan yang Menekankan Aspek Kognitif-Akademik
Proses pendidikan yang menekankan hanya pada aspek kognitif-akademik akan melahirkan seorang pribadi yang mampu berpikir kritis-rasional. Pribadi ini dapat memecahkan berbagai problem akademik dengan sangat eksak. Ia dapat menciptakan teori-teori yang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kehiduopan manusia.
Namun perlu diperhatikan bahwa pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif-akademik adalah pendidikan yang keliru. Ia tidak lagi merealisasikan tujuan utamanya, yakni melahirkan seorang pribadi yang pandai dan berakhlak baik. Dengan mengabaikan aspek lain yang dapat melahirkan seorang pribadi yang berakhlak baik, pendidikan itu tidak akan melahirkan pribadi yang ideal, yakni pribadi yang pandai dan berakhlak baik.
4.1.2. Pendidikan yang Hanya Menekankan Aspek Moral dan Spiritual.
Proses pendidikan yang hanya menekankan aspek moral dan spritual akan melahirkaan pribadi yang saleh dan santun. Pribadi ini dapat berpikir bersih dan jernih. Ia dapat memecahkan berbagai masalah-masalah yang berkenaan dengan bidang moral dan spritual.
Namun perlu diperhatikan bahwa pendidikan yang hanya menekankan aspek moral dan spiritual adalah pendidikan yang tidak benar. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang memperhatikan aspek kognitif-akademik, juga tidak mengabaikan aspek moral dan spritual. Dalam pendidikan, aspek moral-spritual dan aspeek kognitif-aakademik tidak dapat dilepaspisahkan. Keduanya memang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dilepaspisahkan satu sama lain dalam suatu proses pendidikan.
4.1.3. Pendidikan yang Menekankan Aspek Kognitif-Akademik dan Moral- Spritual
Pendidikan yang menekankan aspek kognitif-akademik dan moral spiritual adalaah pendidikan yang ideal. Pendidikan ini akan dapat melahirkan seorang pribadi yang ideal pula, yakni pribadi yang pandai dan berakhlak baik. Melahirkan pribadi yang pandai dan berakhlak baik adalah tujuan utama dari pendidikan itu sendiri. Setiap peserta didik ingin memperoleh pendidikan yang terbaik , sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan.Dengan ini menunjukan bahwa peserta didik mengetahui pendidikan yang bermtu dan baik bukan sesuatu taken for granted dapat diperoleh begitu saja melainkan harus dicapai dengan bekerja keras. Kesadaran bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan penting merupakan kesadaran pribadi yang berharga.
Dengan melahirkan pribadi yang pandai dan berakhlak baik, maka pendidikan itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berharga bagi suatu lingkungan sosial di mana pribadi itu berada. Pribadi yang pandai dan berakhlak baik akan mampu memaknai kenyataan lingkungan sosialnya dengan berbagai tindakan-tindakan konstruktif. Ia dapat memberi teladan bagi yang lain, dan serentak menjadi pribadi yang aktif dalam memerangi berbagai ketimpangan dan kebobrokan dalam masyarakat. Ia dapat melahirkaan suatu keadaan sosial yang baru, yakni keadaan sosial yang tidak diwarnaai oleh pelbagai tindakan dan keadaan destruktif.
4.1.4. Relevansi Pendidikan yang Menekankan Aspek Kognitif-Akademik dan Moral-Spritual di Indonesia
Jakob Oetama pernah mengatakan bahwa pendidikan memiliki posisi dan peran yang menentukan sebagai obat penyembuh bagi kondisi serba krisis dan kritis bangsa Indonesia. Pernyataan ini sesungguhnya mau menegaskan bahwa berbagai ketimpangan yang sedang melanda Indonesia hanya dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan dilihat sebagai obat yang dapat menyembuhkan Indonesia dari berbagai masalah yang sudah dan sedang berkecamuk.
Masalah klasik yang sedang meliliti Indonesia seperti ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan. Masalah kalasik ini sudah seharusnya ditanggulangi, dipecahkan dan diperbaiki dengan pelbagai kemungkinan.
Kemungkinan yang pertama dan terutama adalah dengan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Dengan kualitas dan mutu pendidikan yang tinggi, bangsa ini akan dapat keluar dari lingkaran krisis multidimensional. Pendidikan yang berkualitas dan bermutu tinggi mempersiapkan para generasi muda, yang adalah tulang punggung baangas ini, dengan pelbagai disiplin ilmu dan pendidikan moral dan spiritual yang memadai. Dengan persiapan ini para pemuda dan pemudi nantinya akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang akan mampu memimpin dan memerintah bangsa ini dengan budi yang jernih dan hati yang bersih.
Perlu disadari bahwa pelbagai krisis dan masalah yang melilit bangsa ini adalah akibat dari pendidkan yang salah dan keliru. Pendidikan yang hanya menekankan pada aspek kognitf-akademik dan mengabaikan aspek moral-spritual meyebabkan lahirnya individu yang hanya berintelek, tetapi tidak bermoral.
Pribadi yang tidak berintelek dan tidak bermoral inilah yang sering melakukan berbagai tindakan destruktif, seperti ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan, ketika mereka menjadi pemimpin. Bangsa yang dipimpin oleh seorang hanya hanya berintelek dan tidak bermoral, jangan berharap ada banyak kemajuan yaang berarti.
Ignas Kleden membenarkan kenyataan di atas. Dia menyatakan bahwa krisis multidimensional yaang sedang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh salahnya logika pendidikan. Menurut Ingnas, logika pendidikan kita adalah final logic per excellence. Final logic per excellence mengkonsentrasikan diri untuk mencapai target, tanpa mengindahkan proses.
Lebih lanjut, Ignas menambahkan bahwa logika pendidikan yang benar adalah efficient logic. Efficient logic lebih mengutamakan proses. Ia menyadari bekerja berarti melibatkan diri dalam proses, bukan pertama-tama untuk mencapai target. Target adalah sasaran yang yang ditetapkan sebagai titik tujuan, tetapi tujuan itu harus dimungkinkan oleh proses yang dilaluinya. Secara teknis-logis dapaat dikatakan bahwa pendidikan yaang baik hanya akibat dari proses yang diencanakan, dan bukan tujuan yang dicapai dengaan segala cara.
Dari pemaparaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia akan segera mengakhiri berbagai krisis hanya dengan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Kualitas dan mutu pendidikan itu sangat ditentukan oleh logika pendidikan yang oleh Ignas Kleden disebut efficient logic. Proses pendidikan akan membuahkan hasil yang memuaskan hanya bila ia sungguh memperhatikan proses, bukan target atau titik tujuan. Dalam proses itu, ia harus lebih memperhatikan aspek kognitif-akademik dan aspek moral-spiritual. Dengan melewati proses yang sungguh memperhatikan aspek kognitif-akademik dan aspek moral-spiritual, maka proses pendidikan itu akan dapat melahirkan generasi muda yang handal secara intelektual, moral dan spiritual. Generasi muda yang handal ini akan mampu menjadikan bangsa in sebagai bangsa yang merdeka dari berabagai krisis multidimensional.
4.2. Menciptakan Pendidikan yang Berkualitas Sebagai Upaya Alternatif
Peningkatan Daya Saing Bangsa Dalam Pembangunan Berkelanjutan
4.2.1. Menciptakan Pendidikan yang Berkualitas bagi Kaum Muda
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda adalah investasi pembangunan masa depan, sebaliknya rendahnya kualitas pendidikan akan mambawa katastrofi bagi pembangunan bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan membawa kemajuan bagi bangsa dan negara.
Hampir semua negara maju mempunyai sistem dan kualitas pendidikan yang maju pula. Misalkan, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang termaju di dunia. Kemajuan Amerika Serikat tidak terlepas dari pengaaruh pendidikan. Semakin tinggi mutu serta kualitas pendidikan di suatu negara, maka tidak menutup kemungkinan untuk semakin maju negara tersebut.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang sudah seharusnya membenah diri dalam bidang pendidikan. Dengan membenah diri dalaam bidang pendidikan Indonesia dapat melahirkan generasi-generasi muda yaang handal dan berkualitas. Anak muda yang adalah tulang punggung bangsa dan negara harus dipersiapkan sebaik-baiknya. Mereka harus ditempa dalam proses pendidikan yang baik, benar dan berkualitas.
Dengan menghasilkan generasi muda yang berkualitas secara intelektual dan spiritual, maka Indonesia akan bisa dibangun kembali. Membangun kembali Indonesia harus dimulai dengan menempa kaum muda dengan pendidikan yang handal, yakni pendidikan yang dapat membuat mereka pandai, juga berakhlak yang baik. Hanya dengan menghidupkan kaum muda dengan pelbagai disiplin ilmu yang membangun, Indonesia satu saat akan merdeka dari berbagai krisis dan masalah yang menindas.
4.2.2. Pendidikan yang Berkualitas Sebagai Syarat Peningkatan Daya Saing
Bangsa Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan, Indonesia mesti meningkatkan kualitas pendidikannya. Karena sesungguhnya pendidikan adalah ivestasi pembangunan masa depan. Kualitas pendidkan yang tinggi akan sangat membantu pekembangan dan kemajuaan bangsa.
Pendidikan yang berkualitas dapat menciptakaan perubahan sosial. Perubahan sosial yaang dimaksud adalah perubahan dari kebiasaan melakukaan tindakan destruktif, seperti ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan, menuju tindakan-tindakan yang bernada konstruktif, seperti kejujuran dan keadilan. Dengan generasi muda yang handal dan perubahan sosial ini, Indonesia dapat meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.
BAB V
PENUTUP
Harus diakui bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang paling sibuk berbenah. Di Indonesia, bidang ini memikul beban yang padat sebagaimana tertera dalam UUD 1945, GBHN, undang – undang, dan seluruh peraturan pendidikan. Saat ini dunia pendidikan di Indonesia berusaha membenah diri. Pemerintah mengalokasikan dana yang begiti besar untuk sektor perndidikan meskipun belum dapat menjangkau semua lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Oleh karena itu kesempatan belajar merupakan peluang berharga yang harus digunakan seoptimal mungkin oleh seluruh anak bangsa.
Pendidikan merupakan sendi utama untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini mengandung arti bahwa tanpa pendidikan yang berkualitas, maka pembangunan bangsa tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bangsa akan berkembang sebagaimana mestinya jika ditopang oleh pendidikan yang berkualitas bagi kaum muda yang merupakan tulang punggung bangsa dan negara.. Pemerintah menyadari bahwa pendidikaan merupakan salah satu hal penting sebagai upaya perbaikan sosial untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Pendidikan mempunyai fungsi yang sangat urgen bagi perkembangan wawasan dan kepribadian kaum muda yang adalah tulang punggung bangsa dan negara. Selain itu, pendidikan juga berfungsi untuk melahirkan perubahan sosial. Ketimpangan dan penyakit sosial yang sudah dan sedang bertumbuh dalam masyarakat akan segera disembuhkan dengan cara meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.
Tetapi, perlu juga diakui bahwa pendidikan di Indonesia masih belum menunjukkan fungsinya yang sebenarnya, yakni menciptakan masyarakat yang pandai dan berakhlak yang baik. Hal ini disebabkan oleh proses pendidikan yang terlalu menekan aspek kognitif-akademik, dan mengabaikan aspek moral dan spiritual.
Dengan menyadari realitas di atas, Indonesia perlu membenah diri, khususnya dalam bidang pendidikan. Agar anak didik meiliki pribadi yang bermoral dan utuh maka peran serta dari anak didik, orang tua, guru, dan atasan guru harus menyadari peran nya masing – masing demi terwujudnya tujuan pendidikan secara utuh. Proses pendidikan tidak saja menekankan aspek kognitif-akademik, tetapi juga aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu, pedidikan harus menghasilkan output yang memiliki intergritas diri yang tinggi, santun dan bermoral, siap belajar, mendidik orang untuk secara bertahap menjadi dewasa secara individu, bisa berpikir sendairi, mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri dan akhirnya bertanggungjawab sendiri secara moral atas apa yang teleh dilakukan. Reformasi pendidakan harus mengikis sifat instrumental dari pendidikan yang tidak mendidik orang untuk menjadi manusia dewasa dan bermoral. Hanya pendidikan semacam ini Indonesia mampu meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.
BAB I
PENDAHULUAN
Heraclitus, seorang filsuf Yunani, pernah mengatakan bahwa education is a second sun to its possessor. Dengan pernyataan ini Heraclitus menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi hidup manusia. Ia tak meragukan bahwa pendidikan adalah matahari kedua yang dapat memberi terang kepada manusia agar ia dapat berjalan pada jalan yang benar sebagai manusia yaang bermartabat.
Di Indonesia, tak dapat dipungkiri, pendidikan masih belum menunjukkan cahayanya yang sebenarnya. Cahayanya kian redup. Pendidikan belum melahirkan manusia sebagai manusia yang sungguh-sungguh mampu memaknai realitas diri dan lingkungaan sosialnya.
Hal ini terjadi karena lumpuhnya faktor-faktor penting dalam istitusi pendidikan. Faktor-faktor itu adalah antara lain lemahnya kemampuan finansial keluarga, kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, dan penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral dan spritual. Dengan lemahnya kemampuan finansial keluarga, anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak dapat melanjutkan studinya. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, banyak orang tua yang tidak bersedia menyekolahkan anak-anaknya. Dan penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek kognitif-akademik dan mengabaikan aspek moral dan spiritual, sekolah hanya melahirkan pribadi-pribadi yang berilmu dan berintelek, tetapi tidak bermoral. Rendahnya moralitas dan mentalis yang berakhir pada maraknya praktik korupsi di Indonesia sesungguhnya berakar pada kultur pendidikan yang masih menghasilkan pola, budaya, dan mentalitas jalan pintas.
Tulisan ini berpretensi membahas meningkatkaan kualitas pendidikan sebagai upaya perbaikan sosial guna meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan. Tulisan ini akan diurutkan dalam urutan ini: Pertama, pendahuluan, sebagai pengantar untuk masuk dalam tulisan ini. Kedua, gambaran sekilas tentang pendidikan, yang meliputi: pengertian dan sejarah pendidikan, revolusi Kopernikan dalam pendidikan, matra-matra pendidikan, autoedukasi dan heteroedukasi. Ketiga, analisa fungsionalisme terhadap pendidikan, yang meliputi: fungsi pendidikan dan fungsi laten pendidikan formal. Keempat, meningkatkan kualitas pendidikan sebagai upaya perbaikaan sosial untuk meningkatkaan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan, yang meliputi: pendidikan yang berkualitas sebagai syarat lahirnya perubahan sosial, menciptakan pendidikan yang berkualitas sebagai upaya alternatif peningkatan daya saing bangsa dalam pembangunan berkelanjutan. Kelima, penutup, sebagai ringkasan dari tulisan ini.
BAB II
SEKILAS PANDANG TENTANG PENDIDIKAN
2.1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan
2.1.1. Pengertian
2.1.1.1. Arti Etimologis
Kata lain dari pendidikan adalah pedagogi. Istilah pedagogi berasal dari bahasa Yunani paidos yang berarti seni membimbing seorang anak. Umumnya istilah ini besinonim dengan ilmu pedidikan. Pendidikan adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang lahir dengan kemampuan tidak terbatas untuk bertindak tetapi tanpa kecakapan untuk menerjemahkan kemapuan itu kedalam perbuatan nyata.
Pendidikan merupakan fenomena khas manusia. Aktivitas belajar bukan monopoli mahasiswa pelajar. Setiap orang pada dasarnya harus tetap belajar dan dididik ,agar tetap hidup. Hanya manusia yang dapat dan harus mendidik dan dididik. Manusia pada awal kehiupannya di tengah buana tidak memiliki kecakapan apapun. Dia hanya memiliki kemampuaan untuk berkembang dalam berbagai hal. Kecakapan diperoleh lewat pendidikan dan proses belajar. Lewat pendidikan dan proses belajar dia serentak menspesialisasikan diri dalam berbagai pengetahuan dan keterampilan dan juga mengembangkan diri, menjadi suatu “aku”, menjadi “pribadi”. Pedidikan tidak hanya menjadikan seorang terampil tetapi juga pribadi yang matang.
Pengertian pendidikan selalu bergantung pada pengertian tentang manusia dan tujuan hidupnya. Jelas ada hubungan antara filsafat manusia dan teori pendidikan. Teori pendidikan merupakan mahkota logis dari antropologi metafisis dan etika. Sesudah memahami siapakah manusia dan apa tujuan akhir hidupnya harus diajukan pertanyaan tentang bagaimana mencapai tujuan akhir itu.
Pedagogi adalah teori praktis yang membuat refleksi atas sistem-sistem dan cara karya pendidikan dengan maksud menilai asumsi-asumsi dasar dan metode-metodenya. Dan itu bertujuan untuk menerangi dan membimbing karya para pendidik.
2.1.1.2. Arti Leksikal
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata pendidikan dibentuk dari kata dasar didik. Didik berarti mengajari seseorang supaya menjadi pandai dan berakhlak baik. Jadi pendidikan berarti hal atau cara yang membuat seseorang tidak saja menjadai pandai, tetapai juga berakhlak yang baik.
Dari pengertian di atas, kita dapat melihat bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan seorang pribadi sebagai pribadi yang pandai, juga berakhlak baik. Dalam proses pendidikan, seorang ditempa sedemikian rupa sehingga ia bisa menjadi manusia yang pintar, juga mempunyai integritas diri yang tinggi. Oleh karena itu, jika seorang pribadi yang telah melalui berbagai proses pendidikan hanya memiliki kemampuan intelektual semata-mata dan tidak memiliki moral yang baik, maka proses pendidikan itu dinyatakan tidak berhasil. Dikatakan tidak berhasil karena ia tidak mampu mencapai tujuan asalinya, yakni melahirkan pribadi yang pandai dan berakhlak baik. Pendidikan harus menghasilkan output yang memiliki integritas diri yang tinggi, siap belajar, bukan sekedar siap pakai demi melayani kepentingan industri, mendidik orang untuk secara bertahap menjadi dewasa secara indvidu, bisa berpikir sendiri, untuk mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri, dan akhirnya bertanggung jawab sendiri secara moral atas apa yang telah dilakukan.
2.1.2. Sejarah Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu istitusi yang sangat penting dalam proses sosialisasi. Sepanjang hidup, kita belajar banyak hal dari keluarga, kelompok-kelompok bermain, pemimpin agama, dan media massa. Tetapi sebagian besar proses belajar di dalam masyarakat diperoleh melalui sistem pendidikan formal. Pendidikan diartikan sebagai berbagai macam cara di dalam pengetahuan khusus, baik informasi faktual dan keterampilan maupun nilai-nilai dan norma budaya ditrasferkan kepada anggota masyarakat. Sebagian besar dari proses transfer nilai-nilai, norma-norma, informasi faktual, dan keterampilan ini di sekolah-sekolah. Karena itu, sekolah berarti tempat di mana anak-anak diajarkan tentang berabagai hal seperti yang telah disebutkan di atas oleh guru-guru yang terlatih mengikuti peraturan-peraturan yang sudah mapan.
Dalam masyarakat-masyarakat sederhana, khusus pada masyarakat pemburu dan pengumpul hasil hutan, tugas pendidikan ini dilakukan sepenuhnya oleh keluarga. Pada masa itu belum ada sekolah atau institusi-istitusi lainnya yang menangani pendidikan secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang dewasa diajarkan kepada anak oleh keluarganya masing-masing.
Dalam masyarakat agraris (perkembangan lanjut dari masyarakat berburu dan pengumpul hasil hutan) manusia sudah terlibat dalam pertanian, kerajinan tangan, dan perdangangan. Pada waktu itu, orang masih belum mengenal sekolah formal. Masing-masing bidang mengajarkan keterampilan kepada anak-anak yang ingin menguasai bidang itu. Petani mengajarkan cara bertani kepada anak dan pengrajin mengajarkan kerajinan tangan kepada anak-anaknya. Memang sudah ada pendidikan yang tidak punya hubungan dengan pekerjan. Tetapi pendidikan demikian hanya berlaku untuk anak-anak orang kaya. Pada jaman Yunani kuno, misalnya, Plato, Aristoteles, dan Socrates mendidik anak-anak orang kaya sebagai bagian dari kesenangan hidup karena sekolah yang berasal dari kata bahasa Yunani berarti kesenangan. Demikian juga dengan Confucius yaang mempunyai sejumlah murid yang berasal dari keluarga yang berbeda.
Selama abad pertengahan, Gereja menyelenggarakaan pendidikan untuk sebgaian besar penduduk dengan mendirikan sekolah-sekolah tinggi dan universitas. Tetapi sekolah tetap merupakan privilese orang-orang yang kaya di Eropa dan Amerika. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang menyelenggarakan pendidikan untuk massa supaya mereka bebas dari kebodohan dan buta huruf. Selain itu industri yang sudah mulai maju pada waktu itu menuntut pendidikan tinggi. Sejak itu waktu sekolah seperti yang dikenal dewasa ini tersebar luas baik di Amerika maupun Eropa dan negara-negara lainnya.
2.2. Revolusi Kopernikan dalam Pendidikan
Pedagogi modern telah membalikan hubungaan tradisional antara guru dan murid. Dalam proses pendidikan peran utama murid ditegaskan di hadapan guru. Pedagogi telah mengambilalih ungkapan “revolusi Kopernikan” untuk menunjukan perubahan radikal ini.
Apa arti “revolusi Kopernikan dalam pendidikan”? Seperti Kopernikus dalam bidang astronomi telah mengubah secara radikal pandangan lama yaang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta, dengan menegaskan bahwa matahari merupakan pusat alam semesta, demikian juga dalam bidaang pendidikan guru tidak lagi menjadi pusat kegiataan edukaatif, tetapi murid. Guru harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan murid. Guru harus menemukan kebutuhan itu dan menciptakan situasi yang tepat agar si anak dapat mengembangkan diri.
Dalam perspektif ini, pelaku utama, subjek dalam proses pendidikan adalah peserta didik. Kosep pendidikan seperti ini dikenal sebagai puerosentrisme (puer: anak; centrum: pusat). Peserta didk adalah makhluk yang aktif, pribadi yang orisinal. Yang dididik tidak hanya si anak, si remaja, kaum muda, tetapi manusia. Karena pendidikan tidak mengenal titik akhir, tanpa batas umur, tetapi berlanjut seumur hidup. Subjek pendidikan dengan itu juga adalah manusia. Dia adalah pribadi yang harus mengembangkan diri. Dia harus merealisasikan kepribadiannya. Kepribadian manusia merupakaan hasil pepaduan antara unsur-unsur yang dibawa sejak lahir, unsur-unsur yang diwariskan dari lingkungaan dan unsur-unsur yaang diperoleh lewat pengalaman dan proses belajar. Bagaimanapun struktur-struktur itu selalu dinamis dan karena itu kepribadian manusia merupakan kenyataan yang bersifat “plastis” dan dinamis yang ditentukan menurut sikap yang berbeda-beda berdasarkan situasi-situasi yang dihadapi dan dihayati individu secara konkret. Manusia tidak bisa dideterminasi oleh strukturnya yang asali, oleh esensinya, tetapi dapat menjadi lebih baik, lebih buruk; dia selalu dapat berubah. Dan kalau selalu ada kemungkinan untuk berubah, maka benar juga apa yang sudah dikatakan: “pendidikaan berlangsung seumur hidup”.
2.3. Matra-Matra Dasar Pendidikan
Ada tiga matra pendidikan. Pertama, matra personal: peserta didik adalah seorang pribadi dan bukan benda atau obyek, melainkan subyek dengan aktivitas dan kreativitas yang khas. Pendidikan harus memajukan pribadi dan membuat dia mengembangkan diri.
Kedua, matra sosial: pendidikan adalah suatu proses yang bersifat antar-subyektif dan sosial (relasi pendidik dan peserta didik). Pendidikan juga menyiapkan seseorang bagi kehidupan bersama, harmoni sosial dan kesejahteraan umum.
Ketiga, matra budaya: pendidikan mengalihkan dari generasi yaang satu ke generasi lain nilai-nilai yang telah diolah oleh generasi-generasi terdahulu dengan tujuan membuat setiap individu yaang menerima menjadi pribadi yang sanggup memberikan sumbangannya bagi peradaban.
2.4. Autoedukasi dan Heteroedukasi
Dalam pendidikan dibedakan antara autoedukasi dan heteroedukasi. Pertama, autoedukasi bermaksud menjamin pengembangan harmonis pelbagai daya dan kemampuan yang ada dalam diri peserta didik tanpa merujuk pada ideal-ideal yang telah ada. Secara negatif autoedukasi menolak campur tangan luar yang otoriter. Secara positif, autoedukasi memajukan spontanitas dan melindungi peserta didik dari pengaruh-pengaruh luar. Inilah pengertian instrinsik tentang pendidikan.
Kedua, hetero-edukasi bermaksud menyesuaikan subyek manusia dengan tuntutan-tuntutan struktur sosial, ekonomis, moral, agama, dan sebagainya. Penaikan mencapai sasarannya bila peseta didik tahu mengadaptasi diri dengan tatanan yang ada. Inilah pengertiaan ekstrinsik tentang pendidikan.
Ketiga, kedua konsepsi ini dapat didamaikan oleh pengertian yang utuh tentang pendidikan. Proses pendidikan mendasari tuntutan akan kebebasan, orisinalitas setiap pribadi tanpa menghapuskan kehadiran kondisi-kondisi sosial dan tuntutan lingkungan. Autoedukasi akan memberikan kematangan integral dan sadar melalui keterlibatan personal, sedangkan heteroedukasi membentuk dalam diri peseta didik kesadaran akan keterbatasannya dan memberikan kepadanya ukuran dan patokan tentang apa arti hidup bersama orang lain.
BAB III
ANALISA FUNGSIONALISME TERHADAP PENDIDIKAN
3.1. Fungsi Pendidikan
Sebgai salah satu agen dalam proses sosialisi, pendidikaan membantu individu-individu untuk dapat berintegrasi secara baik di dalam kehidupan masyarakat dan bisa berpartisipasi secara efektif di dalam kehidupan masyarakat itu. Adapun fungsi-fungsi utama pendidikan adalah sebagai berikut.
3.1.1. Sosialisasi
Hampir semua masyarakat mentransferkan cara hidup, nilai-nilai, norma-norma, dan pola tingkah laku dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat sederhana tugas menstransferkan semua itu dilakukan oleh keluarga. Tetapi perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kompleks menyebabkan muncul institusi-isnstitusi lain yang mengambil bagian dalam proses sosialisasi itu. Dalam masyarakat industri, hal itu menjadi lebih terasa lagi karena keluarga tidak sanggup menyediakan model pendidikan yang dibutuhkan oleh anak-anaknya karena itu dibutuhkaan pendidikan formal melalui sekolah. Di sekolah anak-anak didik oleh guru-guru yang sudah terlatih.
Seejak duduk di bangku sekolah dasar, anak mempelajari kemampuan berbahasa dan matematika yang mutlak perlu dalam masyarakat industri. Pelajaran ini berlangsung terus hingga SMP dan SMU. Oleh karena masyarkat industri berkembang secara cepat maka anak-aanak tidak cuma diajarkan fakta-faktaa melainkan juga cara-cara untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat yang berubah secara cepat. Melalui seekolah anak-anak belajar nlai-nilai dan norma-norma budayaa. Yang termasuk ke dalam nilai-nilai budaaya itu adalah juga nilai-nilai penting untuk negara. Itu sebabnya di sekolah-sekolah diajarkan pancasila undang-undang dasar, atau sejarah.
3.1. 2. Integrasi Sosial
Sekolah membantu menciptkan suatu masyarakat yang bersatu. Semua anggota masyarakat diajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang sudah terbukti merukunkan masyarakat dan menghindari terjadinya penyimpangan. Fungsi ini menjadi sangat penting untuk Indonesia dewasa ini ketikaa negeri ini terancam perpecahan dan beberapa daerah mau melepaslan diri. Dalam konteks ini setiap orang mau menjadi warga negara Indonesia diminta untuk mempelajari nilai-nilai budaya Indonesia yang secara formal termuat di dalam Pancasila dan mempelajari sejarah bangsa Indonesia. Semua ini bertujuan untuk membantu terciptanya inegrasi sosial.
3.1. 3. Penempatan Sosial
Pendidikan formal membantu menyalurkan anak-anak muda ke dalam status-status dan peran-peran yang sudah diakui oleh masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan membantu menempatkan individu ke dalam status sosial tertentu dengan perannya masing-masing. Guna mencapai tujuan tersebut maka pendidikan bertujuan untuk mengidnetifikasi dan mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan anak-anak. Hal ini berarti bahwa anak-anak yang paling mampu dianjurkan untuk mengambil pendidikan yang lebih tinggi sedangkaan anak-anak dengan kemampuan rata-rata mengambil jenis pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya. Karena itu pendidikan seharusnya membantu menciptkan masyarakat di mana posisi-posisi sossial didasarkan atas kemampuan dan usaha seseorang dan bukan latar belakang sosisal.
3.1. 4. Inovasi Budaya
Pendidikan tidak cuma menstranferkan nilai-nilai budaya melaainkan juga menciptakan budaya. Sekolah pasti mengajarkan ilmu pengetahuan yang sudah mapan dan melatih individu-individu untuk mengikuti norma-norma dan nilai-nilai konvensional. Tetapi di pihak lain sekolah juga menstimulasi pikiran-pikiraan kritis dan rasa ingin tahu pada individu-individu sehingga mereka bisa menjadi inovator. Guna mencapai tujuan tersebut, anak-anak sekolah atau para mahasiswa dibiasakan untuk melakukan penelitian dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Jadi, pendidikan formal bertujuan menciptakan penemuan-penemuan baru sambil tetap memperkuat nilai-nilai tradisional.
3.1. 5. Perbaikan Sosial
Tak disangkal bahwa sebuah tatanan sossial yang timpang akan dapat ditegakkan dengan mengupayakan pendidikan holistik. Pendidikan holistik tidak saja memperhatikaan aspek kognitif semata-mata, tetapi juga aspek emosional dan spritual. Pendidikan semacam ini akan melahirkan anak didik yang handal secara intelektual, juga moral dan spritual.
Dengan menghasilkan pribadi yang ideal, secara moral, intelektual dan spiritual, maka tatanan kehidupan yang rusak dan timpang akibat prilaku destruktif individu tertentu akan segera diperbaiki. Pribadi yang ideal akan selalu menjadi pribadi-prbadi yang aktif dalam memerangi pelbagai ketimpangan dalam masyarakat. Entah ketimpangan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuaan moral atau pun ketimpangaan yang disebabkan oleh kebodohaan dan ketidaktahuan akan hal penting lainnya.
3.2. Fungsi Laten Pendidikan Formal
Selain fungsi-fungsi yang disebutkan di atas yang menurut istilah Merton adalah fungsi-fungsi manifest atau konsekuensi-konsekuensi yang diperhitungkan, pendidikan formal juga memiliki fungsi-fungsi laten, yakni akibat-akibat yang tidak diperhitungkan. Salah satu fungsi laten dari pendidikan formal adalah tugas mengasuh anak. Dengan adanya pendidikan formal, tugas mengasuh anak-anak yang seharusnya dilakukan oleh orang tua dialihkan ke pendidikan formal. Dengan demikian orang tua dibebaskaan dari tugas-tugas seperti itu. Hal itu bisa terlihat di kota-kota besar di mana kita melihat bahwa sejak bayi anak itu sudah dititipkan pada pusat penitipan bayi dan ketika anak sudah mulai agak besar di dimasukan ke taman kanak-kanak dan selanjutnya sekolah dasar.
Fungsi laten lainnya dari pendidikan formal adalah menciptkan hubungan-hubungan sosial yang berlangsung lama. Sering kali sekolah-sekolah dan universitas-universitas menjadi ajang di mana orang menemukan jodoh. Di samping itu di universitas-universitas terdapat organisasi-organisasi yang mempunyaai pengaruh kuat terhadap anggota-anggotanya sehingga sekalipun sudah tamat dari situ, mereka tetap mempunyai hubungan yang akrab. Bandingkan dengan kelompok fraternities dan sorroriities di universitas-universitas. Kadang-kadang mereka membuat reuni berdasarkan kelompok fraternity dan sorrority atau berdasarkan angkatan.
BAB IV
MENINGKATKAAN KUALITAS PENDIDIKAN
SEBAGAI UPAYA PERBAIKAN SOSIAL GUNA MENINGKATKAN
DAYA SAING BANGSA DALAM PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
4.1. Pendidikan yang Berkualitas Sebagai Syarat Lahirnya Perubahan Sosial
Tak disangkal bahwa Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang, sudah dan masih dililiti oleh berbagai masalah klasik. Masalah klasik itu adalah ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan. Dan, masalah klasik ini sudah seharusnya ditanggulangi, dipecahkan dan diperbaiki dengan pelbagai kemungkinan.
Salah satu kemungkinan yang perlu di perhatikan adalah dengan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Kualitas dan mutu pendidikan tidak saja dilihat dari dimensi kuantitatif, tetapi juga dimensi kualitatif. Dengan menekankan pada aspek kualitatif, sekolah-sekolah dan universitas-universitas tidak saja mengkonsentraskan diri pada aspek kognitif-akademik, tetapi juga pada aspek moral dan spritual. Dari pendidikan ini dapat menghasilkan orang yang secara bertahap menjadi dewasa secara individu , bisa berpikir sendiri, mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri, dan akhirnya bertanggung jawab secara moral atas apa yang dilakukannya.
4.1.1. Pendidikan yang Menekankan Aspek Kognitif-Akademik
Proses pendidikan yang menekankan hanya pada aspek kognitif-akademik akan melahirkan seorang pribadi yang mampu berpikir kritis-rasional. Pribadi ini dapat memecahkan berbagai problem akademik dengan sangat eksak. Ia dapat menciptakan teori-teori yang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kehiduopan manusia.
Namun perlu diperhatikan bahwa pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif-akademik adalah pendidikan yang keliru. Ia tidak lagi merealisasikan tujuan utamanya, yakni melahirkan seorang pribadi yang pandai dan berakhlak baik. Dengan mengabaikan aspek lain yang dapat melahirkan seorang pribadi yang berakhlak baik, pendidikan itu tidak akan melahirkan pribadi yang ideal, yakni pribadi yang pandai dan berakhlak baik.
4.1.2. Pendidikan yang Hanya Menekankan Aspek Moral dan Spiritual.
Proses pendidikan yang hanya menekankan aspek moral dan spritual akan melahirkaan pribadi yang saleh dan santun. Pribadi ini dapat berpikir bersih dan jernih. Ia dapat memecahkan berbagai masalah-masalah yang berkenaan dengan bidang moral dan spritual.
Namun perlu diperhatikan bahwa pendidikan yang hanya menekankan aspek moral dan spiritual adalah pendidikan yang tidak benar. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang memperhatikan aspek kognitif-akademik, juga tidak mengabaikan aspek moral dan spritual. Dalam pendidikan, aspek moral-spritual dan aspeek kognitif-aakademik tidak dapat dilepaspisahkan. Keduanya memang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dilepaspisahkan satu sama lain dalam suatu proses pendidikan.
4.1.3. Pendidikan yang Menekankan Aspek Kognitif-Akademik dan Moral- Spritual
Pendidikan yang menekankan aspek kognitif-akademik dan moral spiritual adalaah pendidikan yang ideal. Pendidikan ini akan dapat melahirkan seorang pribadi yang ideal pula, yakni pribadi yang pandai dan berakhlak baik. Melahirkan pribadi yang pandai dan berakhlak baik adalah tujuan utama dari pendidikan itu sendiri. Setiap peserta didik ingin memperoleh pendidikan yang terbaik , sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan.Dengan ini menunjukan bahwa peserta didik mengetahui pendidikan yang bermtu dan baik bukan sesuatu taken for granted dapat diperoleh begitu saja melainkan harus dicapai dengan bekerja keras. Kesadaran bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan penting merupakan kesadaran pribadi yang berharga.
Dengan melahirkan pribadi yang pandai dan berakhlak baik, maka pendidikan itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berharga bagi suatu lingkungan sosial di mana pribadi itu berada. Pribadi yang pandai dan berakhlak baik akan mampu memaknai kenyataan lingkungan sosialnya dengan berbagai tindakan-tindakan konstruktif. Ia dapat memberi teladan bagi yang lain, dan serentak menjadi pribadi yang aktif dalam memerangi berbagai ketimpangan dan kebobrokan dalam masyarakat. Ia dapat melahirkaan suatu keadaan sosial yang baru, yakni keadaan sosial yang tidak diwarnaai oleh pelbagai tindakan dan keadaan destruktif.
4.1.4. Relevansi Pendidikan yang Menekankan Aspek Kognitif-Akademik dan Moral-Spritual di Indonesia
Jakob Oetama pernah mengatakan bahwa pendidikan memiliki posisi dan peran yang menentukan sebagai obat penyembuh bagi kondisi serba krisis dan kritis bangsa Indonesia. Pernyataan ini sesungguhnya mau menegaskan bahwa berbagai ketimpangan yang sedang melanda Indonesia hanya dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan dilihat sebagai obat yang dapat menyembuhkan Indonesia dari berbagai masalah yang sudah dan sedang berkecamuk.
Masalah klasik yang sedang meliliti Indonesia seperti ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan. Masalah kalasik ini sudah seharusnya ditanggulangi, dipecahkan dan diperbaiki dengan pelbagai kemungkinan.
Kemungkinan yang pertama dan terutama adalah dengan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Dengan kualitas dan mutu pendidikan yang tinggi, bangsa ini akan dapat keluar dari lingkaran krisis multidimensional. Pendidikan yang berkualitas dan bermutu tinggi mempersiapkan para generasi muda, yang adalah tulang punggung baangas ini, dengan pelbagai disiplin ilmu dan pendidikan moral dan spiritual yang memadai. Dengan persiapan ini para pemuda dan pemudi nantinya akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang akan mampu memimpin dan memerintah bangsa ini dengan budi yang jernih dan hati yang bersih.
Perlu disadari bahwa pelbagai krisis dan masalah yang melilit bangsa ini adalah akibat dari pendidkan yang salah dan keliru. Pendidikan yang hanya menekankan pada aspek kognitf-akademik dan mengabaikan aspek moral-spritual meyebabkan lahirnya individu yang hanya berintelek, tetapi tidak bermoral.
Pribadi yang tidak berintelek dan tidak bermoral inilah yang sering melakukan berbagai tindakan destruktif, seperti ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan, ketika mereka menjadi pemimpin. Bangsa yang dipimpin oleh seorang hanya hanya berintelek dan tidak bermoral, jangan berharap ada banyak kemajuan yaang berarti.
Ignas Kleden membenarkan kenyataan di atas. Dia menyatakan bahwa krisis multidimensional yaang sedang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh salahnya logika pendidikan. Menurut Ingnas, logika pendidikan kita adalah final logic per excellence. Final logic per excellence mengkonsentrasikan diri untuk mencapai target, tanpa mengindahkan proses.
Lebih lanjut, Ignas menambahkan bahwa logika pendidikan yang benar adalah efficient logic. Efficient logic lebih mengutamakan proses. Ia menyadari bekerja berarti melibatkan diri dalam proses, bukan pertama-tama untuk mencapai target. Target adalah sasaran yang yang ditetapkan sebagai titik tujuan, tetapi tujuan itu harus dimungkinkan oleh proses yang dilaluinya. Secara teknis-logis dapaat dikatakan bahwa pendidikan yaang baik hanya akibat dari proses yang diencanakan, dan bukan tujuan yang dicapai dengaan segala cara.
Dari pemaparaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia akan segera mengakhiri berbagai krisis hanya dengan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Kualitas dan mutu pendidikan itu sangat ditentukan oleh logika pendidikan yang oleh Ignas Kleden disebut efficient logic. Proses pendidikan akan membuahkan hasil yang memuaskan hanya bila ia sungguh memperhatikan proses, bukan target atau titik tujuan. Dalam proses itu, ia harus lebih memperhatikan aspek kognitif-akademik dan aspek moral-spiritual. Dengan melewati proses yang sungguh memperhatikan aspek kognitif-akademik dan aspek moral-spiritual, maka proses pendidikan itu akan dapat melahirkan generasi muda yang handal secara intelektual, moral dan spiritual. Generasi muda yang handal ini akan mampu menjadikan bangsa in sebagai bangsa yang merdeka dari berabagai krisis multidimensional.
4.2. Menciptakan Pendidikan yang Berkualitas Sebagai Upaya Alternatif
Peningkatan Daya Saing Bangsa Dalam Pembangunan Berkelanjutan
4.2.1. Menciptakan Pendidikan yang Berkualitas bagi Kaum Muda
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda adalah investasi pembangunan masa depan, sebaliknya rendahnya kualitas pendidikan akan mambawa katastrofi bagi pembangunan bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan membawa kemajuan bagi bangsa dan negara.
Hampir semua negara maju mempunyai sistem dan kualitas pendidikan yang maju pula. Misalkan, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang termaju di dunia. Kemajuan Amerika Serikat tidak terlepas dari pengaaruh pendidikan. Semakin tinggi mutu serta kualitas pendidikan di suatu negara, maka tidak menutup kemungkinan untuk semakin maju negara tersebut.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang sudah seharusnya membenah diri dalam bidang pendidikan. Dengan membenah diri dalaam bidang pendidikan Indonesia dapat melahirkan generasi-generasi muda yaang handal dan berkualitas. Anak muda yang adalah tulang punggung bangsa dan negara harus dipersiapkan sebaik-baiknya. Mereka harus ditempa dalam proses pendidikan yang baik, benar dan berkualitas.
Dengan menghasilkan generasi muda yang berkualitas secara intelektual dan spiritual, maka Indonesia akan bisa dibangun kembali. Membangun kembali Indonesia harus dimulai dengan menempa kaum muda dengan pendidikan yang handal, yakni pendidikan yang dapat membuat mereka pandai, juga berakhlak yang baik. Hanya dengan menghidupkan kaum muda dengan pelbagai disiplin ilmu yang membangun, Indonesia satu saat akan merdeka dari berbagai krisis dan masalah yang menindas.
4.2.2. Pendidikan yang Berkualitas Sebagai Syarat Peningkatan Daya Saing
Bangsa Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan, Indonesia mesti meningkatkan kualitas pendidikannya. Karena sesungguhnya pendidikan adalah ivestasi pembangunan masa depan. Kualitas pendidkan yang tinggi akan sangat membantu pekembangan dan kemajuaan bangsa.
Pendidikan yang berkualitas dapat menciptakaan perubahan sosial. Perubahan sosial yaang dimaksud adalah perubahan dari kebiasaan melakukaan tindakan destruktif, seperti ketidakadilan sosial, KKN, diskriminasi, permainan kotor di kalangan pejabat, pihak yang terlibat suap menyuap dan perusakan lingkungan, menuju tindakan-tindakan yang bernada konstruktif, seperti kejujuran dan keadilan. Dengan generasi muda yang handal dan perubahan sosial ini, Indonesia dapat meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.
BAB V
PENUTUP
Harus diakui bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang paling sibuk berbenah. Di Indonesia, bidang ini memikul beban yang padat sebagaimana tertera dalam UUD 1945, GBHN, undang – undang, dan seluruh peraturan pendidikan. Saat ini dunia pendidikan di Indonesia berusaha membenah diri. Pemerintah mengalokasikan dana yang begiti besar untuk sektor perndidikan meskipun belum dapat menjangkau semua lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Oleh karena itu kesempatan belajar merupakan peluang berharga yang harus digunakan seoptimal mungkin oleh seluruh anak bangsa.
Pendidikan merupakan sendi utama untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini mengandung arti bahwa tanpa pendidikan yang berkualitas, maka pembangunan bangsa tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bangsa akan berkembang sebagaimana mestinya jika ditopang oleh pendidikan yang berkualitas bagi kaum muda yang merupakan tulang punggung bangsa dan negara.. Pemerintah menyadari bahwa pendidikaan merupakan salah satu hal penting sebagai upaya perbaikan sosial untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Pendidikan mempunyai fungsi yang sangat urgen bagi perkembangan wawasan dan kepribadian kaum muda yang adalah tulang punggung bangsa dan negara. Selain itu, pendidikan juga berfungsi untuk melahirkan perubahan sosial. Ketimpangan dan penyakit sosial yang sudah dan sedang bertumbuh dalam masyarakat akan segera disembuhkan dengan cara meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.
Tetapi, perlu juga diakui bahwa pendidikan di Indonesia masih belum menunjukkan fungsinya yang sebenarnya, yakni menciptakan masyarakat yang pandai dan berakhlak yang baik. Hal ini disebabkan oleh proses pendidikan yang terlalu menekan aspek kognitif-akademik, dan mengabaikan aspek moral dan spiritual.
Dengan menyadari realitas di atas, Indonesia perlu membenah diri, khususnya dalam bidang pendidikan. Agar anak didik meiliki pribadi yang bermoral dan utuh maka peran serta dari anak didik, orang tua, guru, dan atasan guru harus menyadari peran nya masing – masing demi terwujudnya tujuan pendidikan secara utuh. Proses pendidikan tidak saja menekankan aspek kognitif-akademik, tetapi juga aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu, pedidikan harus menghasilkan output yang memiliki intergritas diri yang tinggi, santun dan bermoral, siap belajar, mendidik orang untuk secara bertahap menjadi dewasa secara individu, bisa berpikir sendairi, mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri dan akhirnya bertanggungjawab sendiri secara moral atas apa yang teleh dilakukan. Reformasi pendidakan harus mengikis sifat instrumental dari pendidikan yang tidak mendidik orang untuk menjadi manusia dewasa dan bermoral. Hanya pendidikan semacam ini Indonesia mampu meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Komentar