Maria Kaju

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo


Angin sepoi-sepoi perlahan mendayu menyapu tubuhku. Bak patung yang terpaku, aku tak beringsut sedikitpun. Sebab, energi perhatianku hanya tertuju pada nama itu. Itulah nama yang sudah, sedang dan akan terus ada di dalam dadaku. Dialah biduanitaku. Selama jantungku masih berdetak dan bumi masih berputar pada porosnya, cintaku padanya tak akan pernah sirna.

Aku mengenal dia sejak hari pertamaku di SMA. Sejak saat itulah cinta kami tumbuh dan bersemi. Namun, selepas SMA, aku harus meninggalkan kampung menuju Jakarta demi meniti ilmu Ekonomi di salah satu univesitas swasta. Sementara itu, dia terpaksa harus menjadi gadis kampung karena orang tuanya lebih memilih untuk membiayi kedua saudara laki-lakinya yang sedang berlajar di universitas ternama di Yogyakarta. Sejak saat itu, cinta kami hanya bersandar pada lembaran-lembaran putih. Dan, lembaran putihnya yang terakhir membuat aku menangis.


***

Kali ini aku ingin mengikuti pesta perkawinan anak perempuannya bapak Yosef Kaju yang dipersunting Iwan, teman sekelasku dulu. Orang sekampung memanggilnya bapak Yos. Dialah guru agama yang saleh. Istrinya mama Katarina adalah ketua legio Maria. Di kampungnya, keluarga bapak Yos cukup disegani oleh orang-orang sekampung.

Jarak kampung bapak Yos dan kampungku sangat jauh. Oleh karena itu, pagi-pagi benar aku sudah beranjak. Udara masih amat dingin. Rerumputan masih basah. Matahari pun belum menggeliat dari peraduannya. “Aku harus tiba sebelum malam merangkul senja,” demikian tekadku. Kuayunkan langkah nan pasti menyusuri jalan setapak yang masih basah. Sambil menikmati pemandangan pagi yang indah, kuatur irama langkahku menyebrangi sungai, melalui lembah dan menanjaki bukit. Butir-butir keletihan pun menetes satu-satu membasahi ragaku yang sedang terbakar asa rindu.

Tak biasa aku harus berjalan kaki sejak meninggalkan desaku 10 tahun yang lalu. Kali ini aku sengaja berjalan kaki untuk menikmati pemandangan dan udara pagi yang sudah lama kutinggalkan. Namun, saat ini pemandangannya sudah sungguh berubah. Banyak pohon besar dan rindang yang dulunya bediri kokoh di sepanjang jalan setapak sudah tidak tahu ke mana rimbanya. Semuanya telah lenyap. Demikian pun dengan burung-burung yang bertengger, berterbang dan mencecit dari pohon yang satu ke pohon yang lain sudah tidak tampak lagi. Syukur, air kali masih tetap mengalir, namun debitnya semakin berkurang.
“Ah, entah bagaimanakah rupa perempuan itu sekarang?” tanyaku dalam hati. “Ah..., ngawur aku, dia sudah jadi milik orang lain. Dia bukan jodohku. Dia bukan takdirku. Aku harus menerima kenyataan ini,” batinku.

Kupercepatkan irama langkahku, sebab aku ingin lekas tiba di kampung yang kutuju. Aku ingin segera membunuh rasa rinduku dengan merangkul dia, mantan kekasihku. Bukan cuman dia. Aku sudah rindu pada orang tuanya yang sangat menyayangiku. Bagaimanakah mereka sekarang? Sudah tuahkah mereka? Masih kuatkah mereka? Ah, aku rindu pada mereka semua.

Tak terasa, matahari akan segera beristirahat di peraduannya. Untungnya, aku sudah menginjak bibir kampung. Sebentar lagi aku tiba. Aku memperlambat langkahku, karena ingin menikmati suasana baru di kampung mantan kekasihku. Tapi kurasa tidak banyak yang berubah. Rumah-rumah penduduk masih seperti yang dulu. Orang-orang masih hidup apa adanya. Kulihat para gadis dan ibu rumah tangga masih berjalan berjejer menjujung ember air dari kali. Dari balik jendela rumah, tampak anak-anak sibuk menyalakan pelita.

Kelihatannya, semunya tak berubah. “Kemanakah dana pembangunan selama sepuluh tahun itu? Apakah pemerintah buta akan kebutuhan masyarakat di kampung ini. Aneh memang negara ini! Puluhan tahun program pembangunannya tak membuahkan hasil sedikitpun,” omelku dalam hati.

Namun aku sangat terkejut melihat sebuah bangunan gereja megah yang berdiri tegak telak di jantung kampung itu. Tak bisa kubayangkan antusiasme masyarakat di sini membangun gereja semegah ini yang menurutku menelan dana miliaran rupiah. Dari manakah dana miliaran rupiah itu? Luar biasa. Setelah sekian lama sejak aku pergi, hanya bangunan gereja yang berubah. Kemiskinan dan keterbelakangan masih sama seperti dulu. Mengapa terjadi seperti ini? Aku tak tahu.

Gereja itu tampak indah. Dindingnya yang bercat putih bersih dengan jendela kaca berwarna warni. Di depannya berdiri sebuah patung Yesus berukuran tubuh orang dewasa berdiri kokoh dengan tangan kiri menunjuk hati dan tangan kanan seolah memberkati semua orang yang menghadapnya. Di depan patung itu terbentang taman bunga yang indah dihiasi dengan lampu-lampu taman yang berwarna warna warni. Di samping kiri gereja itu berdiri sebuah menara lonceng yang tinggi menjulang. Di gereja inilah Iwan bersamanya dipersatukan Allah hari ini.

Tak terasa, selubung senja sudah terganti oleh malam. Malam itu, bersama tanta Rosa, saudari ayahku yang sejak dipersuting om Kanis tinggal di kampung bapak Yos, aku berjejer bersama masyarakat kampung lainnya yang ingin mengucapkan selamat. Dari jauh aku melihat dia tampak tersenyum sumringah membalas ucapan selamat. Ketika aku dan dia bersatu dalam pelukan, hatiku bergetar. Ternyata rasa yang dulu belum hilang. Aku lihat Bapak Yos dan mama Katarina hanya tersenyum melihat kami saling melepas rindu. Tapi, saat itu, aku tak berani melihat mata Iwan yang tajam, setajam mata elang.

Malam itu berlalau begitu cepat. Hatiku sedih. Senang. Bingung. Cemburu. Terluka. Terharu. Campur aduk. Aku tak tahu. Tetapi yang pasti adalah bahwa air beningku sempat menjalari pipiku malam itu. Dia sudah bukan milikku lagi. Namun, aku masih merasa memilikinya. Entalah mengapa. Aku pun tak tahu.

***


Tujuan aku ke kampung ini adalah untuk menjenguk dia, wanita pujaanku. Aku sudah terlalu rindu pandanya. Pertemuan kami terakhir saat dia mengikuti misa perdanaku sebagai imam di kampungku. Setelah itu, aku menjadi misionaris di Brazil. Menjadi misionaris adalah salah satu wujud kesetiaan cintaku padanya. Bukan pelarian. Bukan kebetulan. Tapi yang jelas adalah bahwa inilah kehendak Tuhan.

Namun, saat ini aku berada di tempat ini. Tanpa kehadirannya. Tanpa senyumnya. Tanpa tawannya. Hanya ada sebuah nama yang terlukis indah di batu nisan. Nama yang sama juga masih jelas terukir dalam diding hatiku. Maria Kaju. Tak terasa, titik-titik putih jatuh terurai membentuk garis-garis bening di pipiku.

Menurut cerita tanta Rosa, dia pergi untuk selamanya meninggalkan dua buah hatinya, Pedro dan Putri setelah menderita depresi berat karena Iwan berselingkuh dengan seorang janda muda beranak satu yang adalah tetangganya sendiri.

Selamat jalan kawan. Doakanlah kami semua dari surga.


Yogyakarata, 16 Desember 2010

Cerpen ini diterbitkan oleh Majalah Hidup edisi 2 Mei 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumbangan Filsafat Falsifikasi Karl Raimund Popper Bagi Terciptanya Kepemimpinan Yang Demokratis di Indonesia

Mengais Jejak IDT

Mengais Peran Kitab Suci dalam Keluarga Katolik