Sumbangan Sastra Sebagai Kritik Sosial Bagi Terciptanya Kepemimpinan Demokratis di Indonesia dalam Terang Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper

“Criticism is the main motive force of any intellectual
development. Without criticism there would be no rational motive
for changing our theories, there would be no intellectual progress”.

By: Emilianus Yakob Sese Tolo


I. Pengantar

Hampir di semua dimensi kehidupan, dunia kita saban hari senantiasa bertapak ke arah perkembangan yang lebih maju. Oleh karaena itu, tidak heran, jika manusia dengan bangga mengukuhkan dirinya sebagai the lord and the Owner atas dunia dan seluruh isinya. Namun, seiring dengan kebanggaan itu, ada aneka nilai dan way of life yang konstruktif sifatnya runtuh berkeping-keping di bawah bayang-bayang kesombongan manusia yang terlena dengan aneka kemajuan yang justru membawa dampak yang mendua.
Fakta kemajuan dunia yang mestinya mempermudah manusia untuk memanusiakan dirinya secara holistik tidak terealisir sebagaimana mestinya. Para pemimpin publik yang diharapkan bisa menyelamatkan kemelut ini justru ikut terseret dalam arus kemajuan yang membuat mereka menjadi tidak becus dan tidak bertanggung jawab atas tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin. Perbuatan dan tindakannya sering betentangan dengan esensi kepemimpinan yang sebenarnya. Sebagai dampak destuktifnya adalah bahwa realitas sosial hampir selalu menampakkan diri sebagai momok yang menakutkan. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial muncul bagai cendawan di musim hujan, dan bahkan menjadi penyakit sosial yang sudah mencapai level yang memprihatinkan.
Di tengah tampilan dunia dan realitas sosial yang kian redup pesona kemanusiaannya yang disebabkan oleh kemajuan dunia yang membawa dampak yang mendua dan diperburuk oleh mental dan tingkah laku pemimpin yang nihil prikemanusiaan, maka pertanyaan yang muncul adalah: apa solusi alternatif yang mesti diambil? Sesungguhnya, ada aneka tawaran solutif yang bisa diambil. Namun, menurut penulis, Karl Raimund Popper, filsuf kontemporer, telah menawarkan jalan keluarnya yang kritis-rasional melalui filasafat falsifikasinya yang menekankan soal kritik, yakni otokritik dan kritik publik.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mensenyawakan filsafat falsifikasi Popper dengan kiprah sastra sebagai kritik sosial bagi praksis kepemimpinan seorang pemimpin. Hemat penulis, efektivitas sastra sebagai media kritik mampu melahirkan kepemimpinan yang demokratis, khususnya di Indonesia. Pemimpin yang demokratis adalah pemimpin yang selalu membuka diri terhadap otokritik dan kritik sosial demi perkembangan dan kemajuan ke arah yang lebih baik dan lebih manusiawi.

II. Riwayat Hidup Karl Raimund Popper dan Karya Intelektualnya

Karl Raimund Popper adalah seorang filsuf kontemporer yang mempunyai karakter yang agak lain dari para filsuf kontemporer lainnya karena filsafatnya mempunyai corak filsafat aksi (philosophy of action). Ia lahir di Wina-Austria, 28 Juli 1902 dari keluarga kelas menengah. Kedua orang tuanya berketurunan Yahudi dan beragama Kristen. Ia dididik dalam nuansa didikan Lutheran dan disekolahkan di University of Vienna, dan mendapat gelar PhD dalam bidang filsafat pada tahun 1928, dan mulai mengajar matematika dan fisika pada sekolah menegah dari tahun 1930-1936.
Ayahnya, Dr. Simon Sigmund Carl Popper, seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat dan masalah-masalah sosial. Beliau juga seorang bibliofil yang memiliki 12.000-14.000 koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Rupanya situasi keluarga dan minat ayahnya yang demikian amat mempengaruhi petualangan intelektualnya. Ia menjadi anak yang tenang dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca. Karena kegemarannya membaca maka tidak heran jika ia menjadi anak yang pintar dan kemudian menjadi filsuf yang mempunyai kemampuan dan originalitas yang tinggi.
Popper adalah filsuf kontemporer yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam dunia ilmu pengetahuan. Melalui teori Filsafat falsifikasi ilmu pengetahuannya, ia memberikan pencerahan pada dunia ilmu pengetahuan yang pada masanya terkesan kaku dan tidak membangun. Untuk menjelaskan teorinya ini, ia menulis beberapa buku dan banyak artikel. Buku-bukunya yang berkaitan dengan pengetahuan adalah sebagai berikut: Logik der Forschung (The logic of Discovery) (1934), Conjectures and Refutation: The Growth of Scientific Knowledge (1963), Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (1972). Namun, walaupun ia memiliki pengaruh yang besar pada bidang ilmu pengetahuan, ia juga mempunyai minat yang cukup tinggi pada bidang sosial dan politik. Bukunya yang paling menyinggung soal sosial dan politik ini adalah The Poverty of Historicism (1957) dan The Open Society and Its Enemies.
Minat politik Popper sudah mulai nampak sejak remaja. Awalnya Popper adalah seorang Marxis, dan oleh karena itu ia amat antusias dengan Social Democrat. Ia masuk dalam kelompok sayap kiri (left-wing). Namun ketika gejolak politik di Wina mulai memanas pada tahun 1930 dan oposisi kiri terhadap fasisisme hancur, Popper mulai menjadi lebih kritis terhadap Marxisme. Dalam bukunya, The Open Society and Its Enemies (Vol.II, pp. 164-165) Popper mengeritik Marxisme demikian:
Since the revolution was bound to come, fascism could only be one of the means of bringing it about; and it was more particularly so since the revolution was clearly long overdoe. Russia had already had it in spite of its backward economic conditions. Only the vain hopes created by democracy were holding it back in the more advanced countries. Thus the destruction of democracy through the fascists could only promote the revolution by achieving the ultimate disillusionment of the workers in regard to democracy methods. With this, the radical wing of Marxism felt that it had discovered the “essence” and “the true historical role” of fascism. Fascism was, essentially, the last stand of bourgeoisie. Acordingly, the Communists did not fight when the fascists seized power. (Nobody expected the social democrats to fight). For the Communists were sure that the proletarian revolution was overdue and that the fascist interlude, necesary for its speeding up, could not last longer then a few months. Thus no action was required from the Communists. They were harmless. There was never a “communist danger” to the fascist conquest of power.

Kritik terhadap Marxisme akhirnya dikembangkan secara sistematis dalam bukunya The Open Society and Its Enemies. Memang bukan hanya Marxisme yang ditentang oleh Popper. Ada beberapa filsafat ortodoks yang dikritik oleh Popper seperti Positivisme Logis, Determinisme dan Filsafat Bahasa. Popper berargumen bahwa tidak ada subject matters, tetapi yang ada hanya problem dan keinginan kita untuk memecahkan problem itu. Popper katakan bahwa teori-teori ilmu pengetahuan tidak bisa diverivikasi secara total, mereka hanya bisa disangkal secara tentatif. Oleh karena itu, menurut Popper, filsafat yang paling baik ada filsafat yang senantiasa berada dalam problem dan usaha untuk memecahkan problem itu.
Oleh karena itu, berkaitan dengan kritik Popper terhadap Marxisme, Isaiah Berlin katakan bahwa Filsafat Popper adalah filsafat yang paling melahirkan penyangkalan yang mengancurkan terhadap Marxisme (the most devasting refutation of Marxism). Kemapanan Marxisme diganggu oleh Popper karena ia terlalu menekankan aspek ekonomi dan mengabaikan aspek lainnya yang juga mempunyai pengaruh fundamental bagi hidup manusia
Dalam perjalanan hidupnya, Popper pernah mengalami kekejaman dan keganasan Nazi. Oleh karena itu, pada tahun 1937, karena ancaman Nazi, Popper terpaksa beremigrasi ke New Zeeland. Di sana ia menjadi pengajar pada Canterbury University College New Zeeland. Di New Zeeland, ia tidak bertahan lama. Pada tahun 1946, ia pindah ke Inggris untuk berkarir sebagai pengamat dalam bidang logika dan metode ilmu pengetahuan pada London School of Economics, dan pada tahun 1949 ia ditunjuk menjadi profesor pada sekolah tersebut.
Popper adalah anggota dari Academy of Humanism, dan mengakui dirinya sebagai seorang agnostik yang senantiasa mengahargai ajaran-ajaran moral Yudaisme dan Kristianitas. Popper juga pernah menjadi presiden dari Aristotelian Society dari tahun 1958 sampai tahun 1959. Pada tahun 1965, dia diberi gelar bangsawan oleh ratu Elisabeth II. Dia juga dipilih menjadi seorang Fellow of the Royal Society pada tahun 1976. Sejak tahun 1969, dia pensiun dari dunia akademik, akan tetapi ia tetap menjadi seorang intelektual hingga akhir hayatnya
Sebagai seorang Filsuf yang berbakat Popper memenangi banyak penghargaan dalam bidangnya. Pada tahun 1982, Popper dianugerahi pengahargaan Insignia of a Companion of Honour oleh Ratu Elisabeth II. Selain itu, ia juga memenangi beberapa penghargaan seperti: Lippincott Award of the American Politican Science Association, Sonning Prize, Felloship in the Royal Society, British Academy, London School of Economics, King’s College London, dan Darwin College Cambridge. Austria menganugerahi Popper Grand Decoration of Honour in Gold.
Pada tanggal 17 September 1994, Popper meninggal dunia. Setelah upacara kremasi, abu hasil kremasi jasad Popper (Popper Ashes) diambil dan dibawa ke Wina dan dikuburkan di pekuburan Lainz berdekatan dengan ORF Center, dimana istrinya yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya di Austria dikuburkan.
III. Secuil Tentang Filsafat Falsifikasi Popper (Popper’s Philosophy)
3.1. Filsafat Ilmu Pengetahuan (Philosophy of Science)
3.1.1Sumber-sumber Pengetahuan (The Sources of Knowledge)
Popper adalah Filsuf kontemporer yang mempunyai sumbangan pemikiran yang sangat signifikan dalam merumuskan metode dan sistem pengetahuan manusia. Sebelum merumuskan esensi filsafat ilmu pengetahuannya, Popper mencoba untuk berbicara tentang masalah klasik yang cukup kontroversial pada masanya. Masalah klasik itu adalah masalah sumber pengetahuan (Sources of Knowledge) yang diwakili oleh dua aliran besar dalam sejarah filsafat pengetahuan yakni empirisisme dan rasionalisme.
Praksisnya kontroversi itu terjadi antara filsuf-filsuf Inggris -seperti Bacon, Locke, Berkeley, Hume dan Mill- dan filsuf daratan Continental -seperti Descartes, Spinoza dan Leibniz. Berhadapan dengan kontroversi tentang sumber pengetahuan ini maka Popper mencoba bertindak seperti Immanuel Kant untuk menjembatani keduanya. Popper berpendapat bahwa baik kaum rasionalis maupun kaum empiris sama-sama jatuh pada ekstrim yang membawa mereka pada kekeliruan. Menurutnya, baik penampakan empiris maupun kapasitas intelektual merupakan sumber pengetahuan. Sintesis antara yang empiris dan yang rasional akan melahirkan pengetahuan yang benar bagi manusia. Atas alasan itu maka Popper katakan demikian:
I shall try to show of the two schools of empiricism and rationalism that their differences are much smaller than their similarities, and that both are mistaken. I hold that they are mistaken although I am myself an empiricist and a rationalist of sorts. But I believe that, thugh observation and reason have each an important role to play, these roles hardly resemble those which their clasical defenders attributed to them. More especially, I shall try to show that neither observation nor reason can be described as source of knowledge, in the sense of in which they have been claimed to be sources of knowledge, down to the present day.

Bagi Popper apa yang telah dibuat oleh para pemikir besar seperti Hume, Kant, Descartes, John Locke dan beberapa pemikir besar lainnya adalah suatu kekeliruan. Kalau kita mengamati secara sistematis dan teliti tentang diskursus sumber pengetahuan dalam sejarah ilmu pengetahuan maka kita akan menemukan bahwa kaum rasionalis memiliki pandangan yang jauh lebih radikal dan ekstrim dibandingkan dengan kaum empirisisme. Kaum rasionalis dengan penuh percaya diri bahwa sumber satu-satunya pengetahuan adalah ratio manusia. Karena sumber pengetahuan adalah ratio maka pengetahuan itu harus dicari dalam alam pikirian atau ratio itu (in the realm of the mind). Tidak ada sumber lain di luar ratio manusia. Semetara itu, kaum empiris memang percaya bahwa pengetahuan bersumber pada pengalaman empiris, namun mereka masih memberi ruang kepada kapasitas intelektual sebagai sumber pengetahuan seperti dalam praksis ilmu matematika.
Kelihatannya Popper mendamaikan kontroversi klasik tentang sumber pengetahuan. Dia membuat sintesis kritis-rasional tentang sumber pengetahuan itu sendiri. Dia mengakui kedua sumber pengetahuan itu sama-sama valid. Oleh karena itu, Popper tidak ragu-ragu berkata: I am myself an empiricist and a rationalist of sorts. Namun sintesa yang dibuat oleh Popper ini berbeda dengan apa yang telah dibuat oleh Kant sebelumnya. Memang Kant membuat sintesa dan mendamaikan rasionalime dan empirisisme, namun dalam praksisnya Kant lebih cendrung bertindak sebagai seorang rasionalis.
Selain itu, Popper juga menyadari bahwa bukan hanya dua aliran tersebut di atas yang mewarnai perkembangan pengetahuan manusia dewasa ini. Ada satu aliran lain, yaitu aliran yang menekankan faktor-faktor psikologis dalam munculnya hipotesis atau teori. Misalnya, aliran Psikologi Gestalt mempunyai peran penting dalam menjelaskan peran intuisi dan peran imaginasi kreatif dalam mengungkapkan dan merumuskan suatu teori.
Menurut Popper aliran psikologis pengetahuan ini memang mempunyai andil dalam membantu manusia untuk mengetahui apa dan bagaimana pengetahuan itu terjadi. Namun, apa yang menjadi sumbangan psikologi pengetahuan itu tidak sama sekali membantu manusia untuk mengetahuai dan memastikan bahwa pengetahuan baru itu benar atau tidak. Rupanya psikologi pengetahuan lebih berusaha untuk memecahkan persoalan quid facti, sebuah masalah yang berkaitan dengan apa yang diketahui dan apa yang tidak dapat diketahuai.
Akan tetapi bagi Popper, persoalan filsafat ilmu pengetahuan kurang berkaitan dengan hal apa yang dapat dan tidak dapat diketahui oleh manusia, melainkan lebih berkaitan dengan persoalan quid iuris, suatu persoalan mengenai keabsahan dan kebenarannya. Oleh karena penekanan pada persoalan quid iuris ini maka, menurut Popper, pengetahuan manusia mesti senantiasa dikritik agar dapat mendekati kebenaran. Kebenaran ilmiah hanya dapat diketahui melalui kritik dan pengujian atas pernyataan ilmiah yang manusia miliki.

3.1.2. Masalah induksi
Metode induksi adalah metode yang sering digunakan oleh kaum positivis untuk menjelaskan teori-teorinya, termasuk teori tentang ilmu pengetahuan manusia. Dalam kaitannya dengan metodologi ilmu pengetahuan, induksi memiliki dua peranan besar. Pertama, induksi adalah metode yang dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis. Induksi, dalam hal ini, dapat disebut sebagai klasifikasi atau generalisasi. Dalam proses generalisasi itu, hipotesis merupakan sebuah konsep umum yang ditarik dari pengetahuan tentang data empiris yang ada. Kedua, induksi adalah sebuah metode pragmatis untuk membuktikan apakah hipotesis itu dapat diterima atau tidak dalam suatu masyarakat ilmiah.
Namun, meskipun positivisme yakin bahwa induksi adalah metode yang valid dan baik, tetapi, menurut Popper, justru tidak valid secara logis. Bagi Popper, kaum positivis melalui metode induksi ingin menekankan bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman yang menyodorkan fakta-fakta empiris. Fungsi fakta-fakta itu adalah untuk membantu ilmuwan untuk menarik suatu kesimpulan yang lebih umum. Atau dengan kata lain, fakta-fakta itu diambil untuk membenarkan atau memverivikasi teori yang sudah ada. Tetapi, dengan mekanisme seperti demikian, ilmuwan hanya mau menunjukkan bahwa induksi adalah suatu proses psikologis. Dan karena ia didasarkan pada aspek psikologis ini maka apa yang dihasilkan oleh kaum positivis melalui metode induksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara logis-ilmiah.
Mengapa kebenaran kesimpulan induktif umumnya tidak valid secara logis? Misalkan pristiwa A diikuti oleh pristiwa B pada suatu kesempatan. Dari pernyataan ini tidak bisa ditarik kesimpulan secara logis bahwa pristiwa A akan diikuti oleh pristiwa B pada kesempatan lain. Tetapi kalau ada fakta bahwa peristiwa A sering diikuti oleh peristiwa B, kita bisa tarik suatu kesimpulan bahwa peristiwa A selalu diikuti oleh pristiwa B adalah benar. Namun kesimpulan benar di sini tidak ditarik secara logis, melainkan secara psikologis. Atau bisa dikatakan bahwa hal itu adalah fakta psikologis bukan fakta logis.
Hume adalah seorang filsuf yang sempat berbicara tentang problem induksi. Bagi Hume, Matahari telah terbit pada hari-hari yang telah lewat, tidak berarti bahwa esok hari Matahari akan terbit. Mungkin melalui ilmu fisika mutakhir dapat diprediksi bahwa esok hari Matahari akan terbit seperti hari sebelumnya. Tetapi prediksi itu tidak otomatis benar, sebab alam mempunyai hukum yang misterius dan ilmu fisika itu memiliki keterbatasannya.
Untuk menjelaskan persoalan itu, Hume menjelaskan sebagai berikut. Pertama, kenyataan hukum fisika telah menyata dan berlaku di masa lalu, namun ia tidak secara logis mengharuskan bahwa hukum itu akan berlaku di masa yang akan datang. Kedua, hukum-hukum fisika itu sendiri merupakan pernyataan-pernyataan umum yang tidak secara logis dibentuk dari contoh-contoh hasil pengamatan, betapa pun banyaknya fakta yang diajukan untuk mendukungnya.
Berdasarkan pejelasan Hume itu, ia berkesimpulan bahwa memang tidak mungkin membuktikan validitas prosedur induktif. Namun karena konstitusi psikologis manusia bekerja sedemikian rupa sehingga tak bisa tidak manusia berpikir menurut prisip induksi. Tampaknya bahwa prinsip ini sering berlaku dalam praksis hidup manusia, dan oleh karena itu manusia mengikutinya secara take for granted. Namun, semua hal itu mau menunjukkan bahwa melalui metode induktif hukum ilmiah secara rasional tidak memiliki dasar yang kokoh, baik dalam logika maupun dalam pengalaman.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana pemecahan Popper dalam kaitannya dengan problem induksi ini? Sesungguhnya Popper menggantikan metode induksi dengan metode deduktif. Menurutnya, metode deduktif mempunyai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis, dan sebaliknya metode induksi. Dalam kaitannya dengan metode induktif Popper pernah katakan demikian:
I said first that I did not believe in induction at all, even though I believe in learning from experience, and in empiricism without Kantian limits which Russell proposed. This statement, which I formulated as briefly and as pointedly as I could with the halting English at my disposal, was well received by the audience who, it appears, took it as a joke, and laughed.

Karena Popper menolak metode induksi maka ia menggantikannya dengan metode deduksi. Untuk memecahkan problem induksi dan menggantikannya dengan metode deduksi, Popper membagi uraiannya ke dalam dua bagian besar. Pertama, psikologi pengetahuan dan logika pengetahuan. Sebelum menjelaskan deduktivisme yang dianutnya itu, Popper terlebih dahulu menjelaskan distingsi antara psikologi pengetahuan yang berurusan dengan fakta empiris, dan logika pengetahuan yang hanya memperhatikan hubungan logis. Distingsi ini perlu sebab kepercayaan kepada logika induktif sebagian besar disebabkan oleh pencampuradukan antara problem psikologis dan problem epistemologis. Dan Popper ingin memerangi psikologisme dalam ilmu pengetahuan.
Menurut Popper, analisis logis pengetahuan tidak berurusan dengan fakta melainkan hanya dengan masalah pembenaran atau validitas akan sesuatu. Dan dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang relevan adalah: dapatkah suatu pernyataan dibenarkan? apakah pernyataan itu bisa diuji? Bila demikian bagaimana caranya? Atau apakah pernyataan itu berkontradiksi dengan pernyataan yang lain? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini suatu pernyataan dapat diuji dan diperiksa secara logis.
Kedua, metode deduktif. Bagi Popper, hanya metode deduktif yang mampu menguji dan memeriksa suatu pernyataan secara logis. Sedangkan metode induksi tidak bisa melakukan itu, dan karena itu ia bukanlah suatu metode yang tepat dalam ilmu pengetahuan.
Metode deduksi mengkaji teori secara kritis dan berjalan sesuai dengan mekanisme berikut. Pertama-tama suatu teori yang baru diajukan secara tentatif dari teori tersebut ditarik suatu kesimpulan secara deduksi-logis. Konklusi-konklusi ini lalu dibandingkan satu dengan yang lainnya. Hal ini dilakukan untuk menemukan suatu hubungan logis yang ada dalam pernyataan tersebut.
Untuk lebih jelas akan dijelaskan sitem kerja metode deduktif-logis dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan manusia. Pertama, terdapat perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Dengan perbandingan itu diuji, apakah sistem yang disodorkan tadi mempunyai konsistensi internal. Kedua, ada penyelidikan bentuk logis teori tersebut. Penyelidikan itu bermaksud untuk menentukan apakah teori itu mempunyai sifat empiris atau ilmiah, atau apakah dia bersifat tautologis. Ketiga, teori yang dimaksud diperbandingkan dengan teori-teori yang lain. Perbandingan itu bermaksud untuk menentukan, apakah teori-teori tersebut akan membawa suatu kemajuan ilmiah, seandainya tidak ia akan gugur oleh berbagai ujian. Dan akhirnya, ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari kesimpulan tersebut.
Tujuan pengujian terakhir ini ialah untuk menemukan seberapa jauh akibat-akibat baru dari teori tersebut dapat menghadapi tuntutan praktek, baik yang timbul dari eksperimen ilmiah maupun dalam penerapan teknologis secara praksis. Di sini proses pengujian ternyata juga bersifat deduktif. Dengan bantuan pernyataan lain yang sudah diterima sebelumnya, dari teori yang sudah diperiksa itu, ditarik suatu pernyataan tertentu yang bersifat singular yang boleh disebut “ramalan”, terutama ramalan yang sudah diuji atau mudah diterapkan. Di antara pernyataan-pertanyataan ini dipilih pernyataan yang tak dapat ditarik dari teori yang sedang berlaku (current theory) dan terutama pernyataan yang bersifat kontradiktif terhadap teori yang sedang berlaku.
Selanjutnya, dicari suatu keputusan mengenai pernyataan-pernyataan yang ditarik dari teori yang sedang dites, dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penerapan praktis dan eksperimen. Bila keputusan ini positif, artinya, bila kesimpulan-kesimpulan yang ditarik itu ternyata bisa diterima atau diverivikasi, maka teori tersebut untuk semetara lulus tes. Tak ada alasan bagi kita untuk menolaknya.
Di sini harus diperhatikan bahwa suatu keputusan positif hanya dapat mendukung teori itu untuk sementara, sebab keputusan-keputusan negatif yang akan datang selalu bisa saja menggugurkannya. Selama keputuasan itu tahan mengahadapi ujian yang keras dan belum digantikan teori yang lain teori tersebut bisa dikatakan telah menujukkan keuletannya, atau teori tersebut telah dikoroborasikan (diperkuat) oleh pengujuian itu. Dan teori seperti ini dapat dijadikan sebagai pengetahuan manusia, tetapi walaupun demikian ia mesti tetap membuka diri terhadap kritik.
Dalam prosedur pengujian teori yang digambarkan di atas tak muncul apa pun yang menyerupai logika induktif. Popper tidak pernah menganggap bahwa manusia dapat membuktikan teori-teori dari kebenaran pernyataan yang bersifat tunggal. Tak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan yang telah diverivikasi, teori-teori dapat dikukuhkan sebagai benar atau semata-mata probable (mungkin benar).
Jadi secara singkat, dari pemaparan tentang prosedur pengujian teori baru, Popper membuktikan tak adanya metode induktif. Yang ada hanya metode deduktif. Tetapi dengan menolak metode induktif ini, apakah Popper tidak merampas ciri terpenting dari ilmu-ilmu empiris, sehingga seakan-akan tidak ada batasan dari spekulasi metafisis? Pertanyaan ini dijawab oleh Popper dengan menegaskan bahwa dia menolak logika induktif justru karena logika induktif tidak memberikan ciri pembedaan yang sesuai pada sifat sistem teori yang empiris dan non-metafisis. Dengan kata lain, logika induktif, tidak memberikan kriterium demarkasi yang sesuai.

3.1.3. Masalah Demarkasi
Dalam filsafat ilmu pengetahuan Karl Popper, persoalan yang tidak kalah rumitnya dengan persoalan induksi adalah problem tentang demarkasi. Demarkasi itu adalah demarkasi antara ilmu dan non-ilmu, seperti metafisika, matematika dan logika. Masalah ini dapat dirumuskan secara sederhana dalam beberapa pertanyaan berikut: bagaimana suatu pernyataan dapat dijelaskan sebagai proposisi ilmiah? Apa kira-kira ciri dari suatu pernyataan ilmiah? Dengan kriteria apa suatu pernyataan ilmiah dapat dibedakan dari pernyataan bukan ilmiah? Lebih konkret lagi, dimana letak demarkasi antara ilmu pengetahauan empiris dan logika, matematika dan metafisik?
Menurut kaum empiris-positivis, metode induksi merupakan kriterium demarkasi yang valid. Mereka menafsir problem demarkasi itu sebagai problem ilmu ilmiah. Mereka percaya bahwa mereka telah menemukan distingsi yang terdapat dalam hakikat benda-benda antara ilmu empiris di satu pihak dan metafisika di pihak lain. Namun, menurut Popper apa yang dipercaya oleh kaum empiris-positivis itu tidak benar. Sesungguhnya, menurut Popper, kaum empiris-positivis tidak mampu menemukan kriteria demarkasi yang jelas dan tegas. Ini adalah kegagalan metode induksi kaum positivis dalam usaha untuk membentuk demarkasi. Popper akhirnya menggantikan demarkasi positivis ini dengan falsifikasi.
Menurut Popper kriteria demarkasi harus adil. Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa kriteria yang dibuat itu mesti dapat menjelaskan ciri ilmiah dari suatu pengetahuan sehingga dapat dibedakan dari metafisika, logika dan matematika. Dalam hal ini tujuan dari demarkasi Popper bukan untuk menyangkal metafisika, melainkan untuk memberi batasan demarkasi yang jelas dan tegas antara ilmu dan non-ilmu.
Untuk merealisasikan tujuan di atas maka Popper mengusulkan tiga kriteria demarkasi. Pertama, setiap proposisi ilmiah harus bersifat sintetis. Bersifat sintetis di sini berarti bahwa seluruh proses penyimpulan ilmiah harus mengungkapkan pengalaman tentang dunia nyata. Dengan kriteria ini Popper melihat bahwa spesialis ilmu empiris adalah mengamati fakta dan memberi penjelasan terhadap fakta dalam pernyataan-pernyataan sintetis.
Kedua, setiap pernyataan ilmiah tidak perlu bersifat metafisik, artinya bahwa kita tidak bertujuan untuk merumuskan pernyataan-pernyataan yang hanya bisa dipahami secara rasional atau hanya dengan memahami dasar-dasarnya yang terdalam dari suatu realitas. Dengan kriteria ini Popper sejak awal karya-karyanya menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sudah harus membatasi diri pada persoalan empiris, tetapi dengan itu tidaklah berarti bahwa realitas yang dihadapi manusia harus direduksi begitu saja dalam batas-batas ilmu pengetahuan empiris. Wilayah lain yang harus dihormati adalah filsafat dan teologi yang mencoba menembus fakta dengan memeriksa syarat-syarat yang paling mendalam dan rasional dari realitas. Dengan kriteria ini Popper secara tidak langsung menawarkan kepada kita suatu kerangka yang mendasar bagi ilmuwan, para filsuf dan teolog untuk membatasi diri pada metodenya masing-masing.
Ketiga, pernyataan-pernyataan ilmiah harus tunduk pada pengujian. Benar tidaknya proposisi-proposisi ilmiah sintetis hanya bisa diukur dalam suatu sistem pengujian dengan bantuan metode deduktif. Dengan usul tersebut Popper yakin sebuah proposisi dapat dinyatakan sebagai proposisi ilmiah dalam suatu sistem pengujian yang memiliki ciri empiris atau dalam suatu sistem pengujian deduktif di mana pengalaman dilihat sebagai alat ukur.
Dalam kaitan dengan kriteria ketiga, dapat dilihat bahwa pemikiran Popper memang berbeda dari kaum positivis. Menurutnya, pengalaman atau data tidak mengkorfirmasi suatu teori, karena setiap pengalaman bersifat partikular. Oleh karena itu Popper menolak verivikasi sebagai kriteria demarkasi. Sebaliknya, pengalaman hanya bermanfaat untuk menyangkal suatu proposisi ilmiah dalam suatu sistem deduksi. Popper menyebut sistem itu “falsifikasi”. Dalam sistem ini, suatu proposisi ilmiah diuji dengan pengalaman, di mana pengalaman hanya dilihat sebagai kemungkinan untuk menyangkal proposisi ilmiah tersebut.
Di sini dapat dilihat bahwa padangan Popper tentang kriteria demarkasi memiliki dua unsur penting yaitu “unsur falsifikasi” dan “unsur pengalaman”. Unsur falsifikasi menunjukkan bahwa setiap pernyataan ilmiah tunduk pada pengujian yang dijalankan secara deduktif. Sedangkan unsur pengalaman menunjukkan bahwa seluruh proses pembuktian terhadap teori atau hipotesis ilmiah tersebut memiliki dimensi empiris, tidak spekulatif. Unsur-unsur ini sekaligus menjadi isi dari falibilitas. Falibilitas mengadung arti kurang lebih sebagai suatu pernyataan dapat dikatakan ilmiah jika secara definitif dibuktikan benar atau salah. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan atau teori dikatakan ilmiah jika ia in se memiliki karakter patut disalahkan.

3.2. Filsafat Politik (Political Philosophy)
Filsafat politik Karl Raimund Popper sesungguhnya lahir sebagai reaksi terhadap situasi sosio-politik yang ada pada zamannya. Dogmatisme Marxisme dan Positivisme menginspirasikannya untuk mencoba meracik sebuah mekanisme pemikiran baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan sosio-politik. Bagi Popper, dogmatisme adalah musuh dari usaha pencaharian terhadap kebenaran. Oleh karena itu, sistem politik yang bernuansa dogmatis sebagaimana yang menampakan diri dalam struktur yang totalitarian dan otoritarian mesti ditolak. Sebab jika tidak maka suatu tatanan sosio-politik yang aman, damai dan harmonis tidak tercapai.
Dalam hukunya The Open Society and Its Enemies dan The Poverty of Historicism, Popper menjelaskan secara panjang lebar konsepnya tentang filsafat politik. Sesunggguhnya, konsep politik Popper tetap bertumpuh pada filsafat falsifikasi sebagaimana ada dalam penjelasannya tentang ilmu pengetahuan. Dengan menjadikan filsafat falsifikasi pengetahuannya sebagai basis analisa dalam filsafat politik, Popper sebenarnya mau menunjukkan bahwa epistemologi mempunyai pengaruh yang signifikan dalam kehidupan sosio-politik.
Dalam uraian itu, Popper mengeritik tatanan dan birokrasi politik yang timpang. Menurut Popper, ketimpangan itu terjadi karena ada struktur pemerintahan yang totalitarianistis dan autoritarianistis yang cenderung bertindak sewenang-wenang baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam menjalankan roda kepemerintahan. Dalam sistem pemerintahan yang demikian, pemerintah cenderung bertindak irasional. Oleh karena itu, mereka cenderung menolak kritik publik dan otokritik yang rasional, yang amat urgen dalam sebuah pemerintahan dan proses politiknya.
Menurut Popper, irasionalitas politik adalah musuh terbesar dari rasionalitas politik, dan politik yang rasional sangat ditentukan oleh pemimpin yang rasional. Relasi antara pemimpin yang rasional dan politik yang rasional adalah relasi yang inheren dan tak terpisahkan. Namun, untuk memperoleh pemimpin yang rasional serentak pemimpin ideal bukanlah hal mudah, sebab manusia umumnya tidak suka dikritik dan lebih senang dipuja dan dipuji. Pemimpin yang rasional adalah pemimpin yang senantiasa membuka diri baik terhadap otokritik, maupun kritik publik yang konstruktif. Sebab, bagi Popper, setiap keputusan dan kebijakan yang lahir dari idealisme seorang pemimpimpin, termasuk pemimpin ideal, selalu menampakkan diri dalam wujud hipotesis yang selalu terbuka untuk dikritisi, dimodifikasi dan diperbaiki.
Secara garis besar pembicaraan Popper tentang filsafat politik dapat dibagikan kedalam beberapa bagian, yakni masyarakat terbuka, masyarakat tertutup dan historisisme. Dalam pembicaraannya tentang ketiga bagian ini, Popper mengaplikasikan filsafat falsifikasinya secara kontekstual susuai dengan setting sosial yang ada.

3.2.1. Masyarakat Terbuka
Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya bahwa penjelasan dan uraian Popper tentang filsafat politik selalu berbasiskan pada filsafat falsifikasinya. Oleh karena itu, dalam penjelasan Popper tentang masyarakat terbuka, ia mengaplikasikan filsafat falsifikasinya secara aktual, analitis, dan kritis.
Dalam filsafat falsifikasi unsur yang amat penting dan paling menentukan adalah unsur kritik. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kritik adalah jiwa dari filsafat falsifikasi. Atas dasar itu, maka Popper yang mengaplikasikan filsafat falsifikasinya itu ke dalam penjelasannya tentang masyarakat terbuka yang amat menekankan unsur kritik. Bagi Popper kritik adalah roh yang menggerakkan masyarakat untuk mendekati kebenaran.
Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang senantiasa dijiwai oleh rasionalitas. Karena masyarakat terbuka senantiasa dijiwai oleh rasionalitas maka ia senantiasa membuka diri terhadap perubahan dan kemungkinan yang dimungkinkan oleh kritik yang rasional. Bagi masyarakat terbuka, dogmatisme adalah musuh yang mesti dilawan karena ia amat dekat dengan kediktatoran dan kesewenang-wenangan yang selalu menutup diri terhadap kritik.
Kediktatoran sesungguhnya disebabkan oleh ketiadaan kritik yang diakibatkan oleh hilangnya fungsi rasionalitas dan mendominasinya karakter irasionalitas dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari kediktatoran maka fungsi rasionalitas yang ditunjukkan lewat kebebasan berekspresi dalam menyuarakan kritik konstruktif mesti diapresiasi semestinya.
Dalam pembicaraanya tentang kediktatoran, Popper mengeritik konsep Plato tentang masyarakat. Menurut Plato, dalam bukunya Republic, masyarakat secara natural terbagi dalam kelas-kelas tertentu. Dan kebahagiaan akan tercapai bila masyarakat dapat melaksanakan tugasnya secara baik sesuai dengan kelas yang ditempatinya. Pemerintah, petani dan prajurit akan berbahagia bila mereka melaksanakan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya tanpa memperhatikan urusan kelas lain.
Namun, konsep Plato ini, menurut Popper, bersifat totalistik karena menjalankan tugas berdasarkan kelas yang ada tanpa mengkritisi apa yang dilakukan oleh kelas lain akan memungkinkan lahirnya suasana totaliter. Pemerintah yang bertindak tanpa awasan rakyatnya akan bertindak sewenang-wenang. Dan hal ini menurut Popper harus dihindari.
Dalam hal lain, Plato juga berbicara soal pemimpin ideal, Filsuf-Raja. Pemimpin ideal, menurut Plato, adalah pemimpin yang sempurna, dan karena kesempurnaan ini maka kemungkinan kritik yang ditujukan kepadanya nihil. Masyarakat yang menganggap bahwa pemimpinnya adalah sumber kebenaran dan kesempurnaan tidak akan mengkritisi pemimpinnya walaupun disadari bahwa ada ketidakberesan yang terjadi. Dan pemimpin seperti ini, Filsuf-Raja, adalah pemimpin yang cenderung bersifat totaliter.
Masyarakat terbuka adalah masyarakat ideal menurut Popper. Oleh karena itu keberadaannya dalam sebuah tatanan sosial adalah sebuah keniscayaan. Popper sendiri mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang paling tepat adalah "demokrasi". Masyarakat terbuka disebut Popper sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Namun masyarakat demokratis amat sulit ditemukan di negara mana pun di dunia ini, sekalipun negara bersangkutan mengklaim diri sebagai negara demokratis murni. Akan tetapi dengan mengatakan demikian tidak berarti masyarakat terbukat tidak bisa direalisasikan dalam kehidupan aktual manusia. Ia bisa direalisasikan tetapi butuh proses, perjuangan dan konsistensi yang teguh.
Menurut Popper, agar dalam negara demokratis, ideal masyarakat terbuka bisa terwujud maka perlu didirikan suatu badan independen yang Popper sebut free institutions. Melalui institusi bebas ini, cita-cita masyarakat dapat secara rasional dipenuhi karena kebebasan mengeluarkan kritik terjamin olehnya. Masyarakat akan secara terorganisir memberikan masukan dan kritikan konstruktif yang berguna bagi perkembangan dan kemajuan sosial.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam masyarakat demokratis atau masyarakat terbuka, setiap kebijakan dan keputusan pemerintah selalu bersifat hipotetis. Karena bersifat hipotetis maka ia selalu terbuka bagi kritik dan perbaikan secara sosial oleh seluruh masyarakat. Jika memang semua kritik dan keluhan masyakrat dapat diakomodasi secara rasional dan bertanggungg jawab oleh pemerintah maka di sana masyarakat terbuka sudah terwujud. Dan keterwujudan masyarakat terbuka adalah cita-cita universal dari setiap orang yang sadar akan keberadaanya sebagai manusia.

3.2.2. Masyarakat Tertutup
Popper sering menyebut masyarakat tertutup sebagai musuh dari masyarakat terbuka. Kalau dalam masyararakat terbuka karakter sosial yang menonjol adalah karakter rasional, maka dalam masyarakat tertutup karakter irasionallah yang mendominasi kehidupan sosial. Karakter irasional inilah yang menyebabkan penguasa dan pemerintah bertindak sewenang-wenang, otortiter dan tidak bertanggung jawab. Hal ini dimungkinkan selain oleh tumpulnya otokritik para penguasa, juga disebabkan oleh lunturnya daya kritis masyarakat akibat kebodohan, keacuhan dan intimidasi dari penguasa.
Dalam penjelasannya, Popper membedakan dua jenis masyarakat tertutup. Pertama, masyarakat prakritikal atau konservatif yang tidak suka akan perubahan, dan diwakili oleh Plato. Masyarkat tertutup yang demikian cenderung bersifat irasional dan masih percaya pada kekuatan magis. Karena kekuatan irasional yang lebih berkuasa maka dalam masyarakat ini sulit terjadi perubahan-perubahan kostruktif. Masyarakat ini cenderung puas dengan apa yang ada, tanpa mempertanyakan semuanya itu secara kritis-rasional.
Kedua, masyarakat tertutup yang bercita-cita menciptakan masyarakat sempurna di masa mendatang dengan cara menghapus kenyataan masyarakat riil sekarang dan membangun kembali yang baru sama sekali, misalnya Utopianisme dan Marxisme. Menurut Popper hal itu tidak mungkin. Kita tidak mungkin membangun masyarakat dari titik nol.
Masyarakat tertutup modern menampakkan diri dalam bentuk kapitalisme dan komunisme. Komunisme yang mengadopsi semangat Marx cenderung untuk berpikir dogmatis, dan pemikiran yang bersifat dogmatis adalah salah satu ciri masyarakat tertutup. Pemikiran yang dogmatis selalu menutup kemungkinan bagi kritik. Kaum Marxisme dan Neo-Marxism cenderung berpikir seperti ini sehingga mereka beranggapan bahwa apa yang mereka pikirkan dan laksanakan selalu benar, dan oleh karena itu, tidak perlu dikoreksi, dikritik dan diperbaiki.
Selanjutnya, pemahaman kritis Popper tentang masyarakat tertutup terungkap dalam kemampuan menunjukkan perbedaan dan ciri khas kesamaan antara Utopianisme dan Marxisme. Perbedaan keduanya terletak pada cara, bagaimana mewujudkan suatu masyarakat ideal. Utopianisme adalah aliran yang mengimpikan suatu masyarakat ideal dengan berdasar hanya pada prinsip-prinsip akal budi. Karena itu kaum utopis yakin bahwa terwujudnya masyarakat ideal bergantung dari kuasa manusia itu sendiri.
Sementara itu, Marx percara bahwa manusia tidak dapat mengemudikan sejarah, sebab dia berada di bawah kuasa hukum-hukum ilmiah (ekonomi). Kerap kali Marxisme dipandang identik dengan Utopianisme, seperti terjadi pada komunisme. Popper menyebutnya “vulgar marxist”. Komunisme itu utopian sendangkan maxist tidak.
Kesamaan antara keduanya adalah bahwa keduanya mencita-citakan masyarakat sempurna di masa depan dengan menolak masyarakat riil. Dan keduanya percaya bahwa masyarakat akan berhenti berkembang jika sudah mencapai titik kesempurnaan. Dan dalam sejarah keduanya mengarah kepada totalitarianisme.
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat tertutup itu identik dengan totalitarian. Marxisme dan Utopianisme dilihat sebagai masyarakat tertutup karena keduanya ingin menciptakan masyarakat sempurna dengan cara menghapus masyarakat riil. Penghapuasan terhadap masyarakat riil berarti di sana ada suatu tindakan yang cenderung diktatorial. Pemerintah yang diktatorial umumnya percaya bahwa apa yang mereka pikirkan itu benar, dan memaksakan apa yang mereka pikirkan kepada masyarakat. Masyarakat mesti menuruti itu tanpa harus mempertanyakan secara kritis-rasional. Dan menurut Popper, hal seperti inilah yang mesti ditolak. Masyarakat tertutup harus disangkal keberadaannya karena ia tidak membela kemanusiaan manusia. Ia mesti diganti dengan masyarakat terbuka. Masyarakat terbuka adalah masyarakat ideal yang mesti dihargai dan dihormati dengan cara menghidupinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3.2.3. Historisisme
Pada masa Popper sejarah sudah dijadikan sebagai ilmu yang dipelajari secara sistematis di universitas-universitas. Tujuan dari belajar sejarah adalah selain untuk mengetahui latar belakang suatu peristiwa tetapi juga untuk belajar keberhasilan atau kegagalan masa lalu untuk kepentingan masa kini. Tetapi yang menjadi persoalan bagi Popper adalah bahwa orang terlalu percaya bahwa dengan belajar sejarah orang bisa memprediksikan perkembangan masa depan. Orang yang berpaham seperti ini disebut kaum historisisme oleh Popper.
Dalam uraiannya, Popper menyebut beberapa jenis historisisme. Pertama, historisime naturalistik yang beranggapan bahwa hukum perkembangan sebagai hukum alam. Kedua, historisisme spiritual yang percaya pada perkembangan hukum spiritual. Ketiga, historisisme ekonomi yang sangat berkonsentrasi pada hukum perkembangan ekonomi. Keempat adalah historisisme theistik yang percaya bahwa perkembangan sejarah bergantung pada Tuhan.
Tapi menurut Popper, sebagaimana diuraikan dalam bukunya yang berjudul Has Theory Any Meaning, keempat historisisme itu percaya bahwa mereka dapat mengetahui masa depan secara pasti dengan mempelajari hukum-hukum sejarah. Namun, hukum-hukum sejarah itu sendiri itu tidak dapat diketahuai secara pasti. Oleh karena itu, validitas kebenarannya patut diragukan secara rasional-kritis. Menurutnya, dengan belajar sejarah masa lampau orang tidak serta merta mengetahui takdir masa depannya. Sebab, sejarah mempunyai hukumnya sendiri yang bersifat misteri dan tidak diketahuai oleh siapapun. Manusia hanya mampu memprediksi masa depannya secara kurang lebih benar, bukan benar sama sekali. Adalah mustahil mengetahui masa depan secara absolut benar. Tetapi meskipun demikian, kaum historisisme memiliki credo yang demikian.
Sikap skeptik Popper terhadap historisisme selain disebabkan oleh keperecayaannya akan hukum alam yang misterius, juga disebabakan oleh kesadaranya bahwa penulisan sejarah senantiasa berhubungan dengan kekuasaan. Karena berhubungan dengan kekuasaan maka penulisan sejarah sering dibuat untuk mendukung kekuasaan itu sendiri. Atau dengan kata lain, kekuasaan sangat menentukan sejarahwan menuliskan sebuah sejarah. Dengan ini maka Popper berkesimpulan bahwa kekuasaan adalah pusat dari sejarah.
Penulisan sejarah yang terkooptasi oleh kepentingan panguasa tidak bisa dijadikan sebagai referensi untuk memprediksi masa depan. Pemanipulasian dan rekayasa penulisan sejarah ini menginspirasikan Popper untuk meragukan gagasan brilian kaum historisisme. Popper menganjurkan agar para pembaca sejarah masa kini untuk senantiasa meragukan karya sejarah yang ada secara kritis-rasional agar dapat memperoleh kebenaran sejarah secara obyektif. Atau, pembacaan sejarah mesti dilihat dari perspektif orang-orang yang terpinggirkan, kalah dan tak berdaya sebagaimana dikonsepkan oleh Walter Benjamin. Meragukan sejarah para penguasa, para pemenang adalah sebuah kemestian bagi semua pembaca sejarah.
Berdasarkan uraian di atas, lantas kita bertanya: apakah sejarah memiliki makna? Menurut Popper sejarah in se tidak memiliki makna apa-apa karena kekuasaan memiliki pengaruh yang amat besar dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu, menurut Popper, kitalah yang memberikan makna kepada sejarah. Manusia yang membuat keputusan terhadap fakta sejarah. Dan makna sejarah itu amat bergantung pada penilaian dan putusan manusia. Atas dasar ini maka bila kita ingin memperoleh makna sejarah yang benar dan akurat, kita perlu membuat falsifikasi secara kritis-rasional terhadap tulisan dan fakta sejarah yang ada. Karena itu, aktus falsifikasi amat penting dalam pembaca tulisan sejarah pada umumnya.

IV. Sumbangan Sastra Sebagai Kritik Sosial Bagi Terciptanya Kepemimpinan demokratis di Indonesia dalam Terang Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper
4.1. Sastra Sebagai Kritik Sosial
Kehadiran sebuah karya sastra senantiasa bernuansa historis. Ia lahir dari rahim sejarah melalui tangan kreatif-artistik para sastrawan dan selalu merepresentasi realitas riil-historis dalam wajahnya yang baru. Dengan itu maka dapat dikatakan bahwa sastra tidak lain merupakan hasil perkawinan antara imaginasi dengan realitas. Perkawinan antara imaginasi dengan realitas itu dibingkai dalam bahasa yang menawan dan kaya akan makna pengungkapannya. Dan bahasa yang menawan dan syarat makna pengungkapan itu dilahirkan secara baru melalui medium refleksi yang kreatif.
Sastra sebagi cermin dari realitas sosial mesti menampilkan diri apa adanya. Kemiskinan, kemelaratan dan ketidakadilan selalu menjadi tema sentral karya sastra. Sastra (sastrawan) mencoba bergelut dengan tema seperti ini agar ia dapat mendekati dirinya pada tujuan esensial-kodratinya yakni menampilkan realitas sosial apa adanya, menegakkan kebenaran dan membela kaum pinggiran dan tak berdaya.
Menurut Y.B Mangunwijaya, sastra adalah aktualitas pandangan hidup. Menurut Beliau, nilai utama yang diemban oleh karya sastra adalah pengangkatan perikemanusiaan, pemanusiaan yang semakin benar dan wajar, keadilan, emansipasi, pembudayaan, penghargaan terhadap pijar-pijar kebenaran, dan perlawanan terhadap yang dusta. Lebih jauh ia mengatakan bahwa hampir semua karya sastra memiliki nilai politis dalam arti hakikatnya yaitu berjuang demi kepentingan masyarakat umum menuju ke arah yang lebih baik. Ia menyebut para sastrawan sebagai nabi yang dengan landasan hati nurani selalu membela orang-orang tertindas yang ditendang kian kemari oleh penguasa dan selalu dikalahkan.
Namun, kehadiran karya sastra dengan tema, visi dan misi yang demikian senantiasa dilihat sebagai kritik sosial yang mengancam eksistensi para penguasa sebagai penentu kebijakan dan penanggung jawab atas semua realitas yang memprihatinkan itu. Karena keberadaan sastra yang demikian maka di banyak negara, termasuk di Indonesia, selalu ada badan sensor terhadap sastra.
Sejak zaman Plato telah dibentuk semacam badan sensor terhadap sastra yang memiliki peran kritis-profetis itu. Di beberapa negara komunis dan sosialis, keberadaan sastra senantiasa berada di bawah pengawasan penguasa. Hal ini dibuat dengan pertimbangan bahwa sastra memiliki hubungan erat dan penting dengan masyarakat. Oleh karena itu, jika sastra mengungkapkan suatu kritik sosial yang tajam dan menohok kepada para penguasa maka hal itu akan membangkitkan kesadaran dalam diri masyarakat, dan dengan kesadaran itu masyarakat dapat menyuarakan aspirasi dan protes yang mampu mematahkan kemapanan penguasa (pemerintah). Atas dasar misi yang mulia ini maka tidak heran jika Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, berkumandang demikian: “pada hakekatnya kesusastraan harus melibatkan diri secara aktif di dalam pergulatan dan persoalan masyarakat dan bangsa walaupun rintangan selalu datang menghadang”.
Di Indonesia ada banyak sastrawan yang terpaksa harus mendekam di penjara karena melancarkan kritik sosial yang tajam melalui karya sastranya. Misalnya, Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya dipenjara dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional-demokratis, yakni melancarkan kritik sosial melalui karya sastra buah kreativitasnya. Namun ketika dalam penjara mereka tidak tinggal diam. Nurani bening mereka sebagai sastrawan terus memberanikan mereka untuk menulis karya sastra yang bernuasa kritik sosial. Dari dalam penjara, Mochtar Lubis menghasilkan novel Senja di Jakarta, dan kronik politik yang sangat menarik dalam Catatan Subversif, seperti juga Pramoedya memanfaatkan waktu di penjara untuk menulis novel, dan menghasilkan empat novel besar dari tempat pembuangan di pulau Buru, yang dinobatkan menjadi calon pemenang hadial Nobel.
Namun, perlu diingat adalah bahwa sastra sebagai kritik sosial mesti menjalankan fungsinya secara baik dan bijaksana. Kritik sosial yang dibangun harus memiliki landasan rasional-kritis, dan memiliki data yang pas dan akurat. Dan hal inilah yang akan menjadi dasar pertanggungjawaban sebuah kritik sosial, dan pertanggungjawaban itu sangat menentukan bobot keilmiahan sebuah kritik sosial.
Sastra yang adalah kritik sosial merupakan buah dari respons personal para sastrawan terhadap pengaruh sosial melalui proses apropriasi. Mula-mula para sastrawan mesti mendengarkan dan melihat keadaan sosial dan kemudian baru diungkapkan apa yang dilihat dan didengar itu secara personal dalam sebuah karya sastra. Input karya sastra selalu bersifat sosial, sedangkan outputnya selalu bersifat personal. Jadi, jika para sastrawan yang tidak melakukan dialog yang dialektis dan kreatif dengan realitas sosialnya secara intens akan menghasilkan karya sastra yang tidak obyektif dan tidak representatif karena terhalang oleh defisit input. Dan karya sastra yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai media kritik sosial karena memang substansi kritik yang mau disampaikan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Jadi, sebagai kritik sosial, sastra amat diperlukan dalam sebuah masyarakat, terutama dalam masyarakat demokratis. Dalam masyakarakat demokratis adanya kritik dilihat sebagai sebuah keniscayaan. Namun, kritik sosial yang dibangun oleh karya sastra harus senantiasa berlandaskan pada realitas faktual-historis yang ada agar substansi kritik yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

4.2. Prinsip Kepemimpinan Menurut Karl Raimund Popper
Konsep Popper tentang kepemimpinan lahir dari reaksinya terhadap konsep kepemimpinan Plato yang dianggapnya kurang memberikan sumbangan yang konstruktif bagi perkembangan dan kemajuan suatu tatanan sosial atau negara. Konsep Plato dilihatnya telah menciptakan ketidakadilan sosial karena hanya orang-orang tertentu, yang memiliki kualitas tertentu pula, yang memiliki akses untuk menjadi pemimpin.
Bagi Plato, yang layak menjadi pemimpin dalam sebuah negara adalah seorang Filsuf-Raja karena menurutnya Filsuf-Raja adalah orang yang memiliki kemampuan dan kualifikasi yang tidak dapat diragukan lagi karena ia telah dipersiapkan secara khusus selama bertahun-tahun, kurang lebih dua puluh tahun, dengan pengetahuan filsafat, moral dan spiritual yang memadai. Oleh karena kualifikasi ini maka Filsuf-Raja patut dan layak menjadi seorang pemimpin yang ideal.
Dari uraian ini dapat dilihat bahwa pertanyaan fundamental yang patut dilontarkan menurut Plato adalah: siapakah yang seharusnya memerintah sebuah negara? Yang jelas bahwa jawaban yang diberikan Plato adalah orang-orang pandai, atau Filsuf-Raja yang patut memerintah sebuah negara. Merekalah orang-orang yang memiliki kualifikasi esensial yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.
Namun, menurut Popper, pertanyaan tentang siapakah yang seharusnya memerintah sebuah negara tidak penting. Atau, pertanyaan itu tidak patut dilontarkan karena ia tidak memiliki nilai apa-apa. Menurutnya, formulasi pertanyaan yang demikian mesti diganti menjadi: bagaimana kita bisa mengorganisir institusi-institusi politik sehingga kerusakan yang ditimbulkan oleh penguasa yang buruk atau yang tidak kompeten bisa dihindarkan?
Popper amat menekankan konstruksi pertanyaan yang demikian dalam kaitannya dengan kepemimpininan.
Menurutnya, konsep kepemimpinan Plato terlalu idealistik. Dan kepemimpinan seperti itu, Filsuf-Raja, tidak dapat diaplikasikan dalam dunia konkret. Pemimpin sempurna, Filsuf-Raja, ala Plato tidak mungkin nampak dalam dunia manusia. Pemimpin Filsuf-Raja adalah pemimpin yang sempurna, dan karena kesempurnaan itu ia luput dari kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan sebagai seorang pemimpin. Singkatnya bahwa pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang tidak bisa dikoreksi dan dikritik karena mereka adalah sumber kebenaran dan kebaikan dalam kaitan dengan mekanisme kepemimpinan. Tapi, bagi Popper, hal itu tidak mungkin. Oleh karena itu, Popper katakan bahwa tak ada kekuasaan politik atau pemimpin politik yang tidak dapat dikoreksi, dan sepanjang manusia itu masih berwujud manusia tidak akan ada pemimpin politik yang absolut dan tidak terkontrol.
Popper pernah katakan bahwa kesalahan Plato yang paling utama dalam kaitannya dengan konsepnya tentang filsuf-raja adalah definisinya tentang siapa itu seorang filsuf. Filsufnya Plato adalah pemilik kebijaksanaan, bukan pencari kebijaksanaan. Bagi Popper filsuf adalah pencari kebijaksanaan. Popper katakan demikian:
Plato has, in fact, something very different in mind when he uses the the term “philosopher”. ...his philosopher is not the devoted seeker for wisdom, but its proud possessor. He is a learned man, a sage. What Plato demands, therefore, is the rule of learnedness- sophocracy, if I may so call it.

Popper berpikir bahwa konsep kepemimpinan Plato mesti ditolak karena ia bisa mengarah kepada kediktatoran. Pemimpin yang tidak dapat dikoreksi karena dianggap sebagai pemilik kebijaksanaan dan kebenaran akan cenderung bertindak sewenang-wenang. Mereka akan memaksakan kehendak dan keinginannya kepada masyarakat, dan masyarakat akan menerima begitu saja tanpa mengeritisinya secara rasional karena dalam diri masyarakat ada suatu kepercayaan psikologis bahwa pemimpin mereka adalah seorang yang sempurna sehingga tidak mungkin ia menghasilkan keputusan dan kebijakan yang keliru.
Bagi Popper setiap keputusan dan kebijakan seorang pemimpin selalu hadir dalam bentuk hipotesa. Oleh karena itu, ia selalu terbuka untuk dikoreksi, dikritik dan diperbaiki. Masyarakat mesti berani memanfaatkan kapasitas rasionalnya untuk mempertanyakan setiap kebijakan itu. Mempertanyakan di sini berarti memfalsifikasi setiap kebijakan yang ada agar dapat ditemukan suatu kebijakan yang kurang lebih sempurna, atau kebijakan yang mendekati kesempurnaan.
Namun, yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin bukan hanya suatu falsifikasi secara publik. Pemimpin itu sendiri harus berani untuk memfalsifikasi dirinya sendiri. Dalam hal ini, kritik publik dan otokritik mesti berjalan bersamaan. Kita tidak mungkin akan memperoleh pemimpin yang baik jika baik kritik publik maupun otokritik tidak ada dalam suatu proses kepemimpinan.
Dengan penjelasan ini, Popper ingin menegaskan bahwa pemimpin tidak selalu baik atau bijak. Ia bersikap skeptik terhadap keberadaan seorang pemimpin dalam kaitanya dengan kualitas baik dan bijak. Namun, meskipun demikian Popper tetap yakin bahwa pemimpin yang baik dan bertanggung jawab bisa ada dalam sebuah negara dengan syarat bahwa otokritik dan kritik publik mesti diapresiasi semestinya oleh seluruh masyarakat dan pemimpin itu sendiri.
Jadi, bagi Plato, pemimpin ideal adalah Filsuf-Raja yang memiliki kualifikasi esensial yang tidak dapat diragukan lagi. Karena kualifikasi ini, ia bebas dari kritik. Namun, konsep Popper secara jelas bertentangan dengan Plato. Bagi Popper, pemimpin ideal adalah pemimpin yang senantiasa membuka diri terhadap kritik karena ia menyadari diri sebagai seorang yang tidak sempurna. Ia sungguh menjadi pemimpin ideal jika ia senatiasa membuka diri terhadap kritik baik kritik publik maupun otokritik dan berusaha untuk terus memperbaiki diri berdasarkan kritik yang diterimanya secara konsisten.

4.3. Efektivitas Sastra sebagai Kritik Sosial bagi Terciptanya Kepemimpinan demokratis di Indonesia dalam terang Filsafat Falsifikasi Popper.
Kepemimpinan dan pemimpin, pada hakekatnya, bersifat universal. Dikatakan universal karena setiap kelompok sosial memerlukan dan membutuhkan keberadaan seorang pemimpin untuk mengatur dan memberi arah kepada praksis hidup sosial demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama. Cita-cita dan tujuan bersama akan sulit terealisir secara sosial bila ketiadaan roh, spirit dan semangat yang lahir dari seorang pemimpin.
Indonesia, sebagai negara kesatuan, yang terdiri dari suku bangsa dan bahasa yang amat pluralistis tentu amat memerlukan seorang pemimpin untuk menata suasana pluralistis itu menjadi suatu tatanan yang harmonis, sehingga setiap orang dapat merealisasikan potensialitasnya demi terwjudnya kesejahteraan personal dan sosial. Jadi bagi bangsa Indonesia pemimpin ibarat ‘motor’ yang menggerakkan masyarakatnya ke arah kebenaran dan kebaikan bersama (bonum commune).
Sebagai suatu kelompok sosial yang unik dan khas, Indonesia tentu memiliki sistem dan tata kepemimpinan sendiri. Jenis dan sistem kepemimpinannya disebut “Kepemimpinan Pemerintahan”. Kepemimpinan Pemerintahan yang menjadi ciri khas bangsa itu dijiwai oleh semangat demokratis. Disebut demokratis karena para pemimpin yang duduk pada tampuk pemerintahan adalah pemimpin yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyatlah yang mendelegasikan tugas kepemimpinan itu pada orang tertentu, yang juga berasal dari rakyat, untuk memimpin demi rakyat sendiri.
Pada titik ini, menjadi jelas bahwa dalam sebuah sistem kepemerintahan yang bersifat demokratis, rakyat selalu memiliki kekuasaan yang utama, dan karena itu, ia memberikan kekuasaan dan wewenangnya kepada para pemimpin untuk menjalankan sistem pemerintahan yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Mandat kepemimpinan itu biasanya diberikan oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Sebagai akibatnya, rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk mengontrol kiprah pemerintah dengan memberikan masukan dan kritik konstruktif. Pemerintah, dalam hal ini, adalah eksekutif sebagai pelaksana haluan kekuasaan, yudikatif sebagai pelaksana peradilan yang ’taat asas’ untuk menyelesaikan segala konflik kepentingan hukum secara jujur dan adil, serta legislatif sebagai pembuat hukum dan badan perwakilan rakyat yang bertugas meminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah.
Sebagai negara demokrasi, seluruh masyarakat indonesia menghendaki hadir dan tampilnya pemimpin dan kepemimpinan yang demokratis. Kepemimpinan demokratis, pada galibnya, menghendaki kebebasan warga dan kesamaan martabat antara pemimpin dan yang dipimpin. Ia senantiasa memberikan inovasi dan ispirasi baru untuk menata suasana kebangsan menjadi aman, harmonis dan sejahtera.
Namun, dalam kenyataan faktual, Indonesia, sebagai negara demokrasi, belum mampu untuk melahirkan pemimpin-pemimpin ideal yang sungguh mampu bertindak sesuai dengan esensi demokrasi itu sendiri. Ideal kepemimpinan yang bertanggung jawab amat sulit ditemukan. Semboyan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat hanyalah sebatas retorika pemanis bibir yang tak pernah menjelmakan diri secara utuh dalam realitas praksis. Partisipasi rakyat dalam struktur pemerintahan demokratis mandeg di bawah bayang-bayang pemimpin yang otoriter dan tak bertanggung jawab. Kritik konstruktif masyarakat secara mudah dimentahkan oleh para penguasa. Oleh karena itu, dampak destruktifnya adalah hilangnya kesejahteraan rakyat baik secara jamaniah maupun secara rohaniah.
Masyarakat senantiasa hidup dalam situasi kemiskinan dan kemelaratan di tengah kekayaan alam yang melimpah. Aspirasi rakyat bawah (grassroots level) sering tidak dijawabi secara rasional dan bertanggung jawab oleh pemerintah. Hal ini disebabkan oleh manajemen sistem kepemimpinan yang tidak profesional. Selain minimnya profesional pemimpin, kenyataan destruktif itu disebabkan oleh tumpulnya daya rasional, moral dan spiritual sebagai akibat lemahnya kontrol publik melalui kritikan konstruktif, dan lumpuhnya semangat otokritik yang jelas dan tegas dari pemimpin itu sendiri.
Bercermin pada realitas kepemimpimpinan yang timpang ini maka sumbangan pikiran Popper menjadi amat penting dan aktual. Intisari dari filsafat falsifikasi Popper adalah Kritik baik otokritik maupun kritik sosial. Otokritik dan kritik sosial adalah dua elemen penting yang mesti dialami oleh setiap pemimpin, terutama seorang pemimpin dalam negara demokratis. Melalui kedua elemen ini setiap pemimpin mempunyai kesempatan untuk memurnikan visi, misi dan dirinya sendiri. Aktus pemurnian itu akan sangat membantu para pemimpin untuk mengambil kebijakan dan keputusan yang mampu menjawabi kebutuhan masyarakat. Yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah kesejahteraan dan kedamaian secara lahir-batin. Dan dalam hal ini, menurut penulis, karya sastra dapat memainkan peran kritis yang dapat membangun otokritik dan kritik sosial yang signifikan.
Sastra adalah suara rakyat yang terkristal dalam aneka tulisan kreatif yang memiliki fungsi sosial yang amat signifikan. Karena itu, ia perlu didengar dan diperdengarkan oleh masyarkata dan para pemimpin sebab dibalik suara masyarakat sederhana itu (grassroots level) ada terkandung sejumput kebijaksanaan, kebajikan dan kebenaran yang patut dihargai dan dihormati. Popper sendiri pernah katakan demikian:
I believe nevertheless there is a kernel of truth hidden in the vox populi.... One might put it in this way: In spite of the limited information at their disposal, many simple men are often wiser than their government; and if not wiser, then inspired by better or more generous intensions.

Pada galibnya, Suara rakyat yang terjelma dalam bingkai karya sastra itu biasanya menampilkan realitas faktual apa adanya seperti ketidakadilan dan kemiskinan yang mampu menyadarkan masyarakat itu sendiri akan kenyataan yang sedang dihadapi. Dan penampilan karya sastra yang demikian bisa dilihat sebagai kritik sosial yang konstruktif sifatnya.
Namun, kritik sosial yang diemban oleh karya sastra tidak saja memiliki peran penyadaran terhadap masyarakat akan realitas faktual-destruktif yang sedang dihadapi, tetapi juga memiliki peran penyadaran terhadap penguasa, para pemimpin dan pemerintah akan kelemahan dan kekeliruan dirinya, dan dengan itu diharapkan agar mereka dapat melakukan falsifikasi dan otokritik terhadap diri mereka sendiri.
Pada titik ini dapat ditarik sebuah inferensi logis bahwa kritik sosial sastra dapat melahirkan otokritik bagi para pemimpin itu sendiri. Sebab berkat kritik sosial sastra, pemimpin mencoba untuk kembali melihat apakah pelaksanaan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ethos dan moralitas serta etika kepemimpinan yang ada. Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian maka ia mesti berani merubah dirinya sendiri ke arah yang lebih baik, benar dan manusiawi.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa otokritik itu hanya mungkin terjadi bila pemimpin itu sendiri memiliki keberanian untuk selalu membuka diri terhadap kritik sebagaimana pemimpin ideal menurut Popper. Ia mesti sadar bahwa sebagai seorang manusia ia tidak pernah mencapai kesempurnaan. Kebenaran dan kesempurnaan tidak pernah dicapai oleh manusia secara final. Manusia hanya mampu mendekati kesempurnaan dan kebenaran itu sendiri. Sastra hanya akan memiliki dampak transformatif bagi praksis kepemimpinan bila pemimpin dan orang yang dipimpin memiliki sikap rendah hati dan terbuka menerima kritik yang ada.
Namun, meskipun dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan karena pemimpin selalu melihat kritik sebagai ancaman akan keamanan dan kemapanannya, satrawan mesti terus berjuang menunujukkan diri dan lingkungan sosialnya melalui karya sastra. The show must go on. Sebab pekerjaan para sastrawan itu amat penting dan fundamendamental bagi kehidupan sosial. Ia senantiasa bekerja di tengah-tengan dunia yang penuh dengan masalah, tantangan, penderitaan dan ketidakadilan. Oleh sebab itu, jika masyarakat dan para sastrawan Indonesia terus melakukan tugas dan misinya mulia ini di tengah problematika kepemipinan yang timpang maka penulis yakin satu saat Indonesia akan memiliki pemimpin yang demokratis dan bangsa damai, adil dan sejahtera.

V. Penutup
Tak dapat dipungkiri bahwa sastra adalah cermin dari realitas sosial. Sebagai cermin dari realitas sosial, sastra merupakan media kritik sosial yang akan selalu menampakkan realitas sosial apa adanya secara aktual melalui aneka tulisan kreatif. Tampilan realitas sosial yang sering diwacanakan oleh sastra adalah realitas ketidakadilan, dehumanisasi dan kemiskinan yang umumnya disebabkan oleh pemegang kekuasaan dan pengatur kebijakan publik, yang mencoreng wajah peradaban yang cantik brseri.
Realitas sosial yang ditampilkan oleh karya sastra akhirnya dilihat sebagai kritik sosial kepada masyarakat pada umumnya dan pemimpin pada khususnya. Ia hadir sebagai kritik untuk para pemimpin karena memang realitas destruktif yang diwacanakan oleh sastra adalah akibat dari tindak-tanduk mereka,dan karena itu hal itu merupakan tanggung jawab mereka. Pemimpin yang tindak-tanduknya bertentangan dengan esensinya sebagai makhluk rasional senantiasa dipersoalkan oleh sastra melalui kritik-kritiknya yang bersifat konstruktif demi kemanusiaan manusia.
Kritik sosial sebagaimana diuraikan diatas, menurut penulis, sejalan dengan jiwa dari filsafat falsifikasi Karl Raimund Popper. Filsafat falsifikasi adalah filsafat yang anti terhadap kemapanan dan kesewenang-wenangan. Pararel dengan filsafat falsifikasi Popper, keberadaan karya sastra dapat dilihat sebagai keberadaan yang anti kemapanan yang menindas. Karena itu, baik filsafat maupun karya sastra senantiasa melemparkan kririk-kritik konstruktif bagi masyarakat pada umumnya dan para pemimpin pada khususnya demi perbaikan sosial ke arah yang lebih baik, lebih demokratis dan lebih manusiawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Jejak IDT

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik