Birokrasi Indonesia: Belajar dari Amerika Serikat

Gelandangan Intelektual

*Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo


Pada hakekatnya, birokrasi publik memiliki fungsi untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Biasanya, pelayanan publik yang dijalankan diproduksi oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa lembaga birokrasi memiliki diskresinya sendiri dalam kaitan dengan kebijakan-kebijakan tertentu. Ada banyak kebijakan publik yang dihasilkan dan dilaksanakan oleh birokrasi publik itu sendiri. Oleh karena itu, peranan birokrasi publik dalam pembangungan bangsa dan masyarakat sangat penting. Karena pentingnya peran ini maka jika ada persoalan dalam birokrasi publik, baik itu berkaitan dengan aturan maupun budaya birokrasi, dampaknya sangat besar bagi pembangunan bangsa dan negara.

Harus diakui bahwa kualitas birokrasi pubik Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Oleh karena itu, sangatlah masuk akal bila birokrasi publik Indonesia belajar dari birokrasi publik dari negara lain. Belajar dari bangsa lain berarti melihat dan memaknai kelebihan bangsa lain dan kemudian berani mengevaluasi diri sendiri demi suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu birokrasi publik dari negara modern yang sudah maju yang bisa menjadi kaca benggala adalah Amerika Serikat (AS).

Tentu kita semua sepakat bahwa birokrasi AS jauh lebih efektif dan efisien dalam menjalankan fungsi pelayanan publik jika dibandingkan dengan birokrasi Indonesia. Hal itu wajar sebab Amerika Serikat lahir sebagai nation-state jauh lebih dulu dari Indonesia. Membandingkan seperti ini mungkin tidak penting karena kualitas suatu bangsa tidak saja ditentukan oleh umurnya tetapi lebih pada proses dan cara pemaknaan terhadap pembangunan bangsanya. Akan tetapi, menurut penulis, hal itu juga perlu dipikirkan sebab kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara membutuhkan proses yang mengalir dalam arus waktu.

Kelebihan birokrasi AS, sebagaimana yang diuraikan oleh Agus Dwianto dalam bukunya Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif, yang bisa menjadi bahan untuk dipelajari dan direfleksikan demi memperbaiki kinerja birokrasi Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, birokrasi publik di AS selalu berorientasi pada pengguna (costomer). Sebagai customer, warga pengguna memiliki kriteria penting dalam pengembangan sistem pelayanan publik. Mereka dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Oleh karena itu, setiap biro pelayanan publik melakukan “survey pengguna”. Melalui survei ini, rezim pelayanan publik bisa mengetahui kelemahan dan kelebihan mereka melalui masukan dan kritikan dari pengguna layanan. Survey bisa dilakukan melalui cara konvesional dengan tatap muka, melalui pos maupun secara online melalui teknologi internet.

Kedua, pelayanan birokrasi publik selalu berbasiskan pada kepercayaan (trust). Di AS, rezim penyelenggara pelayanan publik memperlakukan warga pengguna pada umumnya sebagai orang yang dipercaya. Presiden Clinton pernah berujar demikian: treat the travellers as trust-worthy people. Dengan demikian maka prosedur pelayanan tidak dirancang untuk mengawasi dan mengontrol prilaku pengguna layanan, melainkan untuk memfasilitasi agar pengguna layanan dapat memperoleh pelayanan dengan mudah. Proses kerja birokrasi disederhanakan untuk mempermudah, mempermurah dan memperlancar proses pelayanan publik. Jadi, tindakan-tindakan koruptif untuk mempercepat proses layanan dapat dicegah dan dihindari melalui sistem pelayanan yang demikian.

Ketiga, pelayanan birokrasi publik berbasiskan TIK. Harus diakui bahwa salah satu keunggulan AS adalah kemajuan dalam pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam birokrasi publik. Di AS, pelayanan publik seperti pembuatan dan perpanjangan SIM dan KTP, pembayaran pajak, dan hubungan atarinstansi sudah berbasiskan pada TIK. Pada tahun 2008, hasil evaluasi yang dilakukan oleh UN Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) menempatkan Amerika pada urutan ke empat setelah Swedia, Denmark dan Norwegia sebagai negara yang memiliki E-Government Readiness Index.

Keempat, desentralisasi dan delayering adalah jiwa dari birokrasi publik. Di AS, pelayanan publik dilakukan secara desentralistis. Oleh karena itu, dalam melakukan pelayanan publik, frontline officers memiliki diskresi untuk mengambil keputusan dalam pelayanan publik. Dengan ini, frontline officers dilatih untuk mandiri dalam mengambil kebijakan dan menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa campur tangan yang rigid dari pimpinan puncak. Akan tatapi, untuk masalah-masalah tertentu, disiapakan hotline untuk berkordinasi dengan pimpinan puncak. Selain itu, agar pelayanan publik menjadi lebih prima, pemerintah melakukan delayering. Delayering adalah proses mengurangi jenjang hirarki dengan membuat jenjang organisasi menjadi lebih pendek agar arus informasi baik laporan ke atas maupun perintah ke bawah dapat dipercepat dan sumber distorsi dapat dikurangi.

Kelima, kompetisi dan semangat kewirausahaan. Birokrasi di AS berusaha untuk mengembangkan semangat kewirausahaan untuk berkompetisi dengan pihak swasta dalam melakukan pelayanan publik. Namun, kompetisi bukan hanya dengan swasta, tetapi juga antarinstansi dan interinstansi dalam institusi birokrasi pemerintahan itu sendiri. Selain itu, setiap negara bagian berkompetisi untuk mengembangkan sistem investasi dengan memberi kemudahan pajak dan urusan birokrasi kepada investor. Dalam sistem kompetisi ini, insentif dan reward diberikan kepada birokrat selalu berdasarkan pada kinerja dan bukan pada senioritas dan kedekatan dengan pimpinan.

Itulah wajah birokrasi AS. Jika dibandingkan dengan birokrasi publik Indonesia, maka Indonesia masih jauh tertinggal. Indonesia harus berlapang dada untuk belajar dari AS. Namun, keputusan untuk belajar itu ada di tangan birokrasi publik Indonesia. Mungkin kemajuan teknologi dan kualitas pendidikan masyarakat Indonesia masih menjadi halangan. Namun, hal ini tidak menghambat kita untuk maju dan menjadi lebih baik. Salah satu cara untuk maju adalah belajar dari kekeliruan yang kita lakukan dan melakukan imitasi terhadap metode-metode yang telah dilakukan oleh bangsa lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Hal itu harus dilakukan hic et nunc, saat ini dan di sini, oleh birokrasi publik Indonesia demi pembanguanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Kalau bukan sekarang, kapan lagi, dan kalau bukan Anda, siapa lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Jejak IDT

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik