SUMBANGAN KONSTRUKTIF FILSAFATFALSIFIKASI KARL RAIMUND POPPER BAGI TERCIPTANYA KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS DI INDONESIA
Sebuah Ringkasan
Emilianus Yakob Sese Tolo
Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang tidak bisa terlepas dari praksis kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hampir di setiap kelompok sosial mulai dari level yang paling sederhana sampai pada level yang paling kompleks membutuhkan kehadiran seorang pemimpin untuk mengatur dan menata kehidupan sosial agar dapat berjalan sesuai dengan aturan normatif yang ada sehingga cita-cita bersama dapat tercapai.
Namun, dalam kenyataan faktual sering ditemukan ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sikap dan tindakan para pemimpin itu sendiri. Pemimpin menjadi biang onar yang mengganggu keseimbangan sosial. Akibatnya, rakyat hidup dalam situasi kemelaratan dan penderitaan. Ketidakadilan sosial terjadi di mana-mana. Ruang publik menjadi tidak berfungsi secara maksimal.
Kenyataan buram citra kepemimpinan sebagaimana dilukiskan di atas juga sering terjadi di Indonesia. Pemimpin yang diharapkan untuk membangun semangat kebangsaan justru tidak bisa berbuat apa-apa. Moralitas dan intelektualitas para pemimpin tidak bisa diandalkan. Virus kekerasan seenaknya disebarkan di mana-mana oleh para pemimpin. Kritik dan pelbagai koreksi yang ditujukan kepada pemimpin mudah dimentahkan dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dampak paling fatal dari litani kebobrokan para pemimpin ini adalah penderitaan rakyat banyak khususnya masyarakat sederhana. Penderitaan yang mereka terima itu disebabkan oleh hilangnya hak-hak dasariah yang mesti mereka nikmati. Hak-hak itu dirampas secara tak bertanggung jawab oleh para pemimpin. Aktus perampasan ini adalah suatu tragedi kekerasan di mana rakyat dijadikan sebagai obyek kekuasaan yang dieksploitasi sesuka hati.
Melihat kenyataan destruktif ini, maka solusi alternatifnya yang merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia mesti lekas dicari secepatnya. Jika terlambat, maka kenyatan lebih buruk akan datang menimpa bangsa ini.
Berkaitaan dengan solusi alternatif itu, saya melihat bahwa filsafat falsifikasi Karl Popper amat aktual dan relevan untuk dijadikan sebagai solusi alternatifnya. Sebab intisari dari filsafaf Popper adalah “kritik”, yang dalam bahasa Popper disebut falsifikasi. Bagi Popper, kritik amat penting bagi perkembangan dan kemajuan manusia dalam pelbagai dimensi kehidupan. Tanpa kritik kehidupan manusia menjadi hampa dan tanpa arah.
Dalam kaitannya dengan realitas kepemimpinan, kritik, baik otokritik maupun kritik publik, mempunyai peran yang amat urgen dan fundamental. Kebobrokan kiprah kepemimpinan di Indonesia disinyalir penulis sebagai akibat dari lemahnya manajemen sistem kepemimpinan yang tidak profesional yang disebabkan oleh tumpulnya kritik publik dan otokritik yang jelas dan tegas dari pemimpin itu sendiri. Hilangnya kritik publik dan otokritik menyebabkan ideal pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat kurang nampak dalam kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat senantiasa hidup dalam situasi kemiskinan dan kemelaratan di tengah kekayaan alam yang melimpah. Aspirasi rakyat bawah (grassroots level) sering tidak dijawabi secara rasional dan bertanggung jawab oleh pemerintah.
Melihat kenyataan dunia yang demikian, bagi Popper, falsifikasi politis, dalam hal ini pemimpin politis, mesti dilakukan agar dapat terwujudnya pemimpin ideal yang didambakan oleh seluruh masyarakat. Sebab, otokritik dan kritik publik adalah dua elemen yang mendekatkan pemimpin pada esensi dan kodratnya sebagai manusia yang berakal budi (ens rationale).
Lebih jauh, falsifikasi politis ini dapat diartikan sebagai kritik politis yang dapat dilakukan baik oleh pemimpin itu sendiri (otokritik), maupun oleh masyarakat politis (kritik publik). Kritik masyarakat politis ini dapat disuarakan melalui forum publik, pers dan ekspresi sastra. Dan diharapkan, kritik masyarakat politis seperti ini dapat melahirkan otokritik pemimpin itu sendiri yang amat berguna bagi kehidupan sosial, bangsa dan negara.
Pada titik ini, menjadi jelas bahwa kritik publik dan otokritik dalam kaitaannya dengan proses kepemimpinan menjadi amat penting. Sebab, keberadaan seorang pemimpin bukanlah suatu keberadaan yang luput dari kesalahan dan kelemahan. Dia bukan pemilik kebenaran. Dia adalah pencari kebenaran yang tak pernah mengenal kata final.
Melalui filsafat falsifikasi yang senantiasa mengandalkan kritik seperti ini, saya yakin bahwa ideal kepemimpinan dari, oleh dan untuk rakyat yang dicita-citakan oleh seluruh masyarkat Indonesia dapat terealisir. Namun, hal itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Ia senantiasa menagih tanggung jawab, usaha dan kerja keras dari seluruh masyarakat Indonesia.
Emilianus Yakob Sese Tolo
Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang tidak bisa terlepas dari praksis kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hampir di setiap kelompok sosial mulai dari level yang paling sederhana sampai pada level yang paling kompleks membutuhkan kehadiran seorang pemimpin untuk mengatur dan menata kehidupan sosial agar dapat berjalan sesuai dengan aturan normatif yang ada sehingga cita-cita bersama dapat tercapai.
Namun, dalam kenyataan faktual sering ditemukan ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sikap dan tindakan para pemimpin itu sendiri. Pemimpin menjadi biang onar yang mengganggu keseimbangan sosial. Akibatnya, rakyat hidup dalam situasi kemelaratan dan penderitaan. Ketidakadilan sosial terjadi di mana-mana. Ruang publik menjadi tidak berfungsi secara maksimal.
Kenyataan buram citra kepemimpinan sebagaimana dilukiskan di atas juga sering terjadi di Indonesia. Pemimpin yang diharapkan untuk membangun semangat kebangsaan justru tidak bisa berbuat apa-apa. Moralitas dan intelektualitas para pemimpin tidak bisa diandalkan. Virus kekerasan seenaknya disebarkan di mana-mana oleh para pemimpin. Kritik dan pelbagai koreksi yang ditujukan kepada pemimpin mudah dimentahkan dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dampak paling fatal dari litani kebobrokan para pemimpin ini adalah penderitaan rakyat banyak khususnya masyarakat sederhana. Penderitaan yang mereka terima itu disebabkan oleh hilangnya hak-hak dasariah yang mesti mereka nikmati. Hak-hak itu dirampas secara tak bertanggung jawab oleh para pemimpin. Aktus perampasan ini adalah suatu tragedi kekerasan di mana rakyat dijadikan sebagai obyek kekuasaan yang dieksploitasi sesuka hati.
Melihat kenyataan destruktif ini, maka solusi alternatifnya yang merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia mesti lekas dicari secepatnya. Jika terlambat, maka kenyatan lebih buruk akan datang menimpa bangsa ini.
Berkaitaan dengan solusi alternatif itu, saya melihat bahwa filsafat falsifikasi Karl Popper amat aktual dan relevan untuk dijadikan sebagai solusi alternatifnya. Sebab intisari dari filsafaf Popper adalah “kritik”, yang dalam bahasa Popper disebut falsifikasi. Bagi Popper, kritik amat penting bagi perkembangan dan kemajuan manusia dalam pelbagai dimensi kehidupan. Tanpa kritik kehidupan manusia menjadi hampa dan tanpa arah.
Dalam kaitannya dengan realitas kepemimpinan, kritik, baik otokritik maupun kritik publik, mempunyai peran yang amat urgen dan fundamental. Kebobrokan kiprah kepemimpinan di Indonesia disinyalir penulis sebagai akibat dari lemahnya manajemen sistem kepemimpinan yang tidak profesional yang disebabkan oleh tumpulnya kritik publik dan otokritik yang jelas dan tegas dari pemimpin itu sendiri. Hilangnya kritik publik dan otokritik menyebabkan ideal pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat kurang nampak dalam kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat senantiasa hidup dalam situasi kemiskinan dan kemelaratan di tengah kekayaan alam yang melimpah. Aspirasi rakyat bawah (grassroots level) sering tidak dijawabi secara rasional dan bertanggung jawab oleh pemerintah.
Melihat kenyataan dunia yang demikian, bagi Popper, falsifikasi politis, dalam hal ini pemimpin politis, mesti dilakukan agar dapat terwujudnya pemimpin ideal yang didambakan oleh seluruh masyarakat. Sebab, otokritik dan kritik publik adalah dua elemen yang mendekatkan pemimpin pada esensi dan kodratnya sebagai manusia yang berakal budi (ens rationale).
Lebih jauh, falsifikasi politis ini dapat diartikan sebagai kritik politis yang dapat dilakukan baik oleh pemimpin itu sendiri (otokritik), maupun oleh masyarakat politis (kritik publik). Kritik masyarakat politis ini dapat disuarakan melalui forum publik, pers dan ekspresi sastra. Dan diharapkan, kritik masyarakat politis seperti ini dapat melahirkan otokritik pemimpin itu sendiri yang amat berguna bagi kehidupan sosial, bangsa dan negara.
Pada titik ini, menjadi jelas bahwa kritik publik dan otokritik dalam kaitaannya dengan proses kepemimpinan menjadi amat penting. Sebab, keberadaan seorang pemimpin bukanlah suatu keberadaan yang luput dari kesalahan dan kelemahan. Dia bukan pemilik kebenaran. Dia adalah pencari kebenaran yang tak pernah mengenal kata final.
Melalui filsafat falsifikasi yang senantiasa mengandalkan kritik seperti ini, saya yakin bahwa ideal kepemimpinan dari, oleh dan untuk rakyat yang dicita-citakan oleh seluruh masyarkat Indonesia dapat terealisir. Namun, hal itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Ia senantiasa menagih tanggung jawab, usaha dan kerja keras dari seluruh masyarakat Indonesia.
Komentar