IRASIONALITAS KEBIJAKAN EKONOMI PUBLIK Sebuah Evaluasi-Kritis Terhadap Kebijakan Ekonomi Publik PEMDA Manggarai Yang Memberi Ijin Eksplorasi Tambang

Oleh: Emilianus Yakob Sese Tolo



I. Pendahuluan

Kebijakan politik demokrasi sebagai bentuk konkret dari pelaksanaan pemerintahan sudah seharusnya merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat menjadi kriteria utama yang menentukan bobot demokratis sebuah kebijakan publik. Namun, dalam kenyataan faktual sering ditemukan bahwa kebijakan publik dalam sebuah negara demokrasi justru tidak menjawabi kebutuhan masyarakat. Kebijakan itu lebih merupakan jawaban untuk kepentingan dan kebutuhan baik individual maupun kelompok para public makers dan kroni-kroninya.

Di Indonesia kenyataan bahwa pemerintah membuat kebijakan yang tidak responsif terhadap kebutuhan fundamental mayarakat sudah sering terjadi. Ini adalah sebuah ironi besar sebab Indonesia adalah negara demokrasi yang besar yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi justru bertindak bertentangan dengan nilai dan semangat demokrasi itu sendiri. Dalam kaitan dengan pengambilan kebijakan ekonomi, sering terjadi bahwa kebijakan ekonomi yang diambil justru membawa katastrofi bagi masyarakat. Bencana alam yang sendang marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia adalah dampak nyata dari kebijakan ekonomi yang tidak rasional dan tidak pro-rakyat. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat fakta bahwa adanya kesalahan kebijakan ekonomi Pemerintah Daerah Kabupaten (PEMDA) Manggarai yang membiarkan eksplorasi penambangan tembaga di hutan lindung Galak Rego Manggarai. Dampak destruktif dari proses eksplorasi itu adalah kerusakan ekosistem dan penderitaan masyarakat pada umunya dan secara khusus masyrakat yang hidup di sekitar areal pertambangan.

II. Ekloprasi Tambang Tembaga di Hutan Galak Rego: Sebuah Kebijakan
Ekonomi Pemerintah Daerah Manggarai yang Irasional

Pemerintah Daerah Manggarai adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, kabupaten ini merupakan satu-satunya kabupaten di daratan pulau Flores yang memiliki sumber daya alam yang cukup memadai ketimbang 7 kabupaten lainnya. Namun, kabupaten ini juga merupakan kabupaten yang rawan bencana alam. Salah satu bencana alam yang cukup menyedot perhatian secara nasional adalah bencana tanah longsor pada tahun 2005 yang menewaskan puluhan orang. Pada bencana ini, presiden Bambang Yudhoyono sempat datang ke Manggarai, ke lokasi kejadian, untuk mengungkapkan rasa belangsungkawanya.

Secara umum, bencana alam di Manggarai adalah bencana tanah longsor. Pada musim hujan, arus transportasi sering terputus oleh tanah longsor di sepanjang jalan. Sebab dari bencana tanah longsor adalah deforestasi. Hutan di Manggarai sering dibabat baik secara legal maupun ilegal oleh masyarakat Manggarai. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, batas hutan yang masih belum jelas. Batas hutan yang tidak jelas ini juga sering mengakibatkan konflik vertikal antara perintah dan Masyarakat. Masyarakat yang lebih mengakui batas hutan yang ditetapkan oleh Belanda merasa tidak bersalah menebang hutan di dalam kawasan hutan negara yang ditetapkan oleh PEMDA. Kedua, adanya kebijakan ekonomi pemerintah daerah yang tidak pro-rakyat. PEMDA Manggarai sering membuat kebijakan yang inkosisten. Inkonsistensi itu menyata dalam kebijakan PEMDA yang melarang masyarakat Manggarai untuk tidak menebang hutan di kawasan hutan lindung di satu pihak, tetapi di pihak lain membiarkan para pengusaha untuk membuka usaha, vila dan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung. Tentunya pembiaran terhadap pembukaan usaha oleh para pengusaha di dalam kawasan hutan lindung ada alasan yang sudah lumrah di Indonesia yakni para pembuat kebijakan (public makers) sudah mendapatkan sejumlah uang pelicin (sogokan).

Eksplorasi tambang tembaga di hutan negara Galak Rego adalah contoh nyata dari kebijakan ekonomi yang keliru dari PEMDA Manggarai. Para pembuat kebijakan PEMDA Manggarai sudah tau bahwa kebijakan itu keliru dan telah melahirkan dampak negatif terhadap keseimbangan ekologis dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, mereka bersikap acuh karena mereka telah menerima sesuatu dari pengusaha tambang.

Proses eksplorasi itu telah menyebabkan kerusakan ekosistem sebagai akibat dari hilangnya hutan dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan data deforetisasi yang diberikan oleh seorang aktivis, Pater Simon Suban, SVD, dikatakan bahwa laju deforetisasi di Manggarai bisa mencapai 1.000-1.500 ha per tahun. Menurutnya, laju deforestasi ini cukup besar dan penyumbang terbesar laju deforestasi ini adalah dari sektor pertambangan. Masyarakat lokal memang melakukan deforestasi juga, tetapi dalam skala kecil dan tidak sebanding dengan deforestasi yang dilakukan oleh sektor pertambangan.

Eksplorasi tambang di hutang Galak Rego adalah salah satu penyebab deforestasi di Manggarai. Hal ini memang sungguh disayangkan. Dan lebih disayangkan lagi adalah bahwa deforestasi itu terjadi di dalam kawasan hutan lindung. Pemerintah daerah selaku penanggung jawab atas eksistensi hutan Manggarai justru mendukung proses eksplorasi itu dengan dalil yang irasional yakni demi meningkatkan PAD. Namun kebijakan itu justru keliru sebab akibat dari proses eksplorasi itu adalah kerusakan ekologis. Masyarakat yang tinggal di sekitar areal penambangan mengaku kecewa karena naiknya suhu udara panas dan hilangnya beberapa sumber mata air yang biasa digunakan untuk kebutuhan hidup setiap hari.

Demi dalil untuk meningkatkan PAD, Pemda Manggarai tega membiarkan masyarakat Galak Rego menderita sebagai akibat dari dampak destruktif kerusakan ekosistem hutan. Namun, jika dilihat dan diteliti secara lebih mendalam, pendapatan daerah yang diperoleh dari proses ekspolari tambang tembaga di hutan Galak Rego tidak seberapa. Berdasarkan data yang ada, dalam tiga tahun terakhir Pemda Manggarai hanya mendapatkan Rp. 321.000.000,00. Sedangkan, pihak investor mendapatkan 5.000.000.000,00 per tahun.

Secara garis besar dapat ditarik sebuah inferensi bahwa kebijakan ekonomi PEMDA Manggarai mengijinkan ekspolorasi di dalam areal hutan lindung Galak Rego adalah sebuah kebijakan ekonomi yang irasional. Ada sekurang-kurangnya tiga tesis yang mendukung pernyataan ini . Pertama, sebuah kebijakan ekonomi yang baik dan benar mesti mempertimbangkan dan menghindari dampak negatif yang mungkin timbul bagi masyarakat. Sebab setiap kebijakan publik adalah jawaban atas kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, jika suatu kebijakan publik tidak menjawabi kebutuhan masyarakat dan justru membawa petaka bagi masyarakat, maka kebijakan itu mesti ditolak atau dihapus. Dalam konteks eksplorasai tambang tembaga di Galak Rego jelas terlihat bahwa dampak negatifnya sungguh tidak bisa dihindari, dan oleh karena itu kebijakan itu mesti ditolak.

Kedua, dalam kasus pertambangan tembaga di hutan Galak Rego terlihat amat jelas bahwa adanya ketidakseimbangan pendapatan hasil eksplorasi antara PEMDA sebagai pemilik sumber daya alam dan investor sebagai penanam modal. Terlihat bahwa pihak investor memperoleh keuntungan yang terlampau besar dibandingkan dengan Pemda Manggarai. Seharusnya, pendapatan dan penghasilan itu harus dibagikan secara proporsional antara PEMDA dan pihak investor. Oleh karena ketidakseimbangan pembagian penghasilan dari proses eksplorsi itu, maka kebijakan PEMDA memberi ijin eksplorasi tambang itu irasional dan mesti ditolak.

Ketiga, eksplorasi itu terjadi tepat dalam kawasan hutan lindung. Berdasarkan undang-undang kehutanan ditegaskan bahwa hutan lindung adalah kawasan atau areal hutan yang harus dilindungi dan dijaga demi kesejahteraan masyarakat. Pembiaran oleh PEMDA Manggarai terhadap proses ekspolarasi yang merusak hutan lindung adalah tidak benar dan mesti ditolak sebab ia bertentantangan dengan amanat undang-undang yang berlaku.

III. Rasionalitas Kebijakan Publik: Proses Eksplorasi Segera Diberhentikan

Menurut Ahmad Erani Yustika, sebuah kebijakan dimaknai secara publik (kebijakan publik) apabila mengindahkan kepentingan orang banyak dan berkaitan dengan keputusan dan tindakan pemerintah yang didesain untuk untuk menyelamatkan rakyat, public concern. Yang dikedepankan bukanlah kepentingan sektarian dari para public makers melainkan aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat. Kebutuhan riil masyarakat menjadi agenda politik yang harus diutamakan. Dengan demikian, bobot rasionalitas sebuah kebijakan publik sangat ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan riil masyarakat.

Dalam kasus eksplorasi tambang tembaga di dalam kawasan hutan lindung Galak Rego, kebijakan publik PEMDA Manggarai yang memberikan ijin operasi pengeksplorasian itu dengan dalil demi peningkatan PAD dinilai sangat tidak rasional. Dikatakan tidak rasional karena ia tidak menjawabi kebutuhan masyarakat yang tinggal di sekitar areal pertambangan. Masyarakat justru menderita akibat proses eksplorasi berupa hilangnya sumber mata air dan meningkatnya suhu udara panas. Selain itu, mereka juga tidak mendapat sepeser pun dari hasil eksplorasi itu. Padahal, eksplorasi itu terjadi di atas tanah milik ulayat rakyat (lingko) yang beberapa tahun sebelumnya diserahkan cuma-cuma kepada PEMDA untuk dikonversikan menjadi hutan lindung.
Untuk mencapai rasionalitas kebijakan ekonomi, maka PEMDA Manggarai harus memberhentikan proses eksplorasi itu. Ada beberapa hal yang mendasari klaim ini. Pertama, lokasi pertambangan itu ada dalam kawasan hutan lindung. Sebagai hutan lindung, ia mesti dijaga dan dipelihara demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, deforestasi terhadap hutan lindung dalam bentuk dan tujuan apa pun tidak dibenarkan secara konstitusional.
Kedua, ada beberapa konsekuensi destruktif yang muncul akibat proses eksplorasi itu. Proses eksplorsi telah menyebabkan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya hutan yang menimbulkan perubahan iklim baik secara lokal maupun global. Selain itu, hilangnyanya ruang bagi partisipasi masyarakat dan akses masyarakat terhadap hutan sebagai sumber kehidupan juga menjadi alasan untuk menolak proses eksplorasi itu.
Kebijakan publik yang dibuat oleh PEMDA Manggarai terlihat sangat sentralistis dan bertentangan dangan nilai-nilai humanis sebab masyarakat dikorbankan demi pembangunan. Sesungguhnya, PEMDA Manggarai masih menggunakan prinsip klasik Machevelistis yang sudah lama ditinggalkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan yakni prinsip the ends justify the means, tujuan menghalalkan cara. Demi mencapai tujuan meningkatkan PAD, PEMDA Manggarai rela mengorbankan masyarakatnya sendiri. Seorang Bodley (1982) pernah menentang cara pemerintah yang mementingkan pembangunan dan mengorbankan rakyatnya. Menurut beliau, pembangunan yang didominasi negara dan semata-mata diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban pembangunan (victims of development) dan model pembangunan yang seperti ini mesti ditolak. Dalam proses pembangunan seharusnya tidak boleh ada victims of development. Sebab pembanguanan itu mempunyai tujuan instrisik yakni untuk kesejahteraan rakyat banyak, bukan sebaliknya.
Jadi berdasarkan uraian di atas maka inferensi tunggal yang dapat diambil untuk merancang suatu kebijakan ekonomi yang rasional adalah pemberhentian terhadap proses eksplorasi tambang di kawasan hutan lindung Galak Rego. Rasioanlitas kebijakan hanya mungkin tercapai bila eksplorasi itu diberhentikan. Masyarakat di sekitar areal khususnya dan masyarakat Manggarai umumnya menginginkan agar proses pemberhentian proses eksplorasi itu dipercepat. Karena kebijakan publik yang rasional adalah kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat maka pemberhentian terhadap proses eksplorasi adalah sebuah kebijakan yang rasional karena aspirasi rakyat memang menginginkan hal yang demikian. Jika tidak terjadi demikian maka kebijakan itu tetaplah sebuah kebijakan yang irasional karena memang tidak didasarkan pada aspirasi masyarakat dan telah menimbulkan bencana bagi masyarakat.
IV. Penutup
Pengambilan suatu kebijakan publik bukanlah sebuah hal yang mudah. Oleh karena itu, agar kebijakan publik itu sungguh bijaksana dan bersifat responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat maka ia mesti diputuskan berdasarkan pertimbangan rasional yang serius. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan yang ingin dicapai dan efek negatif yang mungkin akan terjadi. Jika dalam proses pertimbangan itu ditemukan bahwa sasaran tujuan pasti akan dicapai tetapi pencapaian terhadap sasaran tujuan itu meninggalkan efek negatif bagi keseimbangan ekologis dan kehidupan masyarakat, atau sebaliknya, maka kebijakan itu mesti direvisi dan ditunda proses implementasiannya. Pada galibnya, sebuah kebijakan dikatakan sungguh-sungguh rasional jika kedua aspek ini mendapat pemenuhan dalam proses implementasi secara proporsional.
Kebijakan PEMDA Manggarai yang memberi ijin terhadap proses eksplorasi tambang tembaga di dalam kawasan hutan lindung Galak Rego dinilai irasional dan tidak responsif terhadap kebuthan masyarakat karena mengabaikan dua hal fundamental di atas, Memang, sasaran tujuan dapat dicapai yakni berupa meningkatnya PAD, akan tetapi pencapaian sasaran yang dicapai diikuti secara langsung oleh efek negatif berupa terganggunya keseimbangan ekologis akibat rusaknya hutan dan penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar areal pertambangan. Oleh karena itu, kebijakan yang irasional ini mesti direvisi dan bila perlu diberhentikan pengimplementasiannya. Implementasi terhadap kebijakan yang irasional ini hanya akan membawa petaka baik baik masyarakat maupun PEMDA Manggarai itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik

Mengais Jejak IDT